Walaupun tanpa ucap, aku tahu Den Langit kesal. Kutatap punggung yang menjauh dengan langkah tergesa, meninggalkan diriku bersama menguatnya rasa sesal. Kenapa saat ini omelan dan marahnya aku rindukan? Inginku, dia memaksaku untuk tinggal. Ini lebih baik daripada diam, seperti rasa yang diabaikan. Hati ini tidak rela kalau perhatiannya begitu saja tanggal.Segera aku tepis rengekan kata hati yang mencuat. Aku harus kembali menjadi perempuan kuat. Itu artinya, apapun yang terjadi aku harus semangat. "Tik, kamu keluar kerja? Kenapa? Tidak kerasan di sini?" Pertanyaan Bulek Ningsih memberondong saat aku bergabung di meja dapur bersama mereka. "Yu Ningsih, makan dulu," sela Pak Salim sambil menyenggol lengan Bulik. "Setelah itu, kita ngobrol. Wes, Ti. Ayo kita makan. Pecelnya uenak, ada timun dan kemangi kesukaanmu!" Pak Salim menyodorkan piring dan toples berisi rempeyek kacang. "Jawabnya setelah makan, ya, Ti. Tadi di pasar, Bulek beli tempe mendoaan. Ingat kamu suka ini."Aku meng
Mata ini terpaku pada jaket yang dikenakan, berwarna biru dengan garis oranye di pundak memanjang sampai lengan. Di punggung tertulis, NEDERLAND. Itu jaket tim Belanda saat World Cup 2014. Jaket tim bola kesayanganku.Aku ingat benar, karena ini pertandingan bola terakhir yang aku ikuti. Karena beberapa hari setelahnya, kedua orang tuaku mengalami musibah. Musim pertandingan berikutnya, aku tidak sempat karena disibukkan dengan pekerjaan dan kesendirianku."Cepetan naik!" teriak Den Langit. Dia sudah keluar dengan kuda besi kesayangan. Ini berarti dia mengajakku naik motor? Pak Salim menyenggol lenganku sambil berkata, "Tik! Cepetan, sebelum dia marah lagi. Sana!" Kemudian dia tergopoh membuka gerbang dan berdiri bersiap di sana.Dengan masih ragu, aku mengenakan helm dan menaiki motor yang sudah meraung-raung. Beruntung aku menggunakan celana panjang komprang. Tidak lusuh, hanya cukup pantas untuk jalan beli gorengan. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang maksimal.Kami me
Baru saja aku membuka cerbungku di platform. Kebiasaanku setelah malam hari posting, paginya aku memastikan respon pembaca. Bagiku, respon pembaca menyuntik semangat untuk terus menulis. Ada rasa bangga dan puas di hati. Apalagi saat pembaca menyatakan ikut bahagia, hati berbunga-bunga, senyum-senyum, atau mengatakan tidak sabar menunggu bab selanjutnya. Aku mendapatkan tenaga ekstra dengan menebar energi positif kepada pembaca.Seperti sekarang. Tadi malam sepulang keluar dengan Den Langit, tulisan aku sempurnakan dan langsung aku posting di platform.Menceritakan tentang persamaan kedudukan antara majikan dan pembantu. Si pembantu berusaha up-grade dirinya dengan prestasi, sehingga saat bersama majikan yang mencintainya dia bisa berjalan dengan tegak dan membanggakan.Hubungan laki-laki dan perempuan, tidak sekadar berdasarkan cinta apalagi hasrat, namun ada rasa kebanggaan saat membersamainya.Dalam semalam, bab ini mendulang ratusan like. Beberapa komentar mengatakan ini cerita
Dari sudut mataku menangkap dia yang tersenyum sambil menyunggar rampurnya yang panjang. Seakan tahu gerakan itu menunjukkan pesonanya."Memang siapa yang menanyakan pekerjaan? Saya sudah lihat dan pekerjaanmu rapi. Terima kasih," ucapnya dengan tatapan sendu. Aku tidak berani menerjemahkan tatapan ini, yang aku tahu, ini tidak seperti biasanya. "Sebenarnya, saya tidak menganggapmu pembantu di rumah ini. Bersama kamu, saya seperti mempunyai teman kembali. Bisa berbicara apa saja tanpa ada batasan. Sayang sekali kamu akan segera pergi." Dia menghela napas dan melanjutkan berbicara. "Bisakah malam ini menjadi waktu bebas buat kita. Saya bukan majikan dan kamu juga bukan orang yang bekerja di sini. Kita menjadi teman, dan tidak ada panggilan Den, cukup panggil namaku saja. Toh, kita juga seumuran."Aku menatapnya, mencerna apa yang dimaksud. Jujur, aku merasa bungah, karena ini berarti aku bisa menjadi diriku sendiri. Walaupun hanya malam ini, karena besuk aku sudah tidak di sini.*S
Aku pergi meninggalkan rumah yang sarat dengan kenangan setelah dia pergi. Diantarkan Bulek Ningsih dan Pak Salim, saat mobil jemputan yayasan datang. Tentu saja ini kerjaan Laila sahabatku sekaligus pemilik yayasan ini.Seperti yang dibilang Mbak Rahmi, setiba di rumah dia melarangku ke kantor. Aku harus menanggalkan peran Astuti si tukang bersih-bersih, dan itu membutuhkan dua sampai tiga hari. Itu waktu tercepat.Kemarin, aku dipaksa seharian di spa. Mulai, pijat, lulur, berendam, bahkan manicure pedicure. Aku tidak boleh keluar sebelum perawatan usai. Memang, badan menjadi segar dan wangi. Namun, diriku seperti dipenjara, sampai-sampai makan pun sudah disiapkan di dalam. Hari berikutnya, jadwalnya perawatan wajah. Kegiatan yang paling membosankan. Kecantikan yang dibayar dari rasa sakit, dan jenuh. Aku harus pasrah dengan apa yang dilakukan mereka. "Kamu ini seorang Lintang Astuti, wajah dari perusahaan ini. Sebagai pemilik sekaligus designer fashion, penampilan itu sangat perlu
"Yang akan aku ceritakan, merupakan jawaban pertanyaan ini. Aku akan bercerita nanti malam, setelah kegiatanmu usai. Karena ini membutuhkan waktu lama," ucapku merasa di atas angin. "Jadi, aku tunggu nanti!""Dasar anak nakal! Pinter menjebak orang! Aku turuti kemauan kamu, asal besuk malam mau mendampingiku gala dinner," pintanya dan akupun mengangguk riang. Barter yang menyenangkan, toh aku juga sudah rindu keriuhan acara itu."Jangan terjebak dengan ketenaran, nanti tidak sempat mendapatkan pasangan beneran. Buruan pilih satu, jangan ganti terus. Kalah sama sandal jepit, yang sepasang selamanya!" selorohku sambil tertawa. Dia diam menatapku sesaat, memicingkan mata, kemudian tertawa lebih keras dibandingkan aku."Kamu mentertawakan aku? Bukankan kamu sendiri juga begitu? Sandal jepit yang masih teronggok sendirian! Ha-ha-ha!"***Semalam, kami begadang saling bercerita tentang keseharian selama tidak bertemu. Mahardika menceritakan kesibukan mengembangkan butik dengan membuka beb
Kaki ini pegal, berkeliling mengikuti kemanapun Mahardika menyapa rekan-rekannya. Beberapa aku mengenalnya, namun banyak juga wajah-wajah asing. Tempat pertemuan ini begitu luas dan dihias megah. Hotel yang menjadi lambang kemewahan di kota ini. Walaupun sesama designer baju, aku tidak terlalu mengikuti acara seperti ini. Semua sudah ditangani tim pemasaran garmen. Bahkan, beberapa menjadi pembeli tetap di Lintang Soul, namun tidak pernah bertemu denganku. "Dika, aku capek sekali. Aku duduk dulu, ya. Kamu lanjutin tebar pesona, sana!" Aku merengut, memaksanya untuk mengerti. Dia terkekeh dan berputar akan mengantarku ke meja kami. Namun, sebelum melangkah ada seseorang memanggil Dika. "Sudah. Tidak usah diantar. Kamu temuin mereka saja. Pasti ada yang penting. Good luck, ya!" Aku mendorong pelan, memaksanya untuk pergi. "Tapi ...." "Sst! Go!" Aku mendelik dan disambut anggukan menyetujuiku. Meja kami lumayan di ujung depan. Aku harus melewati beberapa meja dengan keadaan ka
Hasil pemeriksaan, pergelanganku terkilir saja. Tidak ada yang retak apalagi patah. Awalnya, Mahardika memaksaku untuk di rawat di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Namun untuk apa? Semalaman Mahardika menungguiku. Dia tidak mau pulang, bahkan dia rela tidur di sofa sebelah ranjangku. "Ini tanggung jawabku. Kalau aku tidak meninggalkanmu, pasti tidak akan terjadi seperti ini," jawabnya. "Ada Mbak Rahmi." "Tidak, aku harus memastikan sendiri sampai besuk pagi. Aku kawatir, nanti kamu kesakitan saat sendirian." Benar, pada tengah malam aku terbangun. Rasa nyeri menyiksaku. Aku merasa pergelangan kaki berkedut dan membengkak. Tak sadar, aku merintih sambil mengusap kaki ini. "Lintang! Sakit?" teriak Mahardika. Dia terbangun dan dengan sigapnya mengambil kaki ini dan mengusap-usap berusaha mengurangi rasa sakit. Mungkin ini terasa karena pengaruh penghilang rasa sakit sudah habis. "Dika .... Sakit!" "Minum ini, sebentar lagi, pasti sakitnya berkurang," ucapnya setelah meny
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak
Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker
Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari
Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se