Aku pergi meninggalkan rumah yang sarat dengan kenangan setelah dia pergi. Diantarkan Bulek Ningsih dan Pak Salim, saat mobil jemputan yayasan datang. Tentu saja ini kerjaan Laila sahabatku sekaligus pemilik yayasan ini.Seperti yang dibilang Mbak Rahmi, setiba di rumah dia melarangku ke kantor. Aku harus menanggalkan peran Astuti si tukang bersih-bersih, dan itu membutuhkan dua sampai tiga hari. Itu waktu tercepat.Kemarin, aku dipaksa seharian di spa. Mulai, pijat, lulur, berendam, bahkan manicure pedicure. Aku tidak boleh keluar sebelum perawatan usai. Memang, badan menjadi segar dan wangi. Namun, diriku seperti dipenjara, sampai-sampai makan pun sudah disiapkan di dalam. Hari berikutnya, jadwalnya perawatan wajah. Kegiatan yang paling membosankan. Kecantikan yang dibayar dari rasa sakit, dan jenuh. Aku harus pasrah dengan apa yang dilakukan mereka. "Kamu ini seorang Lintang Astuti, wajah dari perusahaan ini. Sebagai pemilik sekaligus designer fashion, penampilan itu sangat perlu
"Yang akan aku ceritakan, merupakan jawaban pertanyaan ini. Aku akan bercerita nanti malam, setelah kegiatanmu usai. Karena ini membutuhkan waktu lama," ucapku merasa di atas angin. "Jadi, aku tunggu nanti!""Dasar anak nakal! Pinter menjebak orang! Aku turuti kemauan kamu, asal besuk malam mau mendampingiku gala dinner," pintanya dan akupun mengangguk riang. Barter yang menyenangkan, toh aku juga sudah rindu keriuhan acara itu."Jangan terjebak dengan ketenaran, nanti tidak sempat mendapatkan pasangan beneran. Buruan pilih satu, jangan ganti terus. Kalah sama sandal jepit, yang sepasang selamanya!" selorohku sambil tertawa. Dia diam menatapku sesaat, memicingkan mata, kemudian tertawa lebih keras dibandingkan aku."Kamu mentertawakan aku? Bukankan kamu sendiri juga begitu? Sandal jepit yang masih teronggok sendirian! Ha-ha-ha!"***Semalam, kami begadang saling bercerita tentang keseharian selama tidak bertemu. Mahardika menceritakan kesibukan mengembangkan butik dengan membuka beb
Kaki ini pegal, berkeliling mengikuti kemanapun Mahardika menyapa rekan-rekannya. Beberapa aku mengenalnya, namun banyak juga wajah-wajah asing. Tempat pertemuan ini begitu luas dan dihias megah. Hotel yang menjadi lambang kemewahan di kota ini. Walaupun sesama designer baju, aku tidak terlalu mengikuti acara seperti ini. Semua sudah ditangani tim pemasaran garmen. Bahkan, beberapa menjadi pembeli tetap di Lintang Soul, namun tidak pernah bertemu denganku. "Dika, aku capek sekali. Aku duduk dulu, ya. Kamu lanjutin tebar pesona, sana!" Aku merengut, memaksanya untuk mengerti. Dia terkekeh dan berputar akan mengantarku ke meja kami. Namun, sebelum melangkah ada seseorang memanggil Dika. "Sudah. Tidak usah diantar. Kamu temuin mereka saja. Pasti ada yang penting. Good luck, ya!" Aku mendorong pelan, memaksanya untuk pergi. "Tapi ...." "Sst! Go!" Aku mendelik dan disambut anggukan menyetujuiku. Meja kami lumayan di ujung depan. Aku harus melewati beberapa meja dengan keadaan ka
Hasil pemeriksaan, pergelanganku terkilir saja. Tidak ada yang retak apalagi patah. Awalnya, Mahardika memaksaku untuk di rawat di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Namun untuk apa? Semalaman Mahardika menungguiku. Dia tidak mau pulang, bahkan dia rela tidur di sofa sebelah ranjangku. "Ini tanggung jawabku. Kalau aku tidak meninggalkanmu, pasti tidak akan terjadi seperti ini," jawabnya. "Ada Mbak Rahmi." "Tidak, aku harus memastikan sendiri sampai besuk pagi. Aku kawatir, nanti kamu kesakitan saat sendirian." Benar, pada tengah malam aku terbangun. Rasa nyeri menyiksaku. Aku merasa pergelangan kaki berkedut dan membengkak. Tak sadar, aku merintih sambil mengusap kaki ini. "Lintang! Sakit?" teriak Mahardika. Dia terbangun dan dengan sigapnya mengambil kaki ini dan mengusap-usap berusaha mengurangi rasa sakit. Mungkin ini terasa karena pengaruh penghilang rasa sakit sudah habis. "Dika .... Sakit!" "Minum ini, sebentar lagi, pasti sakitnya berkurang," ucapnya setelah meny
"Langit ...."Aku menatap mata yang berangsur-angsur sendu. Mencoba hanyut dalam sorot kehangatan. "Kamu mengharapkan aku tinggal?" ucap Langit seraya menyelipkan rambutku di telinga.Aku yang berpegang erat pundaknya, hanya bisa mengangguk. Lidah ini kelu, seiring dengan degup jantung yang bertalu indah. Terlebih ketika dahi ini dikecup olehnya.Napas hangat yang menerpa wajah, membuat hati ini menuntut perlakuan lebih. Dengan sendirinya, mata ini terpejam dan hanyut dalam sentuhannya. Dengan sendirinya, tangan ini ingin mengalung di lehernya. Memberikan ruangan lebih untuk membersamainya."Auuw!" teriakku mengaduh.Saat tangan ini berpindah, tumpuan tanganku pun terlepas. Pergelangan kaki ini ternyata belum kuat untuk berdiri tegak, dan nyeri kembali menyerang."Kakimu masih sakit? Sini aku periksa!"Pelan, dia mendudukkan aku di sofa, kemudian memastikan keadaan kakiku yang ternyata menghangat kembali. Pertanda, baru saja memaksakan kaki untuk berdiri."Aku ke sini tidak menemui
"Wajah Mbak Lintang cerah sekali. Dari tadi senyum-senyum terus. Padahal lagi sakit," tanya Mbak Rahmi. Dia pulang untuk memastikan makan siangku. Hanya selisih beberapa menit dengan pulangnya Langit."Masak, sih. Biasa saja," jawabku sambil menyeruput jus strawberry sampai tandas. Aku menatap kabinet berpintu cermin, menatap bayanganku yang ternyata benar. Senyuman terbayang di sana. Wajahku bersemburat merah, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Langit.Nama yang kembali memenuhi hati, bahkan di kepala ini hanya teringat sosoknya. Kami tadi saling bercerita. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya sebelum disibukkan dengan pekerjaan.Benar cerita Pak Salim, dia dulu anak band. "Aku pegang bass, yah sesekali jadi vokalis," ucapnya sambil tertawa. "Aku hanya penikmat lagu. Oya! aku pernah dengar lagunya Padi. Tetaplah menjadi bintang di langit .... Agar cinta kita abadi ...," ucapku yang diakhiri menyanyikan cuplikan lagu. "Bagaimana kalau ini menjadi lagu kita?""Tidak!"
Walaupun dengan tertatih, aku sudah bisa berpindah tempat. Katanya kalau cidera seperti yang aku alami, memang tidak boleh bergerak berlebih. Namun, tetap disarankan tidak diam karena akan membuat kaki menjadi kaki.Mbak Rahmi tetap bersikap sama, kawatir dan ingin menungguiku terus. Sama seperti dulu ketika aku mengalami kemalangan yang beruntun. Hanya bersamalah aku ditemani, dan tentu dengan support Mahardika sahabatku.Pernah Mbak Rahmi mengira aku dan Mahardika berpacaran. Akan tetapi setelah aku jelaskan dia mengerti, lebih tepatnya berusaha mengerti.“Kalau laki-laki seperti Mas Dika sampai menyisihkan waktu sedemikian, itu tidak mungkin tidak ada alasannya. Kalau bukan cinta,” ucap Mbak Rahmi kala itu.“Alasannya kasih sayang, Mbak. Kami bersahabat untuk selamanya. Aku pun akan bersikap sama dengan apa yang dia lakukan, ” jelasku memaksanya untuk mengangguk.Sejak itu, apapun yang terjadi kepadaku, Mbak Rahmi seperti mata-matanya Dika. Kecuali saat penyamaran kemarin, aku su
-Hidup itu pilihan, begitu juga cinta-***"Lintang! Nih pesananmu!" teriak Dika setiba di rumah. Langsung membuka bungkusan tempe mendoan dan diletakkan di piring lebar.Dia langsung menghampiriku yang duduk di sofa. Mengamati dan mengacak lembut rambut ini sambil berkata, "Kok lesu? Masih terasa sakit?"Tersenyum aku menatapnya dan menggeleng. Dia sangat perhatian kepadaku. Kasih sayang yang tidak berubah dari dulu. Aku merasa dimanjakan olehnya di setiap waktu."Kenapa menatapku begitu? Ada yang salah dengan wajahku," tanyanya sambil meraba-raba wajah, kemudian mengaca di cermin kabinet.Aku menggapai tangannya dan mendongak sambil berucap, "Dika .... Maafkan aku, ya. Aku selalu merepotkanmu dan terlalu egois. Hanya kamu yang berusaha mengerti perasaanku, sedangkan aku ...."Spontan, Mahardika duduk dan merangkul pundakku. "Hei….Kenapa kamu?”"A-aku merasa jahat kepadamu. Sungguh, aku tidak berniat mempermainkan atau memanfatkan perasaan. A-ku merasa kamu adalah saudaraku, teman hi
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak
Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker
Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari
Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se