Share

Nikah Dengan Kakak Ipar
Nikah Dengan Kakak Ipar
Penulis: FitriSoh

1

Penulis: FitriSoh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mas, aku hamil."

"Astaghfirullah!" Lelaki yang berdiri di hadapanku terlonjak kaget. Gelas teh yang ia bawa terlepas dari tangan, jatuh berserak di dekat kakinya. Ia melompat mundur dengan wajah meringis. Tampak kepanasan oleh tumpahan air teh yang melebar menyentuh kaki telanjangnya.

"Astaghfirullah." Ia kembali mengusap-usap dadanya dengan wajah luar biasa kaget. Juga kecewa. 

Ya. Aku tahu kenapa lelaki tampan memesona ini begitu kecewa. Dan wajahnya ... kini terlihat luar biasa geram. Lima bulan lebih, kami tak pernah berhubungan suami istri. Bukan karena kami ada masalah, ya, tapi karena si Qila belum lama menikmati dunia. Suamiku tak pernah meminta melayaninya di tempat tidur karena tak ingin menyakitiku. Aku baru melahirkan 5 bulan lewat.

Kami menikah 6 tahun lalu tapi baru dikaruniai Qila setelah tak putus-putus berdoa diiringi ihtiar. Puluhan kali kami ganti dokter kandungan dan akhirnya lahirlah Qila, bocah mungil berbadan montok yang tengah tengkurap di ranjang tak jauh dari kami. Bocah menggemaskan itu berceloteh sambil mengusap ibu jari. Sungguh menggemaskan bayi mungilku itu, bukan? Matanya yang bundar jernih dan pipinya yang gempil membuat tetanggaku selalu ingin menggendongnya.

Kami hidup berbahagia. Sangat. Mas Rofi lelakiku tercinta ini amat lembut dan begitu penyayang. Aku pun sebaliknya, jadi semakin manja. Maklum, aku bungsu dari tiga bersaudara. Cewek sendiri pula. Jadilah aku dimanja orang tua dan dua kakak lelakiku. Tak sungkan, aku dan Mas Rofi bermesraan di depan ibu atau bapak mertua. Sampai kadang kakak iparku yang galak dan pendiam itu menegur. Ah. Sudahlah. Tak usah bahas kakak iparku yang jutek itu. Bisa membuat darting. Iya darting. Darah tinggi. 

"Kamu hamil sama siapa?" Terlihat lelaki gagah ini menahan amarah. Tatapannya tertambat pada Qila yang terus berceloteh riang. Eeeh. Eeeeh. 

Ah bocah itu lucu sekali sampai aku ingin berlari untuk menggendongnya, mendaratkan ciuman bertubi-tubi.

"Jawab kamu hamil sama siapa?!" Suamiku mengusap-usap dadanya dengan wajah seperti singa tengah mengintai mangsa. 

Enam tahun bersama, tak pernah kulihat suamiku semarah ini. Suamiku selalu lembut.

Aku berpaling lantas tersenyum kecil. Kena, kamu, Mas. Ya. Ini adalah hari ulang tahunnya. Aku tak mau memberinya kejutan monoton yang biasa-biasa saja seperti tahun sebelumnya. Aku menghitung mundur dari 10. Sebentar lagi, lagu selamat ulang tahun akan menggema memenuhi ruangan lalu ibu mertua dan bapak akan keluar dari kamarnya membawa kue tar. 

"Jawab kamu hamil sama siapa?!" Nada suamiku semakin mengentak-entak. Aku menahan diri agar tak tersenyum. Di ranjang, si Qila tengah salah paham. Bocah itu menangis kencang, barangkali mengira tengah dimarahi ayahnya.

Delapan.

Tujuh.

Enam.

Suamiku menggigit bibir lalu kedua tangannya mengurut-urut dada. Wajahnya yang tadi sangat geram terlihat begitu kesakitan.

"Mas. Mas. Mas kamu kenapa! Maas!" Aku berlari ke arahnya hendak menolongnya yang terhuyung, tapi dia menepis kuat tanganku dengan tatapan memancar sinis penuh kebencian.

"Mas. Mas aku hanya bercanda. Mas!"

Suamiku mengurut-urut dada sambil menggigit bibir tampak sangat kesakitan.

"Ibuuu! Bapaak!" teriakku histeris. Kedua mertuaku langsung keluar dari kamar dengan kue ulang tahun di tangan.

"Mas aku hanya bercanda, Mas!"

"Fi! Rofi!" Teriak ibu mertuaku panik, melempar kue dari tangannya begitu saja.

Keringat membasah di wajah suamiku yang kini memucat. Tiba-tiba menggema lagu yang tadi kunanti-nantikan.

 

Selamat ulang tahun

Selamat ulang tahun

 

Panjang umurnya

Panjang umurnya

 

"Mas! Mas!" Teriakku histeris.

 

"Fii! Rofiiii!" Ibu tak kalah histeris. 

 

"Oeeeeek. Oeeeeek. Oeeeeek." Qila menangis keras setelah sempat terdiam. 

 

"Ayo bawa ke rumah sakit. Ayoo!" Teriak bapak yang juga terlihat syok. 

 

Selamat ulang tahun

Selamat ulang tahun

 

Panjang umurnya

Panjang umurnya

 

Lagu itu mengiringi langkah kami yang tergesa menuju mobil.

 

***

 

"Ibu, Bapak, kami sudah berusaha. Tapi ...."

 

Ucapan dokter yang menggantung membuatku sangat yakin ada yang tak beres. Aku langsung mendorong pintu lalu menerjang masuk. Mas Rofi terbaring dengan mata terpejam dan kedua tangan bersidekap di dada. Wajahnya begitu pucat. Aku memeluknya dan menangis kencang.

 

"Mas! Mas! Mas bangun mas! Aku hanya bercanda! Mas bangun!"

 

Aku menoleh saat ibu dan bapak menyusul masuk. Ibu langsung mengusap-usap bahuku, berkata menenangkan seolah begitu tabah tapi mata ibu basah.

 

"Mas bangun Mas! Bangun Mas! Bangun Mas! Maaaas!" Kuguncang-guncang tubuh suamiku yang hanya diam. Aku kian terisak kencang.

 

Pintu didorong kasar dari luar, tampak kakak iparku yang galak itu terpaku di ambang pintu. Tatapannya padaku ... penuh kebencian. 

 

PART ini memang sedih. Part 6 ke atas, kalian akan senyum-senyum sendiri bacanya kek orang gak jelas. Coba aja intip komentarnya dulu dari part 6 sampai part 15. Dijamin lucu menghibur. Cus buktiin

Bab terkait

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   2

    "Mas bangun Mas, kenapa tinggalin aku! Jangan tinggalin aku dan Qila, Maas! Maaas!" Kupeluk erat tubuhnya sambil tak henti berseru menyuruhnya bangun. Air mata di pipi kuseka cepat, tapi kembali mengalir deras, menetes membasahi wajah suami tercinta. Aku tercekat memandang wajahnya. Jantungku berdetak kencang membayangkan hari yang harus tetap dilalui setelah ini. Membesarkan Qila sendirian, mana aku bisa? Selama ini, seringnya Mas Rofi yang terbangun tengah malam menjaga anak semata wayang. Ia hanya akan membangunkan istrinya ini saat Qila menangis minta ASI. Kugigit bibir kuat dan tersengal, seolah batu sangat besar ditindihkan di dadaku. Amat sakit dan sesak rasanya sampai aku kesulitan bernapas. "Mas, mas. Lihat aku, Mas. Jawab ucapanku!" Kuguncang-guncang tubuh lelakiku yang tak juga bergeming. Kenapa tega tinggalin aku, Mas? Mana janji yang selalu mengatakan akan setia dan mendampingiku sampai tua?

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   3

    "Memangnya dengan menangis terus, bisa mengembalikan Rofi!" Terus saja begitu tatapan kakak iparku, sinis tak bersahabat. Aku terkadang heran, kenapa Mbak Mira mau bertunangan dengan duda satu anak itu. Aku sering memergoki saat ia berduaan dengan Mbak Mira di ruang tamu, seringnya duduk diam-diaman.Jika sosok Mbak Ndari tak terganti, kenapa memaksa membuka hati?Mungkin juga, alasannya karena ibu turut andil mencampuri hidupnya, tak henti menyuruh Mas Rasya menikah lagi demi Adnan. Anak lelaki kakak iparku itu tinggal bersama ibu karena Mas Rasya sangat sibuk. Bekerja dari pagi pulang sore, kadang menjelang dini hari. Rumah kami berdekatan, berjarak 3 kilo dari rumah ibu mertua. Jadi aku tahu betul kebiasaannya."Puspita, sudah." Bapak berkata lirih. Tangan Qila kuangkat dari wajah Mas Rofi yang terus membisu, tampak begitu marah.Tak tahan lagi m

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   4

    "Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.HP yang berdering nyaring, membuatku denga

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   5

    Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak,&nb

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   6

    Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuan

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   7

    "Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam.

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   8

    Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja."Le! Cepat bangun, Le!"Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja."Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya.Brak! Brak! Brak!"Le! Ini ibu

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   9

    Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.)Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.)Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas

Bab terbaru

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   21

    Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   20

    Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   19

    Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   18

    Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   17

    Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   16

    POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   15

    Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   14

    POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   13

    Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini.Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dada

DMCA.com Protection Status