Rere yang malang
"Rere . . . , Rere . . . ," panggilku setengah berteriak.
Pandanganku menyapu seluruh ruangan gubuk yang sempit. Mulut mendadak berteriak histeris. Ketika mata menatap pada sosok kecil, yang tergeletak di pintu dapur sambil menangis parau karena kehabisan suara.
"Rereku, sayang," air mataku mulai membanjiri pipi.
Aku memeluk dan mendekap hangat Rere dalam pangkuan. Tangan dan kaki kecilnya yang berkaus kaki telah kotor dan basah. Tanah merah bercampur air kencing menjadi satu mengotori seluruh tubuh Rere yang mungil.
Wajahnya memerah dan memar. Berkali-kali ciumanku mendarat di pipi mungil. Sebagai tanda betapa besar cinta kepadanya, dengan lembut baju dan celana yang melekat di badanya kulepas perlahan. Kedua lutut memar juga siku tangan sebelah kiri.
Air teremos bercampur dengan air dingin aku gunakan untuk membasuh badan Rere, yang kotor. Supaya bersih dan tidak berbau pesing lagi. Kemudian aku memandikannya, setelah itu
Dia datang ke arahku makin mendekat. Rere yang berada dalam gendonganku, dipintanya dengan paksa, lalu dia gendong tanpa kasih sayang.Ti diba-tiba sebuah tendangan mendarat di perutku, tepatnya di bagian ulu hati. Rasa sakit teramat sakit, sehingga aku jatuh pingsan di lantai dapur yang kotor.***************Aroma kopi hitam menyeruak ke dalam hidungku. Membuat diri ini tersadar dari tidurku, yang disebut pingsan. Masih dalam keadaan sama perut yang sakit dan masih terbaring di ruang dapur, sebelah tungku.Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Ditambah rasa lapar yang meremas lambung. Aku mengigil dalam balutan luka.Dia si manusia monster sedang asik menikmati kopi hitamnya, duduk di ranjang bambu. Aku melirik sekilas ke arah Rere yang tertidur pulas di sebelanya. Entah Rere makan atau tidak selama seharian ini, dalam asuhan Mas Rudi."Aku tidak sanggup lagi menjadi istrimu! Kita cerai saja! Antarkan aku pulang ke rumah orang tuaku
Aku terus berjalan menyusuri pasar. Setiap ada orang yang menyapa, maka aku berbalik bertanya kepadanya tentang kontrakkan yang ada di sekitar sini.Di ujung pasar ada lima buah rumah kontrakan yang berjejer rapih. Tiga rumah berpenghuni, mereka ialah pasangan suami istri yang datang merantau di kota ini. Kebanyakan mereka dari daerah plosok, yang sengaja mengadu nasib di kota kecil dengan membawa anak dan istrinya. Mereka kelihatannya keluarga kecil yang harmonis. Membuat rasa iri tumbuh di hatiku yang telah hancur."Neng, maaf ya! Mereka tidak mengizinkan Eneng ngontrak di sini, karena takut para suami kami ngelirik ke Eneng." Jawab seorang perempuan setengah baya itu.Rupanya dia ialah istri dari pemilik kontrakkan disini."Baiklah, terima kasih Bu! Aku pamit dulu," ucapku dengan nada kecewa.Aku pun pergi meninggalkan kerumunan ibu-ibu mudah yang sedang asik menghibah. Mereka kelihatannya ramah kepadaku, karena membalas senyumku den
Istri pemilik warung bakso yang baik itu. Menjelaskan kepada perempuan berbadan besar dan tinggi itu, yang ternyata ialah pemilik kos.Ibu Edo, begitulah orang-orang memanggilnya. Ternyata dia sangat ramah dan baik hati. Hanya badannya saja kelihatan sangar, tetapi dia memiliki hati sebaik berlian.Atas izin Allah beserta kebaikkan orang-orang yang ada di sini, maka malam ini Rere bisa tidur dengan nyenyak. Beralaskan kasur lantai yang hangat. Aku merebahkan Rere yang sedang demam. Di kamar kos selebar empat meter persegi. Ruangannya sangat sempit karena harus dibagi dengan adanya kamar mandi di dalam kamar kos.Rere panasnya mulai turun setelah aku membelikan obat penurun panas di apotik depan kos-kosan. Kos-kosan terletak di tengah-tengah jantung kota kecil. Walaupun lokasinya bukan di pinggir jalan lintas, tetapi jika kita keluar dari komplek rumah kos ini. Banyak tokoh-tokoh besar berderet-deret di pinggir jalan raya. Jadi dengan mudahnya kita bisa mem
Siang itu Mas Rudi datang bersama Edi. Ibu menyambut kedatangan mereka dengan ramah.Saat itu aku sedang mandi siang setelah mencuci baju. Kebetulan Rere sedang tidur nyeyak di kamarnya. Ayah baru saja pulang dari mencari rumput untuk memberi makan sapi putih peliharaannya, dan ayah pun belum mandi seharian.Setelah Ibu mempersilakan mereka masuk dan duduk. Aku menemui mereka dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Tanpa menyuguhkan kopi pahit kesukaannya.Ibu menyapa dan bertanya kepada Mas Rudi, namun dia tidak menjawab sepatah katapun.Wajah yang sudah hitam ditambah muka cemberut, itulah tatapan Mas Rudi kepada ibuku. Edi hanya nyengir kuda memamerkan gigi kuningnya yang gingsol."Eh, Mas Rudi. Kok tahu jika aku di sini?" Sapaku seramah mungkin.Mendadak Mas Rudi dengan muka hitamnya yang bertambah
Kehidupanku selanjutnya berjalan dengan sempurna. Tanpa ada tangis yang menghiasi hariku. Jika Rere sesekali dia masih menangis karena meminta jajan dan ada sebab kecil lainnya.Salat lima waktu tidak pernah aku tinggalkan, kecuali jika masih datang bulan. Hati menjadi tenang dan damai. Rezeki pun semakin lancar daganganku semakin laris. Walaupun upahnya tidak banyak, tetapi aku merasa lebih bahagia hidup di kontrakkan kecil seperti ini. Daripada tinggal di hutan bersama monster kejam.Sepuluh bulan berlalu dengan cepat sekali. Kabar berita yang aku dengar dari seseorang di media sosial, yang bernama Ida. Ida ialah tetangga dari Bik Sum di kampung. Dia mengabarkan bahwa Edi telah meninggal dunia. Karena disebabkan jatuh dari motor gunungnya ,saat sedang mengojek kayu di hutan.Medan yang curam serta tanah yang licin. Mengakibatkan motornya oleng dan jatuh ke dalam jurang yang terja
Setahun setelah perceraian, aku berkunjung di rumah sakit terdekat untuk melihat Andi junior. Sosok bayi laki-laki yang gemuk serta menggemaskan. Dialah putra pertama Andi, yang baru dilahirkan dua hari yang lalu. Di sebuah rumah sakit bersalin terdekat.Andi telah menikah dua tahun yang lalu dengan Ani, gadis cantik yang dia kenal di dunia maya. Andi menikahinya setelah aku menolak secara halus lamarannya. Diri ini merasa tidak pantas untuk menikah dengan lelaki sebaik Andi.Saat di rumah sakit aku mendengar berita tentang Sriyanti. Dari tetangga Sriyanti yang kebetulan istrinya sedang melahirkan di rumah sakit yang sama.Dia mengatakan bahwa Mas Rudi telah menikah dan dua bulan kemudian Sriyanti telah menjadi gila. Menurutnya Sriyanti gila karena ditinggal menikah oleh Mas Rudi.Sri yang dulu bahenol kini badanya kurus kering. Tatapan tajam dari mata bulatnya kini berubah menjadi kosong. Tetangganya lah yang menjelask
POV Ibu LisnaBetapa terkejutnya kami ketika Lisna pulang bersama pemuda yang asing. Kami menatap penampilannya dari ujung kaki sampai rambut. Sangat aneh, pemuda seusia dia memakai baju yang kusut. Bahkan bisa dikatakan sedikit dekil. Bila dibandingkan dengan cara berpakaian para pemuda di sini sangat jauh berbeda.Suamiku sendiri tidak suka dengan gaya berbicaranya yang melambung tinggi. Pemuda yang berpakaian lusuh dan kelihatan dekil, dia berkata jika anak dari seorang petani yang sukses. Memiliki berhektar-hektar kebun dan sawah.Suamiku yang merupakan ayahnya Lisna tentu saja tidak senang, bahkan dia mewanti-wanti supaya Lisna tidak berpacaran dengan dia. Namun, apalah daya nasi sudah menjadi bubur. Lisna yang biasanya cuek dengan pria kini dia menjadi tergila-gila pada Rudi. Bahkan kami sempat curiga jika Lisna diguna-guna.Dari berpacaran yang begitu si
Sakit sekali ketika mendengar cerita Lisna, yang hidup menderita selama dua tahun di sana, bersama suami terkutuknya Rudi. Serasa seribu sesal hadir di dalam kalbuku sebagai seorang ibu, yang telah melepaskan sang buang hati.Siang itu tepatnya hari raya Idulfitri, Lisna pulang bersama putrinya. Tanpa adanya Rudi yang mengantarkan. Artinya Lisna pulang seorang diri, ketika hari raya.Namun, pada hari raya kedua Rudi berkunjung ke rumah kami bersama dengan sahabatnya. Tidak dapat dihindarkan lagi keributan pun terjadi. Di antara Lisna dan Rudi mereka berdua beradu argumentasi yang saling menyalahkan satu sama lain.Teriakkan demi teriakan, hujatan demi hujatan saling bersahutan memekakkan telinga.Lisna pun menangis dibarengin dengan tangisan Rere, yang pilu.Suamiku yang baru saja selesai mandi menjadi sangat emosi. Dia dengan refleks mengambil golok, sambil berteriak hendak membunuh Rudi."Mati kamu!" umpat suamiku.Rudi mengelak l
Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k
Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,
Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse
"Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me
Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,
"Indra, Indra, Indra, antar aku ke rumah Dokter!" pekik Mami Resti dari balik pintu kamar.Dalam hati ini ada perasaan benci dan cemburu, mendengar Mami Resti memanggil dan memerintah suamiku seenak jidatnya sendiri. Untuk kali ini tidak ingin rasanya mengalah seperti biasa."Mami Resti, hari ini Mas Indra mau menemani aku pulang kampung," sahutku dengan suara yang kubuat selembut mungkin, sambil membuka pintu kamar."Mau berapa lama kalian di Kampung dan ada kepentingan apa sampai Indra harus ikut serta?" selidik Mami Resti dengan mata yang melotot, seperti sedang mengintrogasi pencuri. Mungkin dalam hati dia yang aneh, menganggap aku adalah pencuri kekasihnya.
"Mas Indra, cepat bangun antar aku ke rumah Bu Bidan!" perintahku pada Mas Indra, yang masih tertidur pulas."Sebentar, aku ngantuk sekali!" sahutnya tanpa membuka mata.Aku beranjak bangun dari pembaringan, membuka pintu koridor, kemudian duduk di teras kamar. Pandanganku menyapu ke penjuru angkasa, menampakkan awan biru yang unik."Sangat indah," gumamku.Bulir-bulir bening kembali mengalir dari sudut mata yang sembab milikku. Pikiranku meronta-ronta membayangkan setiap malam, suami yang tercinta bercinta dalam jeratan setan. Banyak perempuan di dunia ini. Namun, mengapa harus dengan dia, ibu tirinya sendiri? Ah, pikiran ini begitu menyiksa jiwa, bahkan sepertinya bisa membuat perempuan yang tidak kuat rohaninya bisa gila.'Mengapa aku selalu terjebak pada lelaki berengsek? Apakah dosa yang telah aku lakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga harus memiliki nasib seperti?'
"Anu, anu, Nyonya, supaya Rere memiliki adik," jawab Pak satpam gugup.Kemudian dia dengan tergesa-gesa meninggalkan diriku, yang sedang menunggu jawaban darinya. Namun, sampai beberapa saat tidak juga ada jawaban yang tersurat.Tiba-tiba saja suara sirene kecil terdengar dari kamar utama membuat aku sangat terkejut, sebab bel berbunyi pada saat tidak ada orang di dalam rumah selain aku.Suara sirine itu ialah sebuah alat yang terletak di tepi ranjang ayah. Ayah mertua bisa menggerakkan tangannya dengan sangat pelan, jadi di ranjangnya dipasang sebuah bel yang berbunyi seperti sirene. Setiap membutuhkan sesuatu dia akan memencet bel tersebut. Aku memberikan diri untuk masuk, karena di rumah sedang tidak ada orang. Namun, terkejutnya aku setelah sampai di dalam kamar tersebut, ternyata ada perempuan setengah baya, yang sedang mengganti diapres milik ayah."Siapa kamu?" selidikku."Aku adalah asisten ya