Zahra yang telah menempuh 12 jam perjalanan itu, akhirnya mendarat di Surabaya.
Melangkah dengan menggandeng putranya menuju mobil travel yang sudah disewanya."Apa masih jauh, Bu?" tanya Fatih menurut.Zahra tersenyum dan berhenti, "Kenapa? Fatih tidak sabar lagi ya?"Fatih hanya menampilkan seluruh giginya dengan cengiran indah."Sabar ya, masih lama!" lanjut Zahra.Fatih mengangguk dan kembali berjalan, bergandengan tangan dengan Ibunya.Ini kali pertama, Fatih menginjakkan kaki di Indonesia.Negara kelahiran Ibu dan Ayahnya.Hati Fatih sedang membuncah senang, karena Akhirnya bisa sampai disini.Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan.Mobil melaju pelan keluar dari Juanda, terminal keberangkatan satu.Fatih menoleh melihat luar jalanan."Bu disini banyak pohon dan rindang ya?" katanya sambil terus menatap keluar."Ayo masuk dulu, Umi. Zahra capek berdiri!" kata Zahra mengalihkan pembicaraan. Zahra tidak tega melihat ekspresi Uminya yang terlihat kecewa. "Maaf Umi lupa, Ayo masuk!" jawab Umi kemudian menuntun cucunya masuk. Siang itu rumah Umi Aisyah tampak rame karena kedatangan Zahra dan Fatih. Yusuf dan Ratih juga menyambut Zahra dengan penuh haru. Mereka senang mendapatkan keponakan yang sangat lucu. Suasana meja makan juga terlihat ramai. "Abang Yusuf tinggal dimana sekarang?" tanya Zahra pada Yusuf. "Abang tinggal tidak jauh, Ra. Dirumah sederhana dekat pondok," jawab Yusuf. "Bawalah istrinya kemari, Bang!" pinta Zahra. Yusuf mengangguk dan menjawab,"Iya, nanti Abang bawa!" Pandangan Zahra langsung menuju Ratih. "Kamu, Tih?" tanya Zahra. "Ratih disini menjaga Umi, mbak!" jawab Ratih pelan. "Si Ratih gak mau menerima banyak lamaran, Ndok. Katanya mau
Suasana meja makan itu kembali hening. Mereka semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tentu, Zahra dan Fatih yang paling berkecamuk saat ini. "Abang harus pergi, Ra. Ada kelas Abang sekarang!" pamit Yusuf. Zahra kemudian kembali ke kesadarannya dan tersenyum menjawab Bang Yusuf. Makan siang itu selesai dan mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Fatih masuk ke dalam kamar bersama Zahra. "Bu, jangan lupakan perjanjian kita ya!" ingat Fatih pada Ibunya kemudian menuju kamar mandi. Zahra hanya cemberut mendengar perkataan dan tingkahnya Fatih. Zahra jadi gelisah dan menyesal melakukan perjanjian dengan putranya yang sangat pintar itu. "Bisa-bisanya dia menjebak Ibunya sendiri," gerutu Zahra. Zahra tak mau ambil pusing dan memilih untuk segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Zahra akan meminta pertolongan hanya pada
Umi terpaku dengan jawaban dari putrinya. Umi Aisyah merasakan jika Zahra belum sepenuhnya bisa berdamai dengan keadaan. Semua dia lakukan untu Fatih semata. "Sepertinya Ridwan benar, hanya Ridwan yang bisa menyembuhkan Zahra!" batin Umi Aisyah. Mereka berdiam dengan segala isi kepala yang berebut ingin dipikirkan. Hingga mereka menoleh bersama karena sebuah mobil berhenti dihalaman, pagi-pagi buta begini. "Siapa Umi? Kenapa ada yang bertamu sepagi ini?" tanya Zahra pada Uminya. Umi tahu mobil siapa itu dan berkata, "Masuklah, tolong buatkan minum Zahra!" "Baik, Umi!" jawab Zahra kemudian masuk ke dalam dapur.Umi berjalan kembali menuju pintu membukanya."Assalamualaikum, Umi!" salah Ridwan. Umi melihat Ridwan dari bawah hingga atas. Ridwan terlihat memakai pakaian yang sama saat berpamitan menuju Tarim dengan wajah yang sama dinginnya. Hanya lebih beranta
Jantung Ridwan berdebar sangat kencang melihat laki-laki kecil yang sangat mirip dengannya. Seluruh tulangnya terasa lemas. Menatap laki-laki kecil yang memeluk kaki Zahra. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bertebaran di otaknya. Ibu? Lidah Ridwan terasa kelu membayangkan kalimat itu. Ridwan tidak bodoh untuk bisa mencerna keadaan. Tapi keterkejutannya membuat dirinya tak bereaksi apapun. Wajah dingin itu terasa semakin dingin melihat kembaran kecilnya. Suasana mencekam itu dapat Umi Aisyah rasakan. "Fatih, ada Ayah Ridwan, Nak dibelakangmu! Ayo salim dulu!" titah Umi Aisyah. Deg!Fatih berdebar mematung tanpa menoleh. Fatih terlalu bersemangat memberikan jajan pasar yang sangat nikmat, membuatnya tidak melihat sekitar. Zahra bisa melihat jika putranya tengah terkejut pun memeluk Fatih. Mengusap belakang kepala putranya dengan lembut.
Zahra mengusap air mata Fatih dan menjawab, "Ibu tidak tahu!" Fatih tampak kecewa dengan jawaban Ibunya. "Tapi, Ibu yakin jika Ayah menyayangimu. Jadi, semoga Ayah datang lagi!" lanjut Zahra. "Benarkah?Ibu tahu dari mana?" tanya Fatih. Zahra tersenyum, "Mata ini, mata yang sama yang ibu lihat saat Ayah pergi. Ayah dan Fatih sama! Ayah juga tersiksa seperti Fatih!" Zahra mencoba meluruskan kesalah pahaman ini. Fatih tampak antusias dan menyimak dengan serius. "Ibu yang pergi, Ibu yang menolak Ayah. Ayah mengejar Ibu hingga ke Tarim lima tahun lalu, tapi ibu tak menggerakkan hati sama sekali seperti pada Baba!" lanjut Zahra dengan tersenyum. "Jadi nasib Ayah sama seperti, Baba?" tanya Fatih. "Iya, tapi Ayah sangat gigih. Tanyalah pada kakek Usman kalau kembali kesana. Kakek Usman diikuti kemanapun oleh Ayah." jawab Zahra sambil tertawa. "Benarkah?" tanya Fatih. "Ya, dan Ayah m
Hampir Ridwan tak kuat menahan kerinduan dan penyesalannya lima tahun ini. Rasanya Ridwan ingin membunuh dirinya sendiri. Ribuan kali mengutuki dirinya sendiri. Zen tak bergeming melihat bosnya itu. Zen tak berani mengeluarkan kata sedikitpun. Hari berganti, hampir satu minggu Ridwan menghabiskan waktunya dengan mengamuk. Ruangan yang sudah dibersihkan kembali hancur setiap hari. Ridwan sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak datang pada Zahra, hingga mengamuk salah satu caranya melampiaskan amarahnya.Brak!! "Aaaaaaaa!!" teriak Ridwan. Satu minggu hidupnya seperti tak memiliki jiwa, tak tahu harus seperti apa. "Tuan, Jadwal mengantar donasi dan hadiah untuk anak pondok!" kata Zen mengingatkan. "Antarkan! Saya disini saja!" jawab Ridwan dingin. Ridwan tak akan sanggup melihat kenyataan yang lebih akan menghancurkan dirinya. Sekuat tenaga menghi
"Tapi apa?" serbu Ridwan saat Zahra tak menyelesaikan ucapannya. "Perjanjiaku dengan Fatih, saat kau datang lagi, aku harus menerima pinangan Ayahnya!" jawab Zahra.Jantung Ridwan berdebar hebat, rasanya seperti ada yang terhimpit. Fatih memperjuangkan hubungan orang tuanya tanpa Ridwan tau. Ridwan sangat senang mengetahui Fatih menginginkannya. "Lalu kamu?" tanya Ridwan. Zahra menghela nafasnya berat, "Aku menerimanya, tapi—"Ucapan Zahra terjeda. Mengambil waktunya dan semua yang di pertimbangkan seminggu ini. "Nikah mut'ah!" lanjutnya. "Zahra ...," pekik Umi Aisyah. Umi Aisyah tak pernah menduga jika Zahra akan berfikir seperti ini. "Kau paham kan, Nak agama! Sebagai orang Sunni Nikah mut'ah itu haram! Kenapa bisa berfikir seperti itu?" pekik Umi Aisyah.Nikah mut'ah atau biasa disebut nikah kontrak, karena ketika akad akan disebutkan jangka waktu menikahnya.
Seru Fatih saat tubuhnya melayang merasakan pundak kokoh sang Ayah. Fatih mengagumi tubuh kekar Ayahnya dan juga ketampanan Ayahnya. Fatih sangat senang dipanggul oleh Ridwan. "Ayah! Sering-sering ya panggul Fatih!" pinta Fatih sambil mencengkeram rambut sang Ayah. Ridwan mengangguk hingga cengkeraman di rambutnya goyang dan Fatih semakin mencengkeram sambil terpekik. Tertawa lepas dipanggul sang Ayah. Ridwan tidak merasakan sakit saat rambutnya dijambak oleh sang Putra. Rasa bahagia dan bersalah dominan dihatinya. Ridwan juga sedih karena sang putra pertama kali merasakan dipanggul olehnya. "Sampai Fatih bosan, sampai sejauh langkah berjalan, Ayah akan terus memanggulmu!" jawab Ridwan haru.Tawa Fatih menggelegar saat mendengar ungkapan Ridwan. "Dan Fatih ... Akan terus menjambak rambutmu, Ayah!" pekik Fatih sambil terkekeh. Ridwan yang kehilangan ekspresi dan seny
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s