Suara deru mobil yang berhenti di halaman rumah membuatku melangkah ke arah depan.
Masih ada perasaan kasihan yang hinggap di dalam sini.
Langkahku seketika terhenti saat melihat Mas Pandu datang bersama Lidya. Mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tanpa permisi.
"Mama di mana, Vit?" tanya Mas Pandu dengan raut wajah yang sangat khawatir, pun dengan Lidya.
"Di kamar, Mas," jawabku dengan jemari menunjuk ke arah kamar. Mas Pandu mengangguk lalu melangkah begitu saja, bersama Lidya– calon istri keduanya.
Kuhembuskan napas berat, aku menyusul langkah mereka.
Kini sepasang calon pengantin yang sedang di mabuk asmara duduk di tepi ranjang di samping Mama mertua.
Menyadari kehadiranku, pandangan Mas Pandu beralih padaku yang sedang berdiri di ambang pintu.&
Aku kembali menuju kamar. Terlihat Mama mertua masih terbaring lemah di atas pembaringan, aku duduk di tepi ranjang dengan Daffa yang ada di gendonganku."Sudah baikan, Ma?" tanyaku sesaat setelah melihat Mama Mertua, wajah tua itu masih terlihat pucat."Iya, tapi perut masih ngerasa nggak nyaman," ucap Mama dengan lirih. Nada suaranya masih terdengar lemah.Entahlah, aku masih bingung dengan perasaanku saat ini. Dengan teganya kuberikan obat pencahar itu ke dalam minuman Mama, namun ada rasa kasihan yang menyelinap di dalam dada saat melihat Mama sampai pingsan, namun saat melihat dirinya sudah membaik ada rasa kecewa.Jahatkah aku?Kurasa tidak, bukankah apa yang dilakukan Mama jauh lebih kejam?"Mama tadi habis dari rumah Lidya?" tanyaku. Aku bangkit dari tempat dudukku, menimang-nimang Daffa.
Rencana Vita"Bagaimana? Kamu setuju?"Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk kuutarakan pada Mama mertua. Aku tak boleh salah langkah. Aku harus lebih hati-hati. Mama mertua pandai sekali bersandiwara dan bermuka dua.Saat bersamaku ia pura-pura berada di pihakku, namun saat bersama Lidya ia pun juga bersikap seperti itu.Setelah beberapa saat memikirkan semuanya, aku sudah memutuskan jawabannya. Bukankah aku memang ingin mengikuti rencana yang dikatakan Mama? Bukankah membahagiakan orang tua itu sesuatu yang sangat baik, begitu juga yang kulakukan saat ini. Meskipun kebahagiaan itu hanya sesaat.Mama menatapku, raut wajahnya penuh harap."Baiklah, Ma. Tapi Mama bantu Vita kan? Mama tinggal di sini juga kan?" ucapku yang sepersekian detik kemudian membuat bibir yang masih terlih
Kini tidak ada lagi yang bisa kupercaya selain diriku sendiri. Setiap langkah yang kuambil, aku terus berusaha berhati-hati.Di rumah ini, kini tinggal kami berlima. Aku, Daffa, Mas Pandu, Mama Mertua dan Lidya.Setelah kepergian Mbok Jum, aku meminta Mbak Ratih untuk pulang ke kampung halamannya. Aku memberinya libur beberapa hari.Tujuanku hanyalah, agar perempuan ular itu sadar diri kalau dirinya tidak bisa duduk bersanding denganku. Apalagi sampai merebut kursi singgasana ku di rumah ini.Akan kusadarkan dia, posisi apa yang pantas untuk dirinya. Teringat dengan jelas saat Mbak Ratih kuminta berpura-pura untuk pulang ke kampungnya dengan alasan ada urusan keluarga yang harus segera di selesaikan."Loh, Mbok Jum pulang, kamu juga pulang. Terus siapa dong yang mengurus rumah ini?" jawabku bersandiwara. Pu
"Vit ...."Aku terkejut, tubuhku tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang memanggilku dan saat aku menoleh ternyata ia sudah berdiri di belakangku.Jantungku berdetak lebih kencang. Khawatir jika ia mendengar perbincanganku dan juga Aulia.Aku dan Aulia saling berpandangan.Kuhela napas panjang untuk menetralkan degup jantung yang sudah tak beraturan ini. Pandanganku beralih pada Mas Pandu yang masih berdiri di sana. Kupasang wajah setenang mungkin."Ya, Mas?" ucapku menahan gugup yang amat luar biasa. Takut jika Mas Pandu mendengar perbincanganku dengan Aulia."Aku pulang dulu, sekalian mau antar Mama pulang. Mobil Mama biar di sini saja." Ucapan Mas Pandu seketika membuat hati ini lega."Oh, iya, Mas," jawabku. Pandanganku beralih pada Aulia. Wajah yang semula gugup itu terlihat lega, sama sepertiku."Aku temui Mama dulu ya
Lima belas menit aku duduk di sofa dengan kedua kaki berselonjoran di atas sofa. Bantal sofa kutumpuk lalu kugunakan sebagai sandaran punggungku.Pikiran ini terus berputar, mencari cara bagaimana agar aku bisa mendapatkan tanda tangan Mas Pandu tanpa ia membaca isi tersebut.Kuuhela napas panjang saat tak kunjung kutemukan ide yang akan kulakukan."Secepat mungkin aku harus mendapatkan tanda tangan Mas Pandu. Kalau bisa sebelum kedua pasangan itu menikah," lirihku dengan pandangan menatap ke langit-langit rumah.Akhirnya aku beranjak dari tempat dudukku lalu melangkah menuju dapur. Saat langkahku kian mendekat, suara beradunya antara wajan dan spatula terdengar menelusup ke gendang telinga.Aku berdiri di ambang pintu, menatap Lidya yang sedang sibuk mengolah makanan."Belum selesai?"&
Kini aku duduk di tepi ranjang seraya membawa lembaran kertas yang membutuhkan tanda tangan Mas Pandu. Berkas-berkas pengalihan nama semua aset-aset milik kami.Bergegas aku beranjak dari tempat dudukku saat Mas Pandu keluar dari kamar mandi."Mas," panggilku. Aku melangkah mendekati lelaki itu. Namun bau tak sedap menusuk indra penciumanku, membuatku mengibaskan telapak tanganku."Bentar! Perut Mas sakit.""Tap ...."Belum sempat kulanjutkan ucapanku, tubuh Mas Pandu hilang di balik pintu. Kuhembuskan napas kasar.Tak bisa dipungkiri, jantung ini berdebar lebih kencang. Takut jika rencanaku kali ini gagal.Beberapa menit kemudian, Mas Pandu keluar. Baru saja aku ingin melangkah, Mas Pandu langsung berbalik kembali menuju kamar ma
Aku berdiri di belakang pintu, mendengarkan kalimat-kalimat yang terucap dari Mas Pandu."Di rekening, Mas hanya memiliki kisaran seratus juta, Lid. Sedangkan untuk membuka salon yang seperti yang kamu inginkan uang segitu pasti tidak cukup. Belum cari tempatnya, peralatan dan lain sebagainya," ucap Mas Pandu."Mas, aku tuh sebentar lagi juga menjadi istri kamu. Mbak Vita saja megang kontrakan, dan penghasilan dari usaha yang kamu lakukan. Aku juga pengen, Mas!" Lidya berucap dengan nada yang mulai meninggi.Memang benar apa yang dikatakan oleh orang lain, seorang pelakor akan datang jika sang lelaki memiliki uang. Terbukti, Lidya sudah mulai menguras harta milik kami.Untung saja aku bertindak lebih cepat. Telah kuamankan semua aset-aset itu, hingga Lidya tak akan bisa menikmati sesuatu yang memang bukan haknya."Ndu, kenapa
Belasan menit kemudian, aku terduduk dengan rasa penuh penasaran. Penasaran tentang apa yang terjadi di rumah ini. Aku ingin melihat apa yang terjadi di dalam istanaku.Akhirnya setelah memastikan Daffa masih tertidur, aku beranjak dari dudukku lalu melangkah ke arah pintu. Kubuka handel pintu lalu tubuhku menyelinap keluar.Aku mencari mereka di dapur. Langkahku terhenti lalu kusembunyikan tubuhku di balik tembok pembatas antara ruang tengah dan juga dapur.Aku terkikik melihat pemandangan di depan mata. Ah, sepertinya aku perlu memasang cctv. Setidaknya biar aku bisa melihat semua hal yang mereka lakukan. Jadi aku bisa memantau semuanya dari telepon genggam.Terlihat dengan jelas Mama mertua sedang mengepel lantai dapur. Sedangkan Lidya sedang mencuci piring. Pandanganku beralih pada tempat di mana Mbok Jum biasanya mencuci pakaian. Terlihat Mas P
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.