Pak Harsono mendengar suara tawa putrinya yang tengah berkebun di samping rumah. Sejak pulang dari rumah sakit dan kesehatannya mulai membaik, anak gadisnya yang dulu tidak betah di rumah, kini sebaliknya. Ia menjadi enggan ke luar. Bukan tanpa alasan, dari cerita istrinya, omongan tetangga yang pedas seperti sambal level sepuluh itu takut membuat mental sang putri down. Untung mengusir jenuh, Nirmala menghabiskan waktu di kamar untuk menulis dan berkebun.Kali ini, ia ditemani pria yang mengaku siap menerima apa adanya. Ya, lama kelamaan, pak Harsono mulai luluh setelah menyaksikan bagaimana pemuda itu memperlakukan putrinya dengan baik. Tidak hanya menerima keadaan Nirmala yang kondisinya tidak semulus dan secantik dulu, tapi mendukung penuh kegiatan barunya.“Pemuda itu jadi sering sekali ke sini,” kata bu Jati yang tiba-tiba muncul dengan nada dan raut wajah kurang suka. Kedua matanya yang besar menatap pemuda yang tengah membawakan pupuk kompos dan menaburkannya pada barisan poli
Pria itu sudah beberapa kali memarkir mobilnya di dekat gang masuk rumah wanita idamannya. Namun, kesabarannya sedang diuji, karena masih saja gagal melihat secara langsung sosok yang diintai.Yang ada, hari ini justru ia harus menelan ludah pahit saat melihat wanita incarannya itu melintas dengan dibonceng seseorang yang selama ini menjadi saingan terberatnya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, pemuda yang belakangan kurang tidur itu langsung tancap gas—membuntuti sepeda motor yang baru saja ke luar gang.Sepanjang perjalanan, ia tidak pernah lepas dari pandangan wanita yang tampak bahagia memeluk kekasihnya yang sedang mengendalikan kendaraan roda dua. Beberapa kali, keduanya tampak menikmati perjalanan sambil bergurau.Moment saat sang pengemudi mengambil kedua tangan wanita di belakangnya dan melingkarkan di pinggang, sembari tangan kirinya berada di paha sang wanita, membuat panas hati sang pengintai. Saking panasnya bakaran api cemburu yang melanda, pemuda yang tampak necis di
Anggara sebenarnya ingin mengejar Nirmala yang sudah menyeberang jalan raya, tapi urung. Selama menjalin hubungan, hal ini sudah terlalu sering terjadi. Dulu, beberapa kali, ketika sedang bertengkar di perjalanan, wanita temperamental itu pasti akan turun, lalu jalan kaki. Ia benar-benar berpendirian teguh—tidak akan sudi naik kembali ke motor jika keinginan atau kata-katanya tidak terpenuhi.Menyadari jika dirinya belum bisa memastikan ibunya seratus persen mau menerima keadaan Nirmala dan merestui pernikahan mereka, Anggara pun tidak mengejar. Pemuda yang tampak putus asa itu beberapa saat hanya bisa menatap kekasihnya itu berdiri menunggu angkutan kota. Setelah memastikan jika wanita yang tampak masih menangis itu masuk ke sebuah angkutan warna orange-biru, ia berjalan lemas menuju ke motornya yang terparkir.Beberapa meter melaju, tiba-tiba sebuah mobil menyalip, lalu menghadannya. Ia yang mengemudi dalam keadaan masih berfikir keras itu nyaris telat memegang kendali. Untungnya, k
Bu Sandra tersenyum puas setelah melihat video yang dikirim seseorang kepadanya lima menit yang lalu. Dari media bergerak tersebut, wanita yang sedari awal memang kurang setuju dengan ide perjodohan putranya, merasa menang telak. Sekarang, ia benar-benar yakin dan percaya diri bahwa perjodohan beda kasta materi itu memang sudah berakhir.Suaminya yang paling vokal menyuarakan ide gila itu nyatanya sudah menyatakan menyerah dan menemui mantan calon besannya, sebagai bentuk permintaan maaf dan penyesalan. Meskipun, dari video tersebut tersurat bagaimana ketidaksukaan pak Jaksa pada dirinya yang sering egois, mau menang sendiri dan semena-mena, wanita cantik itu tidak terlalu ambil. Karena toh, itu bukan rahasia lagi jikalau jauh sebelum dirinya menikah dengan lelaki bernama Jaksa, dia sudah kaya raya.Pemuda cerdas dan tampan itu sengaja dipilih orang tuanya yang seorang pembisnis terkenal di ibu kota untuk meneruskan bisnisnya yang semakin menggurita. Meski pada akhirnya, di tengah-ten
Baru saja bu Diana melangkahkan kaki masuk rumah, tapi sudah disambut sang adik yang tampak sumringah.“Loh, ngapain kamu di sini?” Saking kaget dan tidak menyangka akan disambut demikian, bu Diana jadi tidak nyaman. Padahal, ini bukan kali pertama adiknya berada di rumah tersebut.“Emangnya nggak boleh? Biasanya juga aku ke sini, kalau pas selo.” Bu Ayu tampak tersinggung, tapi langsung bisa mengendalikan diri untuk tidak terbawa arus. Karena dia punya misi untuk merayu sang kakak, sehingga senyumnya yang sempat redup, kini bersinar kembali.“Ya, dari cara kamu tersenyum, seperti ada sesuatu.” Bu Diana melangkah masuk sembari memperhatikan sang adik dari ujung kepala hingga kaki. Tidak biasanya wanita yang hari-hari tampak sederhana, kini berpakaian agak formal dengan balutan lipstik tipis. “Dari mana atau mau ke mana?”“Mau ajak kamu ke suatu tempat,” jawab tante Ayu to the point. Anggara yang kebetulan muncul dari arah dalam, menatap tantenya, lanjut ke reaksi sang ibu.“Mana?”“Si
Tante Ayu sedikit gerogi saat motor yang dikendarai keponakannya itu masuk ke sebuah pekarangan rumah yang cukup luas dan asri dengan banyak tanaman. Di hatinya, ada rasa bersalah, mengapa baru sekarang ke sini. Saat acara lamaran dulu itu pun, sebenarnya ingin ikut, tapi harus menjaga sang kakak yang kondisi kesehatannya sedang memprihatinkan.Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan ilmu psikologi, sekaligus pernah terjun menangani dan mendampingi penderita mental illness, wanita berwajah teduh itu tahu betul bagaimana harus bersikap. Setelah berfikir mendalam, akhirnya ia pun memberanikan diri untuk menjenguk kekasih sang keponakan—yang menurut cerita, dia sosok yang temperamental dan ekstrem.Begitu turun dari jok motor, seseorang berpenampilan layaknya wanita Jawa dengan pakaian kainnya, menyambut. Senyumnya begitu hangat.“Assalamu’alaikum, Bu. Saya Wahyu, tante Anggara.” Tante Ayu langsung menjabat tangan wanita yang tampak kaget dengan bola mata penuh tanya menatap pe
Tak selang berapa lama setelah kehadiran pak Harsono, Anggara dan tante Ayu pamit pulang. Sebelumnya, mereka menyapa sang kepala rumah tangga. Karena respon yang kaku dan terlihat kurang nyaman, akhirnya tante Ayu mengakhiri perbincangan singkat tersebut.“Sekarang, tante tau, kenapa Nirmala punya karakter abusive, seperti yang kamu ceritakan selama ini,” ucap tante Ayu begitu turun dari motor, setelah sampai rumahnya. Wanita yang tampak masih sumringah seperti awal keberangkatannya itu memang sengaja minta diturunkan dirumahnya, bukan di rumah sang adik—seperti biasanya. Ia masih ingin bicara pada sang keponakan yang begitu disayanginya.“Ya, begitulah. Tante sudah lihat sendiri. Apalagi, Tante orang psikolog, pasti bisa membaca aura, gerak dan mimik seseorang, ‘kan?” respon Anggara terlihat begitu lega dan bahagia. Karena, hanya tantenya ini lah yang sedari dulu begitu mengerti dirinya, jika dibandingkan dengan sang ibu yang selalu cuek dan cenderung abai.“Dan, beruntungnya Nirmala
Anggara benar-benar dipenuhi rasa kesal pada ibunya, yang tetap masih tidak mau membeberkan rahasia yang selama ini ditutupinya. Setelah menyeretnya masuk mobil, bukannya memberi tahu siapa pemuda itu, sang ibu justru hanya menyuruhnya untuk segera masuk.“Jalan aja, Mas,” ucap bu Diana singkat.Batin pemuda itu juga penasaran, mengapa wanita yang biasanya memiliki sejuta topik untuk dibicarakan, kini diam seribu bahasa. Lewat kaca spion, ia mencuri pandang ke arah pemuda yang duduk di samping wanita yang belakangan ini menjadi bagian dari tugas pekerjaannya. Ia sebenarnya ingin mengeluarkan kalimat, tapi bu Diana yang menyadari jika tengah diintai lewat kaca tersebut, menggelengkan kepala sambil melotot.“Ini udah nggak bener. Kalau Ibu nggak mau jelasin, coba Mas, kamu pasti tahu sesuatu. Kamu tahu maksudku, ‘kan?” Menyadari sang ibu dan pemuda yang memegang setir itu saling berkomunikasi lewat kaca spion, Anggara semakin tidak bisa menahan rasa ingin tahu kebenarannya.“Nggak usah
Nirmala mematung menatap ke arah luar melalui kaca jendela kamarnya—yang telah di-remodel Tante Ayu sedemikian rupa agar terlihat segar dan ceria. Pikirannya melayang-layang bagai layangan yang terbawa angin kemarau, entah akan berhenti di mana. Bayangan tentang persahabatannya dengan Fitonia belum juga bisa lepas dari memorinya, bagaimana dulu mereka sering menerka-nerka tentang sosok pacar dan suami impian. Tak disangka, ternyata kini keduanya memperebutkan pria yang sama.“Fitonia yang kukenal dulu tidak mungkin melakukannya. Aku tau dia begitu tulus menjodohkanku pada Anggara. Pun, terlihat dia begitu ikhlas mendukung penuh segala macam cobaanku bersama Anggara. Rasanya, tidak mungkin dia menusukku dari belakang. Tidak!” batinnya memekik begitu keras, sementara kepalanya berkali-kali menggeleng.Bu Harsono yang hendak masuk dan menyaksikan putrinya tengah melamun dengan ekspresi semacam itu, langsung mempercepat langkah untuk menghibur. Ia ingat pesan Tante Ayu bahwa gadis itu tid
Anggara tengah sibuk di meja kasir toko ketika seseorang yang tiba-tiba datang dan berseru, “lho, calon pengantinnya aja masih di sini, belum dandan, berpakaian rapi, siap melamar sang kekasih hati.”Mendengar kalimat tersebut, pemuda yang sebenarnya masih mencari-cari cara untuk merayu ibunya itu kaget. Sontak, ia mendongakkan kepala setelah beberapa waktu menunduk menghitung rupiah yang masuk ke brankas toko.“ Maksud Bu RT?” tanya Anggara dengan wajah lugunya yang kuyu—kurang tidur karena terlalu memikirkan nasib masa depan asmaranya.“Loh, masih tanya lagi. Bukankah ibumu mengundang kami untuk menjadi pengiring acara lamaranmu. Ya, to, Pak? Pak!” Wanita yang disebut Bu RT itu langsung berteriak memanggil suaminya yang masih memarkir motor depan toko.Jarak antara kasir dan emperen toko cukup dekat, sehingga Pak RT bisa langsung mendengar seruan istrinya, lalu masuk.“Loh, Mas Anggara belum siap, to? Padahal kami sudah begitu antusias mau mengantar Mas lamaran,” tutur Pak RT.Angg
Pening kepala sudah tidak bisa ditolerir lagi, Anggara memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu. Sang ibu memilih untuk masih tinggal menemani Bu Vera yang sendirian menunggui putrinya. Suami Bu Vera belum juga datang menjenguk sang putri alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.Langkah kaki lelaki itu pelan dan layu. Hatinya terombang-ambing pada kenyataan yang ada. Dia tidak mudah untuk berpaling, memang. Tapi, segala curahan hati Fitonia berhasil menggetarkan hatinya. Tidak mau hatinya semakin kacau, ia berusaha mengumpulkan energi untuk mempercepat langkah menuju kamar inap sang kekasih.Dia patut bersyukur karena tidak kepergok Nirmala atau ibunya saat sedang bersama Fitonia tadi. Padahal, Nirmala menyukai taman dan terhitung dua kali menghirup udara di taman tersebut selama menginap di rumah sakit itu.Anggara telah sampai di kamar yang telah beberapa kali dikunjunginya, tapi sepi. Ia urung untuk masuk, takut pasien sedang beristirahat.“Cari siapa, Mas?” tanya seseoran
“Kemarin kamu tanya ‘kan, kapan awal aku menyukaimu?” ucap Fitonia masih berusaha menunggu pemuda di hadapan itu menatapnya.“Sungguh, aku menyesal terlambat membaca surat dari mu itu. Kukira, isi surat itu akan sama seperti surat dari cowok-cowok lain tentang yah... tidak jauh dari fisik dan otak. Rupanya, kamu menulis tentang hati, ketulusan hati. Maaf, sekali lagi maaf,” sesal Fitonia yang terlihat jelas dari raut wajah, menunduk beberapa saat seperti menahan sesuatu.Anggara mulai tertarik dan mengangkat wajahnya, menatap wanita yang kini telah berhasil menguasai diri dan siap melanjutkan cerita. Begitu mengetahui pemuda idaman menatap ke arahnya, senyum otomatis mengembang tanpa komando. Hatinya berbunga-bunga seolah telah berhasil merayu kumbang untuk mampir ke kelopaknya. “Waktu itu, kamu ingat, aku tengah mempersiapkan lomba yang memaksaku harus akrab dengan buku dan bimbingan sana-sini. Surat itu aku selipkan di buku eksiklopedia yang kupinjam dari almarhum kakek. Sampai rum
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s