Meskipun tak mungkin lagi tuk menjadi pasanganmu, namun ku yakini cinta, kau kekasih hati. Kahitna, soulmate.
Entah kenapa lagu itu seolah menjadi penghibur yang paling tepat maam ini, sebelum mereka berangkat ke rumah Heri dan mengulas masa lalu untuk mencari sebuah obat luka di hati.
"Sayang," sapa Arga sembari menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Meliana.
Mereka tengah tidak kuasa mendengar sebuah kisah masa lalu tentang para orang tua dan cinta yang ada, kisah yang tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi hati ini di mana semua cinta jatuh pada tempat yang tepat dan tidak ada sakit hati di sana.
Mungkin kisah yang mereka dengar malam ini adalah sebuah kisah yang semestinya terjadi, hanya saja melintas waktu hingga sampai pada masa di mana Arga dan Meliana ada di dunia ini.
Rika dan Juna yang sudah bersatu, juga kedua orang tua Arga yang telah menerima kenyataan yang ada meskipun itu pahit.
Begi
Meliana berlari kecil menuju kamarnya, ada air mata yang berlinang di sana.Ia berharap ini mimpi, tapi ini hal nyata yang mungkin tidak ia nanti di bulan ini.Dia datang bulan lagi setelah program pertama ia lakukan bersama Arga, belum ada nyawa kecil yang menempel dan hidup di rahimnya."Sayang, nggak apa, masih ada waktu." Arga tenangkan istrinya yang tengah menangis terseduh itu.Mungkin Meliana bisa bersabar dan tenang bila itu bukan hal yang menjadi jaminan hubungannya bersama Neni, sang ibu mertua.Hal itu jaminan yang ia yakini bisa membuat Neni suka padanya, apalagi Rika dan Juna akan segera menikah, ia merasa sedikit tertekan.Terbayang sudah omongan di luar sana seperti apa, dia yang sudah menikah dua kali belum juga dikaruniai seorang anak.Apa yang dikatakan Neni seolah menjadi batu besar yang menghujamnya tanpa henti."Bu, Yah. Aku dan Amel sudah berusaha sebis
Tidak ada yang tahu kapan pastinya hati orang akan berubah, dari baik menjadi jahat dan dari jahat menjadi baik.Walau Neni sedari tadi bersuara tinggi pada Meliana dan melempar barang tertentu tepat ke pangkuan, bahkan ada yang membuat lengan Meliana sakit.Tapi, semua yang Neni lakukan tidak lain untuk memberi semangat dan kekuatan pada menantunya itu.Hanya butuh kaca mata yang jeli saja untuk melihatnya dengan jelas, mungkin terlihat menyakitkan dan sedih menjadi Meliana, tidak tahukah semua orang yang melihat di sana bahwa Meliana tengah merasa senang.Air matanya mungkin saja terjatuh, tapi hatinya tenang dan senang, dia mendapatkan perhatian dari seorang ibu yang sangat ia impikan, tangan Neni dan suara Neni yang terus tertuju kepadanya.Selama ini hanya kebencian yang ia dapatkan, ancaman dan segala hal yang membuat lehernya tercekik, hari ini tidak. Wanita itu melempar banyak perhatian untuknya, menjelas
"Iya, Ayah!" seru Arga membalas ayahnya yang terus saja mengintai apakah ia kerja dengan baik atau hanya melamun saja.Harto menyeringai tipis, ia cukup menyadari kalau Arga bukan anak kandungnya, tapi karakter anak itu tidak lepas dari dirinya di masa muda di mana selalu ingin menguasai Neni tanpa batas.Beruntung dulu dirinya mengembangkan usaha dan jarang ada di rumah saat rumah tangganya bersama Neni baru berjalan, kalau sampai itu terjadi pasti Neni menganggap apa yang terjadi pada Meliana juga terjadi padanya di masa lalu."Aku yakin wanita itu akan kabur dariku, untung saja Amel sabar," gumam Harto setengah sebal pada anaknya.Arga bergegas menyelesaikan pekerjaan baru yang kini mulai ia geluti di kantor Harto, walau tidak sebesar kantor sebelumnya, tapi ini murni milik sang ayah.Bekerja di tempat sendiri memang tidak semudah bekerja di tempat orang karena kita tahu perhitungan uangnya dan selalu pusing b
Tumpukan stok daster terbaru sudah datang pagi ini, Meliana mengatur jadwalnya agar tidak bertabrakan dengan kegiatan lain yang cukup menyita waktu dan fikiran juga, termasuk program kehamilan jilid dua yang sudah berjalan hampir satu bulan.Sebentar lagi tanggal penuh kecemasan akan menghampirinya, Rika yang tahu akan hal itu dan dia sendiri tengah menyiapkan pernikahan, tidak berhenti memanjatkan doa untuk keberhasilan MEliana dalam program kali ini."Aku berharap dia mendapatkan apa yang dia mau, bukan hanya perhatian dari Neni, tapi juga kebahagiaannya yang tertunda sejak dulu," gumam Rika.Ia lihat gerak cepat temannya itu, menata dan mengambil gambar untuk promosi dalam hitungan waktu yang tidak boleh ada sisi percumanya.Setiap waktu sangat berharga sekarang, banyak hal yang Meliana dan Rika fikirkan di dua bulan ini, termasuk urusan pernikahan Rika dan Juna, juga program kehamilan itu.Walau sudah Arga la
Arga raup udara sebanyak-banyaknya, sebentar lagi kabar dari dokter akan ia dengarkan dan entah apa yang akan terjadi nanti, ia berharap tidak terjadi hal buruk pada istrinya.Rika dari dalam sana berteriak saat mata Meliana terbuka lebar, membuat kedua teman lainnya berlarian masuk bersama perawat yang berjaga."Dia sudah sadar," ujar Rika dengan tubuh gemetar."Biar saya periksa," ujar perawat itu sembari membawa alat periksanya mendekat ke sisi Meliana.Juna tahan Arga sebentar, pria itu sudah tidak sabar untuk memeluk Meliana dan menenangkan, kalau bisa Arga ingin memindahkan rasa sakit yang Meliana rasakan pada dirinya sendiri.Ia rela dan lebih baik dirinya yang sakit daripada Meliana yang merasakannya."Saya akan panggil dokter sebentar," ujar perawat itu.Arga mengangguk, posisi kosong di samping Meliana menjadi tempat duduknya saat ini, Rika berpindah ke depan bersama Juna yang
Hoek, hoek, hoek ...."Kenapa mualnya tidak kunjung reda, Bu?" Arga ingin menekan tombol darurat lagi, memanggil perawat kesekian kalinya."Tunggu, Arga, memang seperti ini orang hamil. Berisik sekali!" balas Neni.Sudah banyak yang Meliana ke luar sejak membuka mata tadi, tapi hanya sedikit yang masuk ke perutnya sebagai gantinya.Arga tak kuasa untuk bersabar lagi, ia ingin semua perangkat rumah sakit itu bekerja menangani sang istri.Hoek, hoek ...Neni dengan cekatan menangani Meliana, mencabut tombol yang menggantung dan meminta Arga duduk diam."Kalau kau terus memberontak, aku akan mencekik istrimu, mau?" ancam Neni."Jangan, Bu!""Kalau begitu diamlah, aku ada di sini dan aku bisa menangani Meliana!" titah Neni tegas.Aku ada di sini, sebuah rangkaian kata yang sangat sejuk di telinga Meliana, terus terngiang sampai rasa mualnya pergi dan ia bisa
Keputusan Surti membawa Heri berkunjung ke rumah Arga memang dirasa olehnya sangat tepat.Tapi, bagi mereka yang menyambut di depan rumah itu tidaklah tepat karena saat ini perang dunia sedang terjadi di rumah itu sejak Meliana dikabarkan hamil."Kenapa aku tidak boleh masuk?" tanya Heri, ia merasa rindu dan ingin memeluk Meliana segera."Ayah, sekarang-"Pyar,Suara lemparan piring itu benar terdengar, sepertinya bukan lagu saja yang membahas masalah piring dan gelas terbang, di rumah ini sudah terbukti nyata.Arga pejamkan matanya singkat, ia lantas mengajak Surti dan Heri untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam."Apa yang ibumu lakukan?" tanya Heri menunjuk Neni yang berdiri di depan tempat putrinya duduk, Meliana bahkan tampak ketakutan."Ibu sedang membuat peraturan untuk semua orang di rumah ini, dia senang mendapat cucu dariku, Ayah. Tapi, lihat sendiri,
"Apa Juna akan baik-baik saja?" tanya Heri, ia merasa tidak enak pada Juna yang menaiki sepeda motor seorang diri, sedang dirinya dan Surti berada dalam satu mobil bersama Rika."Tenang saja, dia akan baik-baik saja, calon menantuku itu sangat tangguh!" jawab Surti meyakinkan.Sudah menjadi keputusan bersama, mereka mengubah panggilan meskipun anak Meliana belum terlahir ke dunia.Harto dan Heri mendapat panggilan kakek, Neni dan Surti mendapat panggilan nenek, sedangkan Juna dan Rika mendapat panggilan om dan tante.Panggilan itu berlaku hari ini, sesuai dengan apa yang Neni putuskan, tapi bagi mereka yang ke luar rumah saat ini tetap sepakat untuk memanggil seperti dulu saja, terdengar lucu kalau Rika harus memanggil ibunya dengan panggilan nenek.Rika ingin tertawa keras membayangkan semua hal itu, masih menggerakkan bibir saja sudah membuat tawanya meledak."Kek, eh, maksudku Om ... Aku panggil o
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga