“Ada yang mau dibicarakan?” tanya Erin dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang terlihat dingin. Sorot mata kedua orang tersebut bertemu, tapi Erin segera mengalihkan pandangannya ke kaleng minuman di atas meja lalu meraihnya. “Ya, bulan depan aku akan pergi ke Perancis mengunjungi Nicho…,” “Bersama Niki,” ucap Erin melanjutkan perkataan David. Pandangan David menyelidik ekspresi Erin. Perempuan tersebut tampak tenang dalam ekspresi datarnya, tapi ada nada kesal dalam ucapannya. “Lalu?” tanya Erin yang kemudian memandang ke arah David. “Aku hanya ingin memberitahu mu tentang itu…” Erin mengangguk kemudian kembali meraih makanan miliknya dan mengunyahnya perlahan. Suasana ruangan tersebut menjadi hening setelah keduanya saling terdiam dalam waktu lama. David bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah pergi dari ruangan tersebut. Beberapa saat kemudian ekspresi datar Erin berubah menjadi sendu. Perempuan bermata coklat tersebut tetap melanjutkan mengunyah makanan yang ada d
Setelah mendengar percakapan Nathan dengan Emmy waktu itu, setiap harinya Erin selalu bekerja lebih banyak untuk memikirkan inovasi yang bisa dilakukannya agar semuanya kembali membaik. David merasa khawatir saat melihat Erin berada di ruang kerja setiap hari hingga larut malam. Meski sudah menasehatinya agar tidur dengan cukup, perempuan tersebut tetap keras kepala dan melanjutkan kegiatannya. Erin memang tidak menceritakan semua hal kepada David, tapi pria itu mengetahui semuanya dari Harsano yang merupakan ayah mertuanya. Cerita yang didengarnya hanya tentang pemberhentian kerjasama dari beberapa mitra bisnis yang sudah terjalin sejak dulu. David belum mengetahui bahwa ada campur tangan dari pesaing Erin pada hal tersebut. Pria tampan yang sudah menjadi suami kontraknya itu juga sering menemaninya hingga larut malam. Walau hanya saling diam dengan kegiatan masing-masing, Erin selalu merasa lebih tenang jika ada David dalam ruangan yang sama dengannya. Walaupun Erin selalu meno
“David, sepertinya kita nggak bisa bertemu dulu…,” ucap Niki dengan suara tertahan seperti sedang menahan sakit. “Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” “Tidak ada… .” David menghela nafas panjang. “Kamu dimana, biar aku kesana sekarang.” “Aku nggak bisa menemui mu… .” “Kalau kamu nggak mengatakannya, aku nggak bisa berjanji untuk ikut menemui Nicho.” Pria bermata coklat itu memejamkan matanya. Ia sebenarnya tidak ingin menggunakan Nicho untuk beralasan seperti itu. Namun firasat David mengatakan ada sesuatu yang terjadi kepada Niki. Niki terdiam selama beberapa saat lalu mengatakan lokasi tempat ia berada dengan suara terpaksa. David tahu, jika tidak memikirkan putranya, pasti wanita itu akan tetap merahasiakan keberadaannya. Setelah mengetahui tempat Niki berada, David langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kemungkinan mulai muncul dalam pikirannya. Sepuluh menit kemudian David sampai di sebuah hotel tempat Niki menginap. Ia terburu-buru melangkah menuju no
Keberangkatan David ke Perancis yang lebih cepat dari rencana, sempat memunculkan tanda tanya di benak Harsano. Namun Erin menjelaskan bahwa David sedang ada urusan bisnis dan perlu mempersiapkan semuanya lebih awal. Tentu saja pria tua itu mempercayai ucapan putrinya. Sebenarnya Erin tidak sepenuhnya berbohong. Hanya saja urusan bisnis yang disebutkan, seharusnya diurus oleh salah satu karyawan David yang lain. Hardion yang merupakan ayah David sekaligus pimpinan di MG juga tidak banyak berkomentar karena lebih merasa lega karena putranya yang mengurus semua secara langsung. Tidak ada yang tahu kecuali Erin jika David pergi karena mengurus sesuatu yang berkaitan dengan mantan istrinya dan juga seorang anak yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Meski Erin tidak mencegah atau berkomentar, ia tidak ikut mengantar kepergian David. Perempuan itu beralasan ada kelas dan tidak bisa lagi membolos. Tentu saja semua yang dikatakannya hanya kebohongan. Erin hanya merasa tidak ingin
Pak No berdiri dengan ekspresi panik. “Nona, tuan Harsano nggak sadarkan diri… .” Ekspresi wajah perempuan yang sedang berdiri di ambang pintu tersebut menjadi pucat. Dadanya terasa sesak, semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Namun Erin mencoba mempertahankan kesadarannya. “Dimana?” “M-masih di ruang kerjanya…,” ucap pak No terbata-bata saat melihat tatapan mata Erin yang nyaris saja menjadi kosong. Erin langsung berlari cepat menuruni tangga, menuju ruang kerja ayahnya dengan pintu yang masih terbuka. “Pa!” Bi Karti menjelaskan kalau ia baru saja menemukan Harsano tergeletak saat membawakan kopi yang diminta oleh pria tua itu. Sambil mendengarkan penjelasan bi Karti, Erin memastikan denyut nadi ayahnya. Wajahnya tampak sedikit lega meski masih terlihat pucat. Sesak, dada perempuan tersebut terasa sesak. Tubuhnya terasa lemas tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap dalam keadaan sadar. Setelah menghela nafas panjang, Er
Erin membuka matanya usai tidak sadarkan diri selama lebih dari tiga jam. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi, lalu kepalanya terasa sakit lagi. “Kamu udah bangun?” Tatapan mata Erin menuju ke sumber suara. Ia melihat pria di sampingnya menatap dengan ekspresi khawatir. Mata hitam yang dulu pernah ia cintai. Perempuan bermata coklat tersebut mulai bisa kembali mengingat apa yang terjadi. “Apa papa ku udah bangun?” “Belum tapi dokter bilang keadaannya saat ini sudah tidak kritis, mungkin besok kamu bisa mendengarnya sendiri dari dokter… .” Pandangan mata Erin beralih ke jendela ruangan yang tertutup. Ia mulai menebak berapa lama ia tidak sadarkan diri. “Makanlah sesuatu sedikit,” ucap Nathan lagi. “Nanti,” jawab Erin pelan. Suasana ruangan itu kembali menjadi hening. Nathan menatap Erin yang kembali menutup matanya. “Mas David menanyakan keadaan mu… .” Mata Erin terbuka lagi. Ia baru ingat saat ini sedang tidak membawa ponsel karena pergi dengan terburu-buru. “Aku
Ekspresi perempuan cantik itu tampak sangat lelah. Tidak terlihat lagi ambisi dan semangat seperti dulu. Banyak hal yang berubah dengan cepat dan ia masih tidak siap dengan semua itu. Pandangan matanya menatap jauh ke langit melalui jendela ruang kerjanya. Tatapan mata yang dipenuhi dengan kesedihan dan penyesalan. Dalam beberapa hari ini banyak hal yang terjadi. Setelah ayahnya jatuh tidak sadarkan diri dan masih belum sadar, ia harus mengambil keputusan berat untuk menghentikan produksi furnitur dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Mengambil alih pekerjaan ayahnya masih terasa berat meski ia bekerjasama dengan orang-orang yang dapat dipercaya. Erin masih belum siap untuk melakukan itu semua. Tidak hanya masalah pekerjaan yang memenuhi pikirannya, perkuliahannya juga terhambat karena ia harus sering membolos saat perlu mengikuti rapat yang kadang diadakan bertepatan dengan jadwal kuliahnya. Pikiran dan perasaannya juga menjadi semakin berat setelah mengetahui kemungkinan al
Erin tersadar beberapa jam kemudian. Ia tampak terkejut karena terbangun di tempat yang sudah tidak asing baginya, ruangan di rumah sakit. Tubuhnya terasa lemas karena beberapa hari ini ia sering menunda makan. Meski berusaha menjaga pola makan, kadang ia lupa saat sedang mengerjakan sesuatu yang menurutnya penting. ‘Berapa lama aku pingsan?’ tanya Erin dalam hati. /klek…/ Pandangan matanya beralih ke arah pintu yang baru saja terbuka. Nathan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dipahami oleh Erin. “Sudah bangun? Kamu seharusnya izin dulu kalau emang sedang nggak sehat,” ucap Nathan yang kemudian duduk di kursi tidak jauh dari tempat Erin berbaring. Perempuan bermata coklat itu tampak terkejut karena baru saja ingat ada rapat yang harus diikutinya. Tangannya meraih jam tangan yang diletakkan di atas meja. Melihat Erin yang tampak panik, Nathan langsung kembali membuka suara, “asisten pribadi mu tadi menelepon dan aku sudah memberitahu keadaan mu.” Erin memejamkan matanya, men
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka