"Jelasin sama aku, Wira?! Si udik ini ngada-ngada 'kan?" tanya Diandra masih syok.Bola matanya yang dihias soflen kebiruan itu membelalak sempurna, sementara Wira kelabakan bingung harus menjelaskan dari mana."Jawab!" teriaknya lagi, Diandra hampir stres menghadapi kenyataan ini."Iya, tapi aku akan berusaha bayar cicilan perbulannya, kamu jangan khawatir biar ini jadi urusanku."Diandra memegang keningnya dengan erat, muak sekali dengan kenyataan ini, rasanya ingin pergi dan mencari lelaki lain."Dengan cara apa hah?! Perusahaan kamu udah bangkrut, kamu udah miskin, aku udah ga tahan," seru Diandra sambil mendorong kopernya keras-keras.Sementara Rara berdiri dengan tenang menikmati ketegangan antara pengantin baru itu, melihat mereka yang saling bersitegang ia jadi enggan pergi dari rumah ini.Alasannya karena ingin memberi pelajaran pada si gundik, sekaligus melihat pertengkaran mereka yang sudah pastinya terjadi setiap hari.Rara faham perempuan matre seperti Diandra tak bisa hi
"Stop!" teriakkan Wira memekik membuat keriuhan itu senyap kembali, tetapi kini semua pasang mata memandangnya."Oh jadi ini lakinya yang dungu itu? ngelepas istri shalihah dan malah mungut lont* murahan?" teriak seorang ibu-ibu dari arah belakang."Iya bener, dia itu 'kan bos yang perusahaannya bangkrut.""Jangan-jangan perusahaannya bangkrut karena sial udah nikahi perempuan itu?""Dasar pelakor bawa sial! Lebih baik lu cerein lagi aja dia dan balik ke istri sah lo dijamin tar bakal kaya lagi.""Ya betul!"Semua hinaan itu tentu saja seperti menusuk-nusuk hati Diandra, jika Wira belum jatuh miskin ia sudah pasti menuntut mereka semua ke jalur hukum atas pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan.Merasa jengah, Rara segera membayar ke kasir dan pergi dari kekacauan itu, ada kesal di hatinya karena makanan tadi tak habis semua, jadi mubazir 'kan?Ia kembali pulang ke rumahnya yang kini sudah seperti neraka, sisi hatinya ingin pergi saja dari sana. Namun, hukum agama mengata
Diandra memejamkan matanya, perkataan Wira itu benar, aku tak boleh egois, fikirnya."Kamu ga mau 'kan kehilangan anak lagi, sabar ya demi anak kita."Mereka berpelukan dalam tangisan, sementara di lantai atas Rara menyaksikan dengan hati berantakan.'Kamu udah berzina selama masih bersamaku, Mas, tega!' Ratap hati Rara.Ia segera berlari ke kamar meredam segala emosi dan tangisnya, tak berguna mengeluarkan air mata, Rara menghapus lelehan yang membuat pipinya basah itu dengan cepat.Tapi tak bisa, kelopak mata itu terus saja melelahkan cairan hingga ia sesenggukan.***Aroma ayam goreng dan kangkung belacan sukses membuat Indra penciuman Wira dan Diandra tergugah, kebetulan sekali mereka belum makan malam."Kayanya si Rara lagi masak tuh," celetuk Diandra, perutnya keroncongan karena tadi siang hanya makan mie instan."Kita samperin yuk," ajak Wira.Diandra diam gengsi sebenarnya, tapi bagaimana lagi di luar hujan tak memungkinkan beli makanan, ia pun terpaksa bangkit dan mengikuti
Wira gelisah tak bisa tidur hingga tengah malam, padahal esok hari ia harus berangkat pagi untuk menemui kawannya yang baru pulang dari luar negri, ngajakin bisnis bareng.Tapi, yang mengganggu fikirnya bukan itu, melainkan sikap dermawan Rara yang baru diketahuinya, bayangkan selama tiga tahun ia ikhlas menyedekahkan setengah nafkahnya.Bahkan, ia tak yakin Diandra mampu melakukan itu.Rasa bersalah menyeruak, harusnya kami tak bercerai, tapi bagaimana tuntutan keluarga, pun Diandra yang tak ingin dimadu.Janin dalam perut itu yang selama ini ditunggu-tunggu mama dan papa. Kedua orang tua itu memang kerap menuntut.Baik pada Wira atau pada Wanda--adik bungsunya-- terhadap Wira mereka menuntut cucu, sedangkan pada Wanda mereka menuntut segera menikah.Padahal gadis berusia di puluh sembilan tahun itu masih betah melajang dan sedang berada di puncak kesuksesan.Hingga pukul setengah empat barulah Wira terlelap, waktunya salat subuh dia malah terlelap sulit terbangun saking ngantuknya.
"Ayah." Tergopoh-gopoh Wira menghampiri mertuanya lalu bersalaman."Kok ke sini ga bilang dulu, yuk masuk ke dalam," ujar Wira lagi basa-basi.Ayahnya Rara yang bernama Pak Mustafa itu memandangnya dingin, dahulu ia begitu hormat pada menantunya itu, tapi kini ia muak sekaligus benci.Sementara Diandra masih berdiri di tempat, ia kikuk malu bukan main, kalau bisa sudah menggali tanah dan mengubur diri dalam-dalam saking malunya."Ini istri barumu itu, Wira?" Pak Mustafa menunjuk Diandra yang tertunduk malu."Iya, Yah," jawab Wira merasa tak enak."Gimana sih kamu nyari istri malah yang begini," celetuk Pak Mustafa meremehkan."Heh kamu! Awas ya kalau sampai berani menyakiti anak saya, baik menyakiti hatinya ataupun fisiknya, lihat saja apa yang akan saya lakukan, saya tahu asal-usulmu dari mana."Sebuah peringatan dari Pak Mustafa membuat nyali Diandra sedikit menciut, bak kerupuk yang tersiram air, malunya hingga ke ubun-ubun.Lelaki tua yang berumur hampir kepala enam itu masuk ke d
"Hahh, engga mungkin." Diandra menyeringai kecut sambil geleng-geleng kepala.Mana mungkin lelaki tua yang berpenampilan ala kadarnya ini pemilik perusahaan besar, yang memiliki beberapa cabang di Indonesia.Dia pasti ngada-ngada, fikir Diandra."Rara, kamu tinggal di sini dulu ya sampai masa Iddah selesai, gunakan mobil itu kalau perlu, dan ini untukmu, Ayah tahu suamimu pasti takkan sanggup 'kan memberi uang."Pak Mustafa memberikan kartu ATM pada anaknya, sekaligus aksi sindiran bagi lelaki di sebelahnya."Ga usah, Yah. Lagian aku juga mau ngajar lagi di campus, ada temen yang nawarin," tolak Rara halus.Ia tak terbiasa meminta dan menengadah pada orang tua, Pak Mustafa dan istri berhasil mendidik anak-anaknya untuk menjadi mandiri walau bergelimang harta."Kalau kamu mau ngajar lagi, silakan. Tapi jangan sekarang tunggu masa iddah selesai, kamu harus tetap diam di rumah suamimu, ikutilah hukum agama, Nak."Rara mendesah."Tapi aku bosan, Yah. Bayangkan jika ada di posisiku," renge
"Siapa kamu?!" tanya Diandra sambil berteriak lagi.Akan tetapi, perempuan di sebrang sana malah mematikan saluran telponnya, membuat Diandra kian murka.Dasar jal*ng seenaknya mematikan panggilan! Gerutu Diandra.Tak putus asa ia menelpon lagi, tapi nomor Wira sudah tak aktif tak bisa lagi dibohongi.Terlanjur kesal ia membanting piring ke lantai hingga pecahan beling dan nasi berhamburan ke mana-mana, dan suara bisingnya terdengar oleh telinga Rara."Baj*ng-an! Brengsek kamu, Wira!" teriak Diandra menggema.Semua teriakan Diandra terdengar jelas oleh telinga Rara, perempuan berambut sepinggang itu menyeringai sambil mengunyah makanan.Hatinya puas melihat rumah tangga Wira berantakan, sama seperti hatinya yang sakit karena perbuatannya."Aaaarrghh!" teriak Diandra memekik, menumpahkan emosi.Rara memilih mengunci pintu kamar cari aman ketimbang keluar, mendengar jeritannya saja ia puas tak perlu hingga repot-repot turun ke bawah."Tega kamu, Mas! Tegaa!" jerit Diandra seperti orang
"Diandra, gara-gara kamu Papa kehilangan pekerjaan tahu!" bentak Pak Haryadi Kusuma yang tak lain papanya Diandra."Kok gara-gara aku sih, harusnya Papa yang intropeksi diri, selama kerja 'kan Papa sering korupsi, kok malah nyalahin aku sih," balas Diandra tak ingin disalahkan.Untung ia punya senjata untuk melawan tuduhan."Kalau ketahuan korupsi mungkin hari ini Papa sudah ada di penjara, ini semua gara-gara kamu tahu ga, mau-maunya dihamili suami orang, tahu ga mertua Wira itu pemilik perusahaan tempat Papa kerja, puas kamu!""Papa ga mau tahu tiap bulan kamu harus bantuin kirim uang untuk biaya kuliah kedua adikmu!"Tut!Pak Haryadi mematikan telpon, karena ia faham berdebat dengan putri sulungnya itu hanya akan membuat masalah tambah runyam.Diandra mengerang menahan kesal, masalah rumah tangganya saja belum menemukan solusi, sudah ada masalah lagi."Kita pulang," ujar Wira, hendak melanjutkan pertengkaran di rumah._**_Tiba di rumah Wira membanting sepatu di hadapan Diandra."K
Dua tahun kemudian.Diandra telah bebas dari masa hukumannya. Papa dan Mama beserta Tiara yang sudah tumbuh jadi balita ikut serta menjemput kepulangan wanita itu.Diandra dulu tentu berbeda dengan sekarang. Saat ini wanita itu bertubuh kurus dan berwajah kusam. Namun, hal itu bukan suatu masalah bagi dirinya.Prinsip wanita itu telah berubah, yang ada di pikirannya hanya rindu terhadap anak tercinta, ia ingin memeluk dan mencium bocah itu sepuasnya."Oma, takuut, toloong," rengek Tiara, saat Diandra berusaha mendekatinya."Kok takut, dia 'kan Mama kamu," ucap Mama Diandra.Anak berumur empat tahun itu merenung, ia tak terbiasa dengan hadirnya seorang Mama, yang ada dalam hidupnya selama ini hanya oma, opa dan papa."Ga apa-apa, Diandra, anakmu ga terbiasa dengan hadirnya kamu, nanti juga terbiasa pasti sayang kok sama kamu." Mama Diandra menenangkan."Ma, aku minta maaf ya udah buat Mama dan Papa malu selama ini," ucap Diandra dengan wajah sendunya.Mama Diandra mengangguk."Yang pen
Sementara Wira berdiri di hadapan pintu masuk rumah Pak Mustafa, sejak tadi ia berdiri di sana, menunggu tamu yang di dalam keluar, dengan harapan agar Rara kembali jadi miliknyaWira bersender di pintu, tubuhnya mendadak lemas mengetahui sang pujaan hati hendak jadi milik orang lain."Wira," ucap Pak Mustafa saat menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapan pintu rumahnya.Sontak semua orang melirik ke arah yang sama, Rara terkejut matanya sempat menghangat, bukan masih cinta melainkan tak tega.Pak Mustafa melangkah keluar seorang diri sementara yang lain menunggu di dalam."Ayo masuk," ajak Pak Mustafa.Tapi Wira malah berdiam diri, enggan masuk lantaran kakinya terasa berat dibawa melangkah."Saya pulang aja, Yah." Wira tersenyum sungkan."Ya sudah hati-hati." Pak Mustafa menepuk bahu WiraSatu bulan semenjak kejadian itu akhirnya ada surat undangan yang datang ke rumah Wira, bertuliskan nama Rara dan Faruq, Wira menghirup napas dalam-dalam saat membacanya."Tuh mantan istrimu
Nenek dari pihak Diandra yang memberikan nama itu, mereka berdua mengurus bayi Tiara dengan dengan didikan yang baik, tak ingin anak ini tumbuh liar seperti ibunya."Ma, aku udah transfer ke rekening Mama ya kalau Tiara kenapa-napa telpon aku aja," ujar Wira saat ia mengunjungi anaknya.Pria itu tak ingkar janji, hingga anak itu tumbuh dan bisa berjalan ia tetap memberi nafkah dan kasih sayang, setiap akhir pekan ia menyempatkan waktu untuk bertemu anaknya.Mengajak jalan-jalan atau membawanya menginap di rumah Mama Sandra, wanita itu teramat gembira jika sang cucu datang menginap di rumahnya.Tak ada benci seperti sebelumnya. Tiara benar-benar dilimpahi kasih sayang dari ayah dan kakek neneknya."Wira, kapan kamu nikah lagi? kalian sudah dua tahun bercerai, masa iya kamu menduda terus," ucap Mama Sandra.Wira terdiam, hatinya masih tertutup belum ada wanita yang bisa menggantikan Rara."Nanti saja, Ma, belum dapat yang sreg di hati." Wira tersenyum.Mama Sandra mendesah, lagi-lagi pu
Sidang pertama sukses, Rara beserta pengacara bersalaman sebagai ungkapan terima kasih. Di ruang mediasi Wira sempat membela diri, tak ingin bercerai. Namun, berkat bantuan Bu Lala pengacaranya akhirnya hakim berpihak pada mereka."Ra, please, berfikir ulang," ujar Wira saat sudah keluar dari ruang sidang."Maaf, Mas. Ini yang terbaik. Aku ga mau hidup ngebatin terus," ucap Rara lalu segara meninggalkannya.Sakit sekali hati Wira, begitu pula dengan Rara. Mereka sama-sama merasakan sakit akibat perpisahan ini.Waktu cepat berlalu, sekarang tiba saatnya Diandra melahirkan, pihak lapas yang mengabari Wira, selaku ayah dari bayi itu.Wira menagajak Mamanya dan Pak Dirga, karena kedua orang tua itu memaksa ikut, ingin melihat cucu pertama mereka.Walaupun sempat membenci, tapi dalam hatinya masing-masing mereka penasaran dengan wajah anak itu, dan tak dapat dipungkiri ada setitik sayang untuk anak itu."Bayinya perempuan, Mas. Lihatlah hidung dan bibirnya mirip denganmu," ucap Diandra lir
"Atas kasus apa?" tanya lelaki yang kini berjanggut sedikit tebal itu, maklum jarang mengurus wajah karena sibuk dengan berbagai masalah."Kasus prostitusi dan satu lagi dia juga terjerat kasus nark*ba, dia digrebek saat lagi pesta s*bu bersama seorang pria."Jantung Wira serasa mau copot mendengar kabar itu, ia langsung menduga soal penemuan barang haram di restorannya, apa mungkin itu juga ulah Diandra?"Saya ga ngerti, dia itu 'kan sudah menikah lagi hamil pula kok bisa-bisanya pakai barang haram itu?" Pak Haryadi memijat kening."Apa kalian ada masalah?" tanyanya lagi dengan raut putus asa.Wira masih diam, antara harus memberitahu mertuanya atau tidak."Kalian ada masalah apa sih?" Pak Haryadi bertanya lagi."Iya, Pa, Diandra kabur dari rumah karena berantem sama aku. Aku meragukan anak yang dikandungnya, karena ada lelaki yang bernama Kevin yang dicurigai ayah dari bayi itu." Wira terpaksa membeberkan.Ia sudah lelah menanggung masalahnya sendirian. Ternyata setelah berzina itu
Hari ini Wira dapat bernapas lega, pasalnya polisi mengabarkan ada penemuan sidik jari orang lain di plastik yang membungkus benda har*m itu.Tak hanya itu, ada dua orang saksi yakni yang sedang makan melihat seorang perempuan asing masuk ke dapur restoran, kini polisi sedang memburu wanita itu."Jadi, sekarang kamu sudah terbukti bukan pengedar ataupun pemakai benda haram itu?" tanya Mama Sandra, ia sampai bolak balik ke rumah anaknya."Iya, Ma. Alhamdulillah. Jadi kasus ini sebenarnya jebakan aja supaya restoran aku sepi."Mama Sandra dan Papa Dirga bernapas lega."Sekarang selesaikan masalahmu yang lain," timpal Papa Dirga.Wira melirik sang ayah."Papa sudah tahu masalahmu antara kalian bertiga, selesaikan secepatnya dan pilih salah satu," lanjutnya dengan sedikit ketegasan."Papa tahu dari mana masalah di hotel itu?" tanya Wira penasaran."Dari temen Papa, kebetulan kemarin katanya kamarnya bersebalahan, jadi ia mengetahui keributan yang terjadi."Wira merasa malu, masalah pribad
"Hadeuh kamu ini. Perempuan itu kalau lagi ngambek diomongin apapun ga bakalan mudeng, yang ada di kepalanya cuma kecewa, kamu sabar dong tunggu kepalannya dingin dulu."Pak Mustafa hafal betul karakter wanita, ia belajar banyak dari istrinya, anaknya, juga kakak dan saudara yang lain.Wira mengacak rambut, kalau begini semakin bertambah lah beban di kepalanya."Kamu pulang sana, kalau Rara udah baikan dia pasti mau ditemui, sekarang biarkan dia merenung sendiri."Wira mangut-mangut. "Ya sudah saya pulang, tapi sampaikan sama Rara kalau saya sayang padanya, Ayah jelaskan pada dia kalau yang dia lihat itu cuma fitnah alias jebakan Diandra."Pak Mustafa melengos.'Sudah dibilangin ga bakalan mudeng masih saja ngeyel,' gerutu hatinya.Wira pulang ke rumah, di sana ia disambut oleh Mama dan papanya."Wira apa benar kamu pakai nark*ba?" tanya Mama Sandra dengan tatapan menyelidik.Kabar penemuan barang har*m di restoran anaknya langsung menyebar pesat hingga sampai dengan cepat ke telingan
Wira dan beberapa orang karyawannya baru saja selesai mengikuti proses penyelidikan di Polsek setempat, dari hasil tes urin mereka memang tak terbukti sebagai pengguna barang har4m tersebut.Oleh sebab itu polisi masih melakukan proses penyelidikan yang lain, untuk mengungkap siapa pemilik benda haram dengan berat yang lumayan itu.Untuk sementara ini Wira dan rekan-rekannya masih ditetapkan sebagai saksi bukan tersangka."Kamal, kamu ingat apakah ada orang yang masuk ke dapur kita?" tanya Wira pada chef kepercayaannya.Kali ini mereka sedang rapat, restoran jadi sepi dan dipasang garis polisi. Untuk sementara waktu usahanya itu ditutup terlebih dulu."Engga, Pak. Tapi saya memang sempat curiga waktu abis kembali dari toilet ada seseorang yang keluar dari dapur, saya kira itu costumer yang lagi cari pelayan."Wira tercenung lalu menatap lelaki di sampingnya dengan serius."Apa dia laki-laki? atau perempuan?" tanya Wira dengan mata tak berkedip."Ga jelas, Pak. Dia pake sweeter warna h
"Oh jadi kamu jebak aku hingga sampai ke sini?" tanya Wira dengan tatapan penasaran.Diandra terbahak-bahak."Itu kamu tahu." Diandra menyeringai puas.Wanita itu memang tak bisa ditebak isi hatinya, sebentar bisa menangis lalu sedetik kemudian bisa tertawa."Cepat buka pintunya!" Dengan bringas Wira memukul-mukul pintu dengan keras Sementara Diandra tersenyum, sekuat apapun pintu ditendang itu takkan terbuka tanpa titahnya."Nanti aku bukain, Wira. Sekarang mending kita santai-santai dulu di sini." Diandra duduk di kasur sambil tumpang kaki.Paha mulusnya terlihat jelas, walau sedang berbadan dua, tapi pesonanya masih bercahaya."Menjijikan! Aku ga sudi kalau harus duduk di tempat itu," jawab Wira.Fikiran lelaki itu kacau."Kok ga sudi sih cuma duduk doang kok, atau mau lebih." Diandra tertawa lagi."Buka pintunya, Diandra!" teriak Wira menggema."Aku bilang juga tunggu dulu.""Cepat buka pintunya." Wira melangkah dan hampir mencekik leher Diandra, hingga wanita itu terbaring di ka