Mobil warna merah menyala itu masuk ke salah satu rumah yang berlokasi di sebuah perumahan cukup elit di kota. Sebelum turun, pria berkumis tipis itu memandang gadis yang tertidur di sampingnya. Entah mengapa, ia merasa nyaman berada di dekatnya. Dalam batin, dirinya ingin segera memiliki seutuhnya. Seolah tidak ingin kerasukan setan, akhirnya ia turun dan membuka pintu sebelah untuk membopong Nirmala masuk rumah.Begitu pintu terbuka, ada rasa ragu yang menyelimuti. Bagaimana tidak? Rumah bergaya minimalis modern itu sudah lama tidak ditempati, tentu saja keadaan tidak terawat. Tapi, dia tidak punya pilihan lain selain membawa gadis incarannya itu ke mari.Setelah meletakkan Nirmala di kamar utama, Lucky berniat untuk membersihkan rumah ini. Jangan sampai, ketika wanita pujaannya itu bangun dan merasa tidak nyaman. Bagaimanapun juga, dirinya telah memiliki keteguhan jiwa untuk menarik perhatian sang gadis pujaan.Sebelum melaksanakan rencana, Lucky duduk sebentar di sofa depan. Dia p
“Hey, hey, sadar Mala, sadar, Hey!” Lucky memekik keras sembari kedua tangannya berusaha menjauhkan diri dari tubrukan tubuh gadis yang tampak tengah kerasukan itu. Namun, sekuat apapun gadis itu berusaha menubrukkan diri, tetap kalah dengan tubuh pria semampai di hadapannya.Lucky benar-benar tidak menyangka jika wanita yang tadinya lemah lunglai seperti tidak punya kekuatan, tiba-tiba menyeruduknya—seolah hendak menyerahkan diri. Kekagetannya semakin menjadi manakala dengan cepat gadis itu berusaha melepaskan pakaian yang dikenakan.Dirinya memang terkenal brengsek, tapi jika dihadapkan dengan situasi seperti ini, sama sekali tidak membuatnya bergairah. Justru, pria itu merasa iba. Bahkan, rasa ibanya bertambah manakala tanpa sengaja terlalu kuat mendorong yang menyebabkan gadis itu tersungkur.“Kenapa? Kenapa kamu tidak menyambutku? Katanya kamu mau menikahiku? Bukankah itu impianmu?” Tangisnya yang tadi setengah menjerit, kini hanya seperti isakan, lirih dan dalam. Iapun menunduk,
“Loh, kok kamu di sini? Anggara mana?” Bu Diana kaget manakala masuk ke toko dan mendapati adiknya yang sedang berjaga di kasir. Wanita yang masih menggunakan pakaian olahraga itu celingak-celinguk mencari sosok putranya yang diamanati untuk menjaga toko.“Keluar tadi,” jawab Bu Ayu berusaha santai.“Kemana?” tanya Bu Diana sembari meletakkan tas selempangnya di sebuah standing hook besi tak jauh dari meja kasir.Bu Ayu tak menjawab. Wanita yang pernah membantu orang tuanya melayani pembeli di warung itu belum menemukan kata-kata yang pas. Ia justru sibuk meng-cross-check pembukuan, takut ada yang salah, karena sudah cukup lama dirinya tidak berurusan dengan angka-angka.“Jangan bilang kalau Anggara pergi mencari gadis itu.” Tiba-tiba mood Bu Diana memburuk manakala memikirkan kemungkinan putranya pergi untuk mencari kekasihnya. “Dia beneran nggak bilang mau kemana?” tanya Bu Diana lagi. Kali ini dengan tatapan curiga.“Mbak...” Bu Ayu tidak tahan dengan sorot mata tajam itu, lalu wan
Bab LIITragedi di Sebuah Club MalamNirmala bisa menikmati musik yang membahana seruangan yang sangat luas. Dia yang penyuka musik dan sering menghibur diri di rumah dengan musik pun tidak bisa menolak untuk bergerakkan badan. Awalnya hanya ke kanan dan ke kiri, tapi lama kelamaan, wanita muda yang hatinya tengah hancur itu terbawa suasana. Bahkan, tanpa memperdulikan pria yang membawanya ke mari, dia masuk ke tengah-tengah hamparan manusia yang tengah mencari hiburan.Takut terjadi apa-apa dengan wanita yang dibawanya itu, begitu menyadari Nirmala telah tidak ada di samping, ia segera mencari ke tengah-tengah kerumunan. Untunglah, dia orang yang telah akrab dengan dunia macam begini, jadi dalam sekejap sudah bisa menemukan gadis itu.Lucky menatap Nirmala antara rasa heran dan kagum. Wanita yang dalam benaknya adalah gadis rumahan, kini terlihat seperti gadis liar yang mahir meliuk-liukkan badan. Tak terasa jiwa lelakinya yang kuat merasuki.“Tidak salah aku makin jatuh hati padanya
Kabar tentang kebakaran sebuah club di pusat kota segera merebak dengan cepat. Beberapa unit damkar dari dalam dan luar kota tetangga segera didatangkan untuk memadamkan kobaran api yang semakin menjadi. Lokasi kejadian sudah penuh dengan warga yang penasaran. Sementara, petugas razia yang dengan cekatan berhasil lolos dari jilatan lidah si jago merah segera mengamankan para pengunjung club yang selamat.“Lapor, Pak. Beberapa ada yang sudah lolos. Selain adanya kebakaran, menurut informasi, rencana kita sudah ada yang mengendus dan bocor.” Seorang laki-laki dengan jaket kulit hitam dan kepala plontos itu berlari menghampiri seniornya yang tengah mengawasi beberapa pengunjung cafe yang berhasil diamankan.Ada gurat kecewa di wajah petugas senior itu, tapi ia berusaha tenang dan menginstruksikan untuk mendata para pengunjung yang telah terkumpul. “Segera lakukan tes urine dan laporkan secepatnya,” perintahnya sesaat sebelum sibuk dengan panggilan teleponnya.“Lapor, Pak. Ada korban. Seo
“Kamu kenal dengan salah satu pasien korban kebakaran tadi itu?”Di saat sedang merenung di taman dekat parkir area rumah sakit, senior Siska mendekat sembari membakar kreteknya. Sebelum menjawab, wanita muda itu mendelik ke pria beruban itu sembari mengisyaratkan untuk tidak merokok.“Ah, gatal mulutku. Makanya nggak betah di dalam,” jawab pria itu nekad menyalakan kreteknya dan duduk di sebelah Siska. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” protesnya menatap wanita yang tampak mendung tersebut.“Masa kamu lupa. Dia kan, Nirmala, Nirmala Dwi Kumalasari. Oh, ya, Kumala. Kamu taunya nama radio,’kan?”“Oh ya? Kok aku pangling?” Pria itu tampak kaget, tak menyangka jika wanita yang ditangisi rekannya itu juga mantan rekannya.“Mungkin karena luka wajahnya yang diperban. Jadi, kamu tidak mengenalinya. Aku langsung tahu, karena tahi lalat di cuping hidung sebelah kanan. Dan, baju dikenakan sama seperti...” Demi mengingat sesuatu, Siska menggantungkan kata-katanya. Memori saat Nirmala membuka isi
“Maaf, Mbak itu yang penyiar radio, ‘kan?” tanya Anggara, begitu tamu di depannya duduk dan beberapa detik tidak bersuara.Setelah bertanya, Anggara menatap dua orang yang berdiri bersebelahan di ambang pintu. Wanita yang tampak kuyu dan lelah itu mengangguk sembari mengatur napas. Melihat reaksi tamu keponakannya itu, tante Ayu ke belakang untuk mengambil air minum hangat untuk menenangkan.“Mas Anggara sudah dengar berita?” tanya Siska sembari melayangkan tatapan sedih.“Berita apa, ya? Maaf, belakangan aku jarang pegang hape dan tidak pernah nonton berita di TV. memangnya ada berita apa, ya?” tanya Anggara penuh kecemasan. Kemarin dirinya bertemu wanita itu dan pulang dengan hati penuh rasa bersalah. Kini, mantan rekan kerja kekasihnya datang, pastilah ada berita penting.“Ya, Mas. Aku datang mau memberi tahu sesuatu,” ucap Siska masih berusaha mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan sebuah berita.“Minum dulu, Mbak,” ujar tante Siska sembari menyodorkan secangkir teh manis
“Apa Mas lagi nyari pasien seorang wanita di ranjang nomor empat?” tanya seorang perawat yang keheranan melihat seorang pria menyelonong dan mengecek satu per satu pasien.Pria yang wajahnya dipenuhi rasa cemas itu mengangguk cepat.“Iya, Suster. Namanya Nirmala Dwi Kumalasari. Ke mana dia, ya?”“Sudah dipindahkan ke ruang khusus, Mas. Kalau boleh tahu, Mas ini siapanya pasien, ya?”“Saya calon suaminya, Sus. Di bawa ke ruang khusus mana? Kenapa?” tanya pria muda berwajah pucat itu sangat penasaran. Sampai apa yang ia ucapkan terasa mengalir dan mantap menyebut dirinya sebagai calon suami. Hal itu ia lakukan agar bisa segera bertemu wanita pujaan hatinya.“Oh, begitu, ya. Jadi begini, Mas. Tadi, pasien kehilangan kontrol hingga mencoba melukai diri. Jadi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami memindahkannya ke ruangan khusus,” ucap perawat tersebut sembari mencatat sesuatu.“Sebelumnya, sudah datang seorang wali pasien yang merupakan seorang kenalan. Tapi, beliau berse
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be