Belum genap 1 tahun aku merasakan hari-hari bebasku setelah lulus SMA, tiba-tiba kedua orangtuaku mulai membuat rencana perjodohan bodoh dengan anak seseorang yang entahlah siapa itu...Saat pria yang hendak dijodohkan denganku itu datang, tentu aku sudah kabur dari rumah dibantu dua sahabatku, Sasha dan Harit. Kami bertiga pergi ke mall dan jalan-jalan keliling kota sedangkan Mama berusaha terus-menerus menghubungi ponselku yang sudah kumatikan sebelumnya. Mama juga memarahi Lily asistenku habis-habisan karena dianggap tak becus mengawasiku yang seharusnya masih ada di kamar. "T-tapi, tadi Nona Jasmine tidak keluar dari kamar, Nyonya. Sungguh, saya terus berdiri didepan kamar Nona Jasmine." jawab Lily bingung. Kemudian keduanya melihat jendela kamar yang sudah terbuka lebar, dimana angin berhembus mengibar-kibarkan gorden putih yang menjadi saksi kepergianku. Ketika Mama mendekat dan melihat keluar, sudah ada tangga kayu yang menjadi sarana turun dari lantai 1 ke lantai dasar. "Si
Sesuai dengan hari dan tanggal yang telah Mama tentukan, akhirnya aku bertemu dengan pria yang ingin Mama jodohkan itu. Dirumah kami, dia dan keluarga kecilnya datang... Ibunya begitu aktif bertanya basa-basi soalku sedangkan pria itu sendiri terlihat seperti pemalu dan tidak banyak bicara. 20 menit yang terasa seperti neraka duduk dan pura-pura tersenyum ramah pada mereka sampai pipiku sakit. Begitu mereka pulang, aku tidak perlu pura-pura tersenyum lagi. Aku melihat Mama dan berkata, "Aku tidak menyukainya. Tolak." kemudian aku pergi ke kamar. Kupikir sudah selesai dan segalanya kembali baik-baik saja. Ternyata tidak. Satu minggu setelah kejadian itu, aku harus kembali duduk diruang tamu dan menanggapi pria lain. Sekali lagi, aku berkata, "Tolak." 2 Bulan kemudian. Tepatnya setelah aku pulang dari pesta pernikahan Sasha di bulan maret. Ada pria lain yang ingin Mama jodohkan. Kupikir ini yang terparah dari yang sebelum-sebelumnya. Pria itu bernama Antonio. Usia 25 tahun. Lebih
Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Ketika bertemu, kami berdua tidak banyak bicara karena Mama dan Papa selalu mendominasi. Dia lebih banyak tertawa menanggapi pertanyaan-pertanyaan orangtuaku sesekali curi pandang melihatku. Hanya sekitar 15 menit sebelum pada akhirnya pamit pulang dan meminta nomor ponselku. Sekarang, disinilah aku berada. Duduk diatas kasur sambil memikirkan semuanya. Mungkin bayanganku soal Richard tidak seburuk kenyataannya. Dia memang tidak terlihat tua seperti yang kubayangkan. Tidak juga jelek. Bahkan dia yang paling tampan diantara pria-pria yang sebelumnya datang. Tapi semua itu tetap saja tidak membuatku jatuh hati. Aku ingin menangis karena rencana pernikahan ini. Aku tidak mau menikah sekarang. Aku tidak bisa. Ada banyak target yang belum kupenuhi dan banyak hal yang belum kucapai. Bagaimana jika menikah lalu hamil? Lalu memiliki anak? Lalu Richard mengatur-atur kebebasanku? Lalu aku hanya bisa melakukan apa yang
Kuharap, keesokan harinya adalah mimpi. Mama memilihkanku setelan baju putih dan menyuruhku berdandan. Ia juga memberikan kalung pernikahannya untuk kupakai saat bertemu keluarga Richard nanti. Aku tidak tahu harus dandan seperti apa? Kusisir rambut pendekku ini dan kubuat belahan pinggir, haruskah kuikat saja rambutku agar terlihat lebih rapih? Setelah beberapa detik berpikir, aku memutuskan untuk mengikatnya saja. Kemudian kulihat penampilanku di cermin. Sudah bagus. Kuambil kotak kecil wadah tempat Mama menyimpan kalungnya. Kotak kayu ini pasti sudah lama tidak dibuka sehingga tanganku sedikit kesulitan membuka selotnya. Dari belakang, kudengar seseorang membuka pintu dan berjalan menghampiriku. "Mama, tolong buka-kan kotak ini," pintaku, ternyata bukan Mama yang masuk. Tapi Richard. Sosoknya yang berdiri di belakangku terpantul di cermin panjang yang sedang kulihat. "Hei, kenapa kau masuk kamarku?!" kataku terkejut sambil menengok kearahnya. "Oh, Mama yang menyuruhku kesini.
Richard mengajakku keliling rumah, dari ruang depan, ruang tengah, ruang makan, taman belakang yang ada kolam persegi panjang, dapur dan 2 kamar tamu. Kemudian masuklah aku ke kamarnya. Kupikir kasur kamarnya lebih besar dari kamar tamu, tapi justru kasur kamarnya tidak lebih besar dari kasur-kasur yang ada di kamar lain. Ada satu kamar yang tidak kami masuki karena kata Richard kamar itu terkunci. Itu kamar Rivi. Sejak kemarin aku mengenal Richard, baru sekarang ini aku penasaran dan tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya soal Rivi. Dimana Richard bertemu Rivi? Sejak kapan mereka tinggal bersama? Kenapa harus tinggal bersama? Ketika perjalanan pulang, Dia menjawab semuanya. Dia mengenal Rivi sejak kuliah 5 tahun yang lalu. Mereka satu jurusan dan Rivi teman kepercayaan Richard satu-satunya. "Dia orang yang gesit dan jujur. Itu sebabnya setelah lulus ku tawarkan kontrak kerja sama. Karena ada banyak pertemuan antar aku dengannya, lebih gampangnya kusuruh dia tinggal dirumah
Malam itu sampai pukul 9 lebih, Richard belum juga pulang. Tapi masa bodoh bagiku karena memang tidak kutunggu kepulangannya. Saat aku tidur, dia mengirim pesan singkat kalau dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Begitu Richard sampai dan masuk kamar, dilihatnya aku sudah tidur pulas. Dia menciumku beberapa kali sebelum mandi dan ganti baju, kemudian ikut tidur satu selimut sambil menciumiku lagi. Aku mulai sadar dengan apa yang dia lakukan, tapi kemudian dia berhenti dan minta maaf karena hampir membangunkanku. Meskipun aku terlalu ngantuk untuk marah, tapi kupaksa diriku untuk membuka mata dan memberitahunya untuk tidak melakukan itu. Richard minta maaf dan aku kembali tidur memunggunginya. Pagi hari ketika kembali sadar dari tidur, posisiku sudah berubah ditengah kasur dalam keadaan dipeluknya. Risih sekali harus tidur sambil berpelukan seperti ini. Bagaimana mungkin aku tidak sadar?Kusingkirkan kedua tangan Richard dan turun dari kasur.Perutku sedikit mual ketika masuk kama
Terlalu dekat hingga membuatku mundur-mundur. “Kenapa? Kau takut? Aku bisa melakukannya pelan-pelan, tenang saja.” katanya. Jantungku langsung berdebar. “Richard, aku tidak mau melakukan itu, bisakah kau menjauh?? Seriously!” Kudorong dia menjauh dan hendak turun dari kasur. “Hei, kau mau kemana?” Hampir saja dia menangkap tanganku dan hendak mencegahku pergi, untungnya tidak berhasil. Cepat-cepat aku keluar dari kamar sementara Richard masih memanggilku. “Jasmine, Jasmine…” Aku harus pergi dari rumah ini! “Hei, kau mau kemana?” Richard berlari kecil mengejarku. "Jasmine, tunggu dulu," diraihnya tanganku yang hendak menyentuh ganggang pintu, "Kau mau kemana?" Tanyanya sekali lagi. "Pergi!" "Kenapa??" Aku diam sesaat. Tiba-tiba Richard tertawa, "Kau takut itu? Kau tidak mau berhubungan denganku?" Aku melihat kearah lain. "Tidak apa-apa kalau kau masih takut. Aku tahu posisimu. Kita berdua tidak pernah saling kenal sebelumnya dan aku hanyalah orang asing," Aku melihat wajah
“Astaga!!” “Oh nooo,” “Demi Dewa Merkurius, Venus dan Pluto, aku tidak mau terlibat apapun jika kalian bertengkar!” kata Sasha panik. “Aku juga! Aku tidak mengajakmu kesini dan aku tidak tahu apa-apa demi semua planet di alam semesta!” tambah Harit. “Kalian tidak usah panik!” bisikku melihat keduanya. “Aku akan pulang. Tidak akan terjadi apapun dan dia tidak akan melakukan apapun.” Kataku kemudian berdiri meninggalkan keduanya. Padahal aku belum makan dan pesananku masih dibuat. Begitu langkahku sudah dekat, Richard tersenyum sambil berkata, “Bagus.” Kami berdua keluar dan dia membukakan pintu mobilnya padaku. Sekarang aku sadar bagaimana dia bisa menemukanku disini. Titik lokasi di ponselku selalu aktif dan nomorku terhubung di salah satu aplikasi dimana Richard bisa menemukanku kapanpun dimanapun selama titik lokasi itu aktif. Betapa bodohnya diriku... Lebih bodoh lagi karena kupikir Richard akan membebaskanku melakukan apapun. Dia bukan pria yang posesif?? Kutarik lagi kata-k
Aku menatap ponselku. Menunggu pesan masuk dari Emily. Kemudian...Ting!Tanda pesan masuk baru. 1 foto blur yang otomatis ku unduh. Ketika gambarnya jelas, aku berdecak kesal."Dasar!" kataku.Rivi yang berdiri di belakangku ikut melihat apa yang kulihat."Siapa itu?" tanya Rivi.Tanpa perlu memperbesar foto pun aku tahu siapa pria itu. "Ini Suaminya Sasha, Riv." Kataku."Dasar, Emily. Kupikir Istriku bersama siapa,"Kemudian kudengar dari rekaman, Emily mulai beraksi. Dia yang sudah membawa nampan makanan mendatangi Jasmine dan Sasha sambil pura-pura mengenal keduanya. Kemudian dia ingin bergabung bersama mereka.Emily mengatakan bahwa dirinya juga alumni sekolah Jasmine. Dia tahu Jasmine populer, ketua cheerleaders dan semacamnya. Kemudian Sasha memberitahu pria yang bersama mereka itu suaminya dan Emily mengajaknya berkenalan juga.Setelah bertanya basa-basi kenapa mereka disini dan sebagainya, akhirnya topik berganti soal masa-masa sekolah. Aku dan Rivi mulai tegang karena takut
Malam hari jam pulang kerja, aku melihat CCTV rumah lewat ponselku. Ada Ibu datang entah sejak kapan. Kuputar mundur CCTV sampai di titik sore menjelang malam. Ibu datang pada saat itu. Kemudian aku kembali melihat apa yang sedang mereka bicarakan sekarang. Keduanya ada di dapur sambil tertawa. "Ibu memang tidak pintar memasak. Tapi untungnya Ayah mau makan ayam gosong itu," Jasmine masih tertawa. "Tapi seiring berjalannya waktu, Ibu mulai bisa beberapa resep. Hanya beberapa resep saja karena selebihnya sudah dikerjakan koki di rumah," Jasmine mengangguk-angguk. Aku ikut tersenyum melihatnya. Kemudian aku masuk ke dalam mobil. Meletakkan ponselku pada penyangga di dashboard, lalu menyalakan mesin. Selama perjalanan, aku tidak fokus mendengarkan pembicaraan mereka, tapi di lampu merah, Ibu berkata, "Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin memiliki cucu," Ibu melihat Jasmine sambil tersenyum lebar dan Jasmine merasa sedikit kikuk. "Apa kau sudah melakukan test pack?" Jasmine mulai b
Pagi itu aku meminta 3 suruhanku mencari informasi apapun tentang persahabatan dan riwayat hidup Jasmine. Hanya dalam waktu seminggu, mereka sudah memberiku berbagai informasi tentang Sasha dan Harit. Berapa lama mereka bersahabat, kemana saja mereka pergi, apa saja yang biasa mereka lakukan, film apa yang biasa mereka tonton. Juga sekumpulan foto Jasmine dengan mereka. Foto berpelukkan, foto di kelas waktu mereka masih SMA, juga foto dengan teman-temannya yang lain. Aku menggelengkan kepala sambil mengamati foto itu satu per satu. Belum ada hal yang mencurigakan disana. Kemudian informasi tentang sahabat Jasmine waktu SD sampai SMP yang bernama Sally. Foto-foto mereka berdua yang lebih banyak memeluk. Jasmine dan Sally selalu berdekatan. Mereka selalu pergi bersama sambil bergandengan tangan, bahkan Sally sudah dianggap anak oleh Mama Sarah. Mereka sudah satu kelas sejak SD sampai SMP, sayangnya setelah kelulusan SMP, Sally pindah keluar negeri hingga keduanya mulai putus komunika
Namaku Richard Holmes, tapi orang-orang terdekatku biasa memanggilku Richie. Aku lahir di musim kemarau, tepatnya pada bulan april sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama keluarga Holmes. Ayahku adalah pengusaha besar pemilik perusahaan Holmes dan keluargaku cukup terkenal di kalangan para pengusaha sebagai orang yang baik dan terpandang. Sejak kecil, kedua orang tuaku sudah memberikan yang terbaik. Mereka menyekolahkanku di sekolah terbaik, mencarikanku guru les terbaik dan mengumpulkan ku dengan orang-orang terpelajar. Banyak orang yang mengatakan diriku sempurna. Terlahir dari keluarga terhormat, memiliki fisik yang tampan, dan memiliki sifat yang dermawan seperti Ayahku (kata mereka). Tapi diantara 3 pujian tersebut, yang paling sering kudengar adalah ketampanan fisik. Sejak masuk taman kanak-kanak, sudah banyak perempuan yang ingin dekat denganku. Waktu sekolah dasar, aku pernah curi dengar anak-anak perempuan yang sedang membicarakanku. Salah satu diantara mereka meng
"K-kau..." Mama terbata-bata. "Apa yang kau pikirkan, Jasmine??" Tiba-tiba suaranya meninggi, tapi kemudian diam sambil menutup mata sejenak. Mama sadar kami sedang tidak berdua, ia manatap Lily dan memberinya isyarat untuk pergi. Lily yang sejak kemarin memang tidak tahu kejadian apapun langsung angkat kaki. Kemudian Mama kembali bertanya tapi kali ini suaranya jelas. "Jadi kemarin kau membentak Richard?""Hmm," Jawabku mengiyakan. "Astaga, Jasmine. Kau tahu? 21 tahun, Jasmine. 21 tahun Mama menikah dengan Papamu, sampai detik ini belum pernah Mama membentak. Kau baru 2 hari menikah langsung membentak suamimu seperti itu? Kau tahu posisi kita ini apa?" Suara Mama kembali meninggi hingga aku tak berani menatapnya lagi. "Tanpa keluarga Richard, Papa tidak bisa membesarkan perusahaannya menjadi seperti sekarang. 5 tahun lebih Papamu bekerja sama dengan keluarga Richard. Bisa-bisa hancur karena ulahmu!" "Tapi aku tidak mau menikah, Ma! Ini bukan kemauanku!" "Papa bilang kau sudah ma
Aku langsung mengambil bantal dan menepuk wajahnya yang hendak mendekat, "NOO!!" Richard mundur seketika. "Sudah kubilang aku tidak mau, aku tidak siap sekarang Richard, aku tidak si--" "Baiklah, baiklah." Richard mengangkat kedua tangannya. "Aku menyerah sekarang, sungguh, aku mau tidur saja," Dia merebahkan tubuhnya di kasur sedangkan aku masih duduk. Aku mendengus kesal karena kasur ini tidak luas. Mau tidak mau jarakku dengan Richard selalu berdekatan. "Kenapa?" Tanya Richard. "Harusnya kasur ini diganti dengan kasur sebelah." "Aku tidak mau." Jawab Richard. "Kasur sebelah bekas tidur tamu, dan kasur satunya bekas Rivi. Ini satu-satunya kasurku." "Duuuh, apa penting kasur ini bekas tamu atau siapalah," "Penting." Richard menghadapkan tubuhnya kearahku dan menutup mata. "Nanti kubelikan kasur baru... kau mau yang seperti apa? King size? Tapi begini saja sudah nyaman." "Ya. Nyaman untukmu tapi tidak untukku." Richard tidak menjawab. Dia masih menutup matanya. Aku kembali
"Kami tidak apa-apa. Harusnya Ibu menekan bel dari luar kalau masuk. Aku dan Jasmine sedang praktek skenario cerita yang waktu itu kubuat." "Skenario yang mana?" tanya Ibu Susan. "Yang waktu itu pernah kutunjukkan pada Ibu, skenario Si Tudung Merah. Apa Ibu lupa?" "Jadi kalian sedang praktek dialog Si Tudung Merah?" "Iyaa," Jawab Richard setengah ingin tertawa. "Kenapa wajah semuanya begitu tegang? Hahahahaha!" "Ehe," Aku ikut tertawa bingung. Mungkinkah ada jiwa-jiwa psikopat di dalam diri Richard? Ibu Susan masih terheran-heran. "Bisa-bisanya kau masih terobsesi dengan cerita Si Tudung Merah dan menyuruh Istrimu praktek dialog?" "Hahahaha," Richard masih tertawa. "Aku ingin tertawa melihat Ibu tadi, serius sekali." "Astagaaa," Ibu Susan geleng-geleng keheranan. Mama menghela napas dan Archie ikut tertawa kecil. Lily yang dari awal tidak tahu apa-apa tetap bingung melihat kanan-kiri. "Kau ini jangan aneh-aneh Richie!" tambah Ibu Susan. "Hampir saja Mama mau pingsan melihatmu
Awalnya aku tidak berontak dengan apa yang Richard lakukan. Dia begitu lembut hingga dapat kurasai bibir tipisnya itu. Udara yang kuhirup mulai terasa sesak dan semakin sesak. Ciuman yang awalnya pelan dan lembut itu berubah semakin panas dan bergairah. Richard mulai memasukkan lidahnya ke mulutku dan aku langsung menarik diri. Richard hampir saja menarikku lagi untuk diciumnya tapi langsung ku dorong. "Jangan!" kataku. "Kenapa?" Aku menggelengkan kepala sambil mundur, kemudian berdiri dan berlari memasuki kamar. Perutku mual dan perasaanku menjadi tidak enak. Seperti geli dan ingin muntah. Sebelum Richard ikut masuk kamar, aku sudah ke kamar mandi dan mengunci pintu. Kudengar langkah kakinya mendekat didepan pintu. "Jasmine, kau baik-baik saja?" Tok tok tok "Tidak apa-apa. Tinggalkan aku sendiri!" kataku. Aku duduk di kloset sambil memegang perut. Kulihat ada bayangan hitam dibawah celah pintu kamar mandi, tanda kalau Richard berdiri disana. "Kenapa? Kau tidak apa-apa, kan?"
Kulihat dua pasangan di seberang sana sedang bermesraan. Kedua tangan mereka saling menggenggam diatas meja dan mereka bicara soal ini dan itu sambil tertawa. Dari mata ke mata, aku tahu mereka berdua saling jatuh cinta. Aku tahu apa yang Richard pikirkan... Dia pasti iri. Lebih-lebih setelah makanan yang mereka pesan sudah tersaji, mereka saling menyuapi. Eww!! Hal yang menggelikan yang tidak ingin kulihat. Richard kembali melihatku dengan tatapan lesu. "Aku tidak mau melakukan hal semacam itu, menjijikkan!" komentarku sambil melihat pasangan sebelah. "Ini bukan soal kemesraan mereka." kata Richard dengan malas. "Perempuan itu mantanku, Jasmine." "Hmmgh-" Aku langsung berhenti mengunyah dan melihat kearah perempuan itu sekali lagi. "O-oh," Aku kehilangan kata-kata. Usia perempuan itu sepertinya tidak jauh dari Richard, kulitnya putih dengan rambut pirang yang mencolok. Dia mirip model-model sampul yang menghiasi majalah. Dia cantik. "Sebaiknya kita segera pergi. Cepat habiska