Hoek, hoek, hoek ....
"Kenapa mualnya tidak kunjung reda, Bu?" Arga ingin menekan tombol darurat lagi, memanggil perawat kesekian kalinya.
"Tunggu, Arga, memang seperti ini orang hamil. Berisik sekali!" balas Neni.
Sudah banyak yang Meliana ke luar sejak membuka mata tadi, tapi hanya sedikit yang masuk ke perutnya sebagai gantinya.
Arga tak kuasa untuk bersabar lagi, ia ingin semua perangkat rumah sakit itu bekerja menangani sang istri.
Hoek, hoek ...
Neni dengan cekatan menangani Meliana, mencabut tombol yang menggantung dan meminta Arga duduk diam.
"Kalau kau terus memberontak, aku akan mencekik istrimu, mau?" ancam Neni.
"Jangan, Bu!"
"Kalau begitu diamlah, aku ada di sini dan aku bisa menangani Meliana!" titah Neni tegas.
Aku ada di sini, sebuah rangkaian kata yang sangat sejuk di telinga Meliana, terus terngiang sampai rasa mualnya pergi dan ia bisa
Keputusan Surti membawa Heri berkunjung ke rumah Arga memang dirasa olehnya sangat tepat.Tapi, bagi mereka yang menyambut di depan rumah itu tidaklah tepat karena saat ini perang dunia sedang terjadi di rumah itu sejak Meliana dikabarkan hamil."Kenapa aku tidak boleh masuk?" tanya Heri, ia merasa rindu dan ingin memeluk Meliana segera."Ayah, sekarang-"Pyar,Suara lemparan piring itu benar terdengar, sepertinya bukan lagu saja yang membahas masalah piring dan gelas terbang, di rumah ini sudah terbukti nyata.Arga pejamkan matanya singkat, ia lantas mengajak Surti dan Heri untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam."Apa yang ibumu lakukan?" tanya Heri menunjuk Neni yang berdiri di depan tempat putrinya duduk, Meliana bahkan tampak ketakutan."Ibu sedang membuat peraturan untuk semua orang di rumah ini, dia senang mendapat cucu dariku, Ayah. Tapi, lihat sendiri,
"Apa Juna akan baik-baik saja?" tanya Heri, ia merasa tidak enak pada Juna yang menaiki sepeda motor seorang diri, sedang dirinya dan Surti berada dalam satu mobil bersama Rika."Tenang saja, dia akan baik-baik saja, calon menantuku itu sangat tangguh!" jawab Surti meyakinkan.Sudah menjadi keputusan bersama, mereka mengubah panggilan meskipun anak Meliana belum terlahir ke dunia.Harto dan Heri mendapat panggilan kakek, Neni dan Surti mendapat panggilan nenek, sedangkan Juna dan Rika mendapat panggilan om dan tante.Panggilan itu berlaku hari ini, sesuai dengan apa yang Neni putuskan, tapi bagi mereka yang ke luar rumah saat ini tetap sepakat untuk memanggil seperti dulu saja, terdengar lucu kalau Rika harus memanggil ibunya dengan panggilan nenek.Rika ingin tertawa keras membayangkan semua hal itu, masih menggerakkan bibir saja sudah membuat tawanya meledak."Kek, eh, maksudku Om ... Aku panggil o
ARGA!Pintu kamar itu pun terbuka lebar, di sana terlihat Meliana sedang duduk bersandar di bahu ranjang dan Arga yang baru saja ke luar dari kamar mandi."Ada apa, Bu?" tanya Arga berpura-pura tidak terjadi apapun.Neni melihat ke sekitar kamar, tidak ada yang mencurigakan, bahkan wajah Meliana baik-baik saja, tidak ada guratan sakit di sana.Masih belum percaya, tanpa banyak bicara Neni langsung saja masuk dan mengelilingi kamar itu dari satu sisi ke sisi lainnya.Ia periksa juga wadah untuk muntahan Meliana, masih basah di sana, itu artinya Meliana baru saja muntah pagi ini dan seperti apa yang ia dengar.Tapi, kenapa saat ia masuk Meliana baik-baik saja? Apa fikiran dan halusinasinya yang terlalu besar di sini?Neni pandangi putranya yang membuatkan minuman hangat untuk Meliana itu, Arga pun tidak terlihat panik seperti yang ia bayangkan.Ah, ada apa ini? Dia berlebihan
Hanya di ruang tamu saja beberapa jam malam ini Arga menemani Meliana, melihat teras rumah yang gelap dan depan bangunan kamar Rika yang hanya diterangi dengan satu lampu kuning kesukaan temannya itu.Meliana menunjuk pohon yang ada di dekat bangunan kamar Rika, mata Arga yang mengikutinya sontak menajam dan tidak menemukan apapun, tapi bulu kuduknya merinding, berdiri dan tegang."Sayang, jangan bicarakan yang macam-macam!" Arga peringatkan istrinya.Sepertinya benar kenapa Neni melarang Meliana ke luar kamar di malam hari, tidak lain karena indera ibu hamil itu menjadi lebih sensitif dari segi apapun, sedang ia ketakutan saat ini.Arga berusaha merayu istrinya untuk kembali lagi ke kamar, tapi yang ada Meliana keukeh karena menurutnya ada yang menarik di sana."Apa, Mel?" tidak berani membuka mata meskipun wajahnya ada di celah jendela."Lihat itu, ada benda lucu yang diletakkan di dekat pohon, ada
Bau garam, tidak terbayangkan sudah apa yang Meliana maksud, ia sampai meminta suaminya itu untuk mandi dua kali sampai setidaknya ia tidak mencium bau garam di tubuh Arga.Bukan kamar atau sekitar rumah yang Neni dan Arga semprot kemarin, tapi tubuh mereka karena terus berperang membahas masalah ngidam ibu hamil yang fenomenal yang suka berbeda setiap orangnya."Apa aku masih bau? Aku rasa garam itu tidak berbau, Mel, garam itu hanya rasanya saja yang asin," jelas Arga sembari bertanya.Masa bodoh, Meliana tetap menganggap bau tidak enak itu berasala dari suaminya yang basah kuyup karena air garam, habis sudah persediaan garam di dapurnya, padahal ia membeli dalam jumlah banyak dan mungkin bisa ia pakai setengah tahun."Aku tidak suka," ujar Meliana menjauhkan wajahnya, tidak mengizinkan Arga untuk mengecup wajahnya."Mel, aku kangen, sayang!" desak Arga.Meliana tetap keukeh dengan keputusannya kal
Arga mendengus kesal lirih, ingin ia ajak beradu hantam saja kalau dua orang itu bukan sosok wanita.Rahim? Meliana cukup terkejut mendegar tuduhan yang mantan ibu mertuanya katakan pada Arga."Arga-"Arga mengangkap satu tangannya, meminta Meliana diam dan mengerti kalau dirinya tidak akan terpancing dengan emosi yang ibu Natan siramkan."Istriku hamil dengan normal, kamu berusaha selama dua bulan lamanya, mengonsumsi makanan sehat dan olahraga teratur, semua itu bisa saja terjadi karena rejeki manusia tidak ada yang tahu kapan datangnya, mungkin Tuhan percaya pada kami hingga memberikan karunia itu sekarang. Bagaimana dengan menantumu, Bu?" jelas Arga membalas, raut wajahnya yang ramah membuat ibu Natan dan Fira semakin tercekik."Be-belum, menantuku ini belum bisa mempertahankan kandungan karena lemah, dia mudah sekali mengalami keguguran. Aku kira kalian menyewa rahim atau mungkin melakukan bayi tabung,
Arga bergulung di balik selimut yang sudah susah payah Meliana tepikan, pria itu terus saja semakin menggodanya untuk marah atau sekedar mengomel."Apa yang kau lakukan? Kita harus ikut ke rumah Rika dan ayah untuk mengambil seragam pernikahan," tanya Meliana menahan gemas, ia sudah bisa berdiri tanpa mual sekarang.Arga buka selimut yang menutupi wajahnya, bekerja dengan jadwal yang padat membuatnya suka malas ke luar rumah dan hanya bermanja dengan kasur di rumah, belum lagi kalau ada istrinya, dia bisa semakin malas."Arga," panggil Meliana geram."Hem?""Ayo, bersiap, ibu sudah menunggu di depan. Keluarga Juna juga sudah pasti sampai ke rumah Rika, ayo!"Arga dengan mata bantalnya terpaksa bangun, acara itu masih empat jam lagi, belum kalau jam karetnya terpasang, bisa jadi akan berjalan sekitar lima tau enam jam kemudian.Tapi, para wanita di rumahnya itu tidak menganut sistem karet
Haru dan hening menjadi satu, ada air mata yang menetes dan ada juga batin yang berkecambuk dalam.Seharusnya, restu itu Neni berikan tepat saat mereka menikah, tapi justru terjadi saat ini di mana pernikahan Juna dan Rika baru saja berlangsung.Sungguh, tidak ada yang tahu kapan hati manusia terketuk untuk berubah dan menyadari semua yang dirasa kurang tepat."Arga, apa ibumu baik-baik saja?" Heri bertanya karena dia sendiri tidak menyangka di moment yang tidak sendiri itu, Neni menampilkan apa yang tersimpan dan bisa saja membuat dirinya malu.Neni dengan segala kuasa dan keteguhan hatinya, wanita yang tak terkalahkan dan jarang mau merendah seperti itu, bisa bersikap di depan umum tanpa memikirkan apapun selain rasa sesal.Arga tenangkan ayah mertuanya, di sana Neni sudah bersama Harto, ayahnya itu sedang berusaha membuat ibunya kembali berfikir jernih.Setelah melihat akad nikah Juna dan Rika, ha
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga