Jam menunjukkan pukul dua dini hari dan Sara masih meminta Babal melajukan mobilnya menyusuri jalanan ibu kota yang sudah sepi. Pandangannya menatap ke arah lampu-lampu jalanan, pohon-pohon dan gedung tinggi-tinggi. Ia tidak benar-benar memikirkan sesuatu. Tetapi rasanya kepalanya penuh dan mau pecah. Rasanya pusing tapi tidak sedikitpun keinginannya untuk merebahkan diri di atas tempat tidur dan terlelap.Ia tidak berniat pulang, apalagi ke rumah Banyu.Babal yang sejak tadi gagal mengajak Sara makan, hanya menatap sedih perempuan di sampingnya ini. Lama-lama ia hanya mendiamkan Sara dengan segala pergolakan di hati dan pikirannya. Takut kena semprot lagi. Toh, diam-diam ia sudah menghubungi papa Mario untuk mengabarkan bahwa Sara sedang bersamanya sekarang. Papa Mario juga begitu khawatir dengan putrinya. Sementara Banyu juga sejak tadi berusaha menelepon Babal, tapi atas permintaan Sara, Babal harus blok nomor Banyu. Fix! Masalahnya ada pada Banyu."Kita pulang ya Beb? Ini udah jam
Sulit. ini terlalu sulit untuk Sara. Namun, rasanya ini tidak benar. Ia sudah berbulan-bulan lamanya menanti papanya terbebas dengan berbagai perasaan dan sekarang ia harus bersikap keras seperti ini? Itu bukan suatu pilihan yang bijak dan tidak akan ia lakukan sebagai orang dewasa. Demi apapun, Ia rindu dengan papanya dan tidak seharusnya bisa ditukar dengan sikap kecewanya terhadap apa yang baru saja terjadi. Maka, Sara memutuskan untuk pulang. Ada setitik harapan bahwa apa yang ia dengar dan lihat tadi siang adalah kesalahpahaman. Namun, ia tidak akan pernah tahu kebenarannya jika ia sendiri menutup penjelasan dari semua orang. Satu-satunya yang harus ia mintai penjelasan tentu saja adalah papanya terlebih dahulu. Sara tahu betul papanya seperti apa. Ia tidak akan membuat anaknya bersedih apalagi menyakiti. Papanya pasti punya penjelasan yang paling masuk akal yang bisa ia dengar dan rasional daripada ia mendengarkan dari Banyu.Mbok Na membukakan pi
Sara tahu, prioritas mana yang harus ia dahulukan. Tentu saja membantu papanya mengurus perusahaan. Healthy Human harus bangkit kembali dan Mario yang sudah dinyatakan tidak bersalah, membawa kembali kepercayaan rekan-rekannya untuk berinvestasi di sana. Sara sadar memang pertemanan bisnis itu penuh dengan risiko dan toxic. Namun, bagaimana pun juga, bisnis ya bisnis. Semua yang terlibat memang hanya untuk kepentingan keuntungan besar-besaran dan yang pasti mengutamakan citra.Selagi papanya mengadakan meeting dengan calon investor baru dan pergi pagi-pagi, Sara bertugas ke cabang perusahaan yang telah ia buka kembali selama papanya di lapas. Sara harus mengecek beberapa hal di sana dan melaporkannya pada Mario untuk dievaluasi lebih lanjut. Sara jadi pesimis untuk menjadi selebgram travel terkenal seperti dulu lagi. Bisa-bisa ia akan jadi staff khusus papanya. Tapi untuk sekarang, tidak masalah. Mario sudah banyak berkorban untuknya, dan kini giliran Sara yang turun tangan membantu p
"Lo gak bisa begini terus Beb. Kasihan yang pegang kamera, tangannya sampai pegel tuh. Serius dikit dong." bisik Babal di ruang khusus pemotretan untuk membuat konten tentang skin care travel kit."Gue udah serius Bal daritadi. Dianya aja yang gak puas.""Gak! Gak! Lo tuh kurang senyum, kurang sumringah, bernergi dikit lah. Kan tadi udah sarapan banyak."Sara menipiskan bibirnya dan harus bersabar untuk hal ini. Ia sudah take video sampai sepuluh kali dan tidak ada satupun yang berhasil. Sara sampai berpikir bahwa si tukang bawa kamera itu sedang mengerjainya. Padahal menurutnya, ia sudah maksimal dan berekspresi. Masih saja ada yang kurang dan di protes. Kurang senyum, kurang fokus, matanya kurang berbinar dan yang lebih sakit lagi, Sara dibilang harus segera perawatan wajah supaya lebih segar. Katanya kantung matanya membuat videonya sedikit kurang menarik. Sialan!Kalau lelaki di depan sana itu bukan tukang kamera milik perusahaan skincare yang
"Kita selesai sampai di sini, Banyu Sadewa."Kata-kata Sara itu terngiang-ngiang di kepala Banyu. Apakah semuanya memang akan selesai? Tapi ia tidak menginginkan ini dan Banyu yakin, di dalam lubuk hati Sara paling dalam, juga tidak menginginkan ini terjadi. Hari-hari tanpa kehadiran Sara sangatlah menyiksanya. Ia hanya bekerja bagai robot, menyelesaikan kewajibannya dan pergi mencari Sara dimanapun perempuan itu berada. Beberapa kali ia juga berusaha menemui Mario, tapi beliau tidak pernah menerima alasan apapun selain Banyu harus segera melepaskan putrinya. Banyu memejamkan matanya dan mengusap wajahnya kasar. Lalu suara pintu ruangannya terbuka kasar.Lalu muncullah mami Lucy. Wajahnya terlihat kaku menatap anak lelakinya dan duduk di sofa dalam diam. Banyu mengernyit dan segera beranjak dari kursi untuk menghampiri Maminya."Mami? Kok pulang lagi?" tanya Banyu."Gak penting kenapa Mami pulang lagi. Sekarang Mami mau bicara sama kamu." ujar Mami Lucy tegas.Firasat Banyu bilang,
"Ini lo sendiri ya yang mau. Gue sebagai asisten sekaligus manager lo, cuma nyampein aja ke mereka kalau lo mau ikut projek ini.""Iya, memangnya kenapa sih? Bukannya mendukung gue dapat kerjaan dan bisa buat menambah pengalaman gue. Lo malah kayak gak ikhlas begitu."Babal menyeret koper milik Sara. Mereka baru turun dari pesawat di bandara Komodo dan akan menuju hotel tempat menginap. Sara memutuskan untuk mengikuti mini tour project sekaligus kerja sama sebagai influencer trip.Lelaki itu mendengus di belakang Sara. "Bukannya gue gak ikhlas, lo tuh statusnya masih istrinya mas Banyu loh. Lo harusnya ijin lah sama dia."Tiba-tiba Sara berbalik dan menatap Babal tajam hingga membuatnya juga ikutan berhenti berjalan."Jangan sebut nama itu lagi. Kita udah selesai dan cepat atau lambat akan jadi dua manusia yang saling melupakan satu sama lain. Sekarang poros gue cuma Papa. Lagian kapan lagi papa mengijinkan gue pergi trip, kerja sekaligus
Sejak kecil, Sara tak pernah bisa merasakan bermain dengan teman sebayanya. Di kompleks perumahan elit tempat ia tinggal, kebanyakan anak-anaknya tidak pernah dibiarkan keluar tanpa pendampingan susternya atau asisten rumah tangga. Padahal, Sara sendiri tidak pernah punya suster di rumah dan hanya punya mbok Na. Ia selalu ingin keluar rumah dan bermain dengan yang lain, tapi tidak ada yang diperbolehkan bermain di luar. Kebebasan anak-anak itu seolah terbatasi oleh aturan-aturan tak kasat mata yang keluar dari titah orang tuanya. Namun kali ini, tiba-tiba ia seperti berada di tengah anak-anak yang terasa sebaya dengannya. Padahal Sara sadar jika ia kini sudah dewasa bukan anak kecil lagi. Anak-anak kecil itu mengelilinginya dan tertawa dengan riangnya. Sara ikut tertawa. Tangannya di raih seorang anak laki-laki tampan, mirip seseorang yang ia tidak tahu siapa, tapi wajahnya cukup familiar. Anehnya, Sara tidak mau mengingat apapun. Ia hanya mau menikmati momen ini, bermain bersama ana
Sara menepis tangan Banyu saat mau membantunya turun dari kapal. Sebagai gantinya, ia lebih menarik Babal dan menerima bantuan lain dari Disha di sebelah kanannya. Tadi, kaki Sara sempat kram karena ia memang tidak banyak melakukan pemanasan sebelum naik ke Padar. Sungguh kesalahan fatal. Sekarang, ia harus merepotkan banyak orang untuk membantunya begini. Ambulan sudah siap ketika mereka turun di pelabuhan dan Sara diminta untuk tiduran di brankar. Sara pikir hanya Babal dan Disha yang ikut naik ambulan itu, rupanya Ardi dan Banyu juga ikut naik. Bahkan Banyu dengan sigap duduk di sebelah kanan dada Sara mendahului Disha.Bibir Sara sudah hampir protes dan meminta Bantu keluar, tapi pintu ambulan itu sudah ditutup oleh petugas medisnya. Mau tidak mau, Sara harus menerima situasi berdekatan dengan Banyu. Ia menutupi matanya dengan lengan karena pusing itu kembali menderanya. Selain itu juga untuk menghindari melihat Banyu.Dalam kurun waktu dela