"Glins menyuap manager HR untuk memecat beberapa safety engineer andalan Julio dan membuatnya bersaksi bahwa itu adalah perintah Julio. Hahaha!" Lagi - lagi Daniel tertawa sambil menyedot ingusnya. "Julio yang malang! Lalu, Glins menggantikan para engineer berkualitas itu dengan engineer abal - abal yang bahkan salah satu di antara mereka terindikasi melakukan pemalsuan ijazah! Benar - benar sampah. Aku juga gak tahu di mana Glins menemukan gerombolan sampah itu," lanjut Daniel. "Tentu saja orang - orang menuduh Julio sengaja melakukan itu untuk mengurangi biaya gaji. Karena mereka digaji hanya separuh dari gaji para engineer profesional yang sudah dipecat itu.""Lalu, material mulai diganti dengan material murahan yang jauh di bawah standar nasional." "Lalu apa yang terjadi?" kulik Sarah. "Fondasi dibangun dengan material bobrok tentu saja hanya dalam beberapa hari wush wush wush roboh! Hahaha! Kamu pasti tahu beritanya. Kemarin sempat viral. Empat orang meninggal, puluhan luka -
"Ma!" Ferdinan mulai meninggikan suaranya. "Tidak perlu mengusir Glins dengan cara se-" "Keputusan sudah final. Siapapun tidak boleh ada yang membantah!" Oma berlalu pergi meninggalkan semua orang. Glins juga beranjak ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, dia turun dengan dua buah koper besar. "Barang dan pakaianku masih banyak, besok akan aku suruh orang untuk mengambilnya," ucapnya."Glins, jangan terpancing emosi. Tetaplah di sini dulu hingga kemarahan Oma kamu mereda," bujuk Ferdinan. "Gak Pa. Oma gak akan berubah pikiran. Lagipula, sudah benar aku diusir. Aku telah menghancurkan reputasi perusahaan dan keluarga Young bahkan menghilangkan 4 nyawa." "Jangan matikan atau ganti nomor hape kamu. Pastikan kamu tetap bisa dihubungi. Papa akan segera mengkontak kamu setelah ini. Istirahat dulu di rumah keluarga Wilsoni, tenangkan dirimu." Glins mengangguk lalu pergi. Setelah beberapa langkah, dia berbalik. "Aku sudah memaafkan Papa," ucapnya. Air mata Ferdinan tak bisa ditahan. D
"Ini lho tas kamu ketinggalan. Nih, yang kecil nih!" Ferdian menyerahkan tas tangan Sarah. "Eh oh, iya, makasih, bye..." Setelah Ferdian pergi, Sarah masih terpaku di tempatnya memandang mobil Ferdian sampai benar - benar hilang dari pandangan. Entah kenapa dia tiba - tiba merasa sepi. Walaupun hanya 2 hari, kebersamaannya dengan Ferdian terasa amat menyenangkan. Namun, lagi - lagi Sarah mengabaikannya. Ferdian sendiri merasa cukup nyaman bersama Sarah. Tapi tidak ada perasaan apapun selain itu. "Iya Ma, habis ini aku nyampe kok," ucap Ferdian saat mamanya menelepon."Oke. Hati - hati ya sayang. Di sini, ada yang ingin bertemu dengan kamu." "Siapa?" "Pulanglah dulu. Nanti kamu juga akan tahu." "Oh oke." Ferdian heran kenapa mamanya mendadak menjadi misterius. Padahal, tinggal sebutkan saja nama orang yang ingin bertemu dengannya. Namun, itu tak membuat Ferdian terburu - buru. Dia tetap menyetir dengan santai hingga dia baru sampai di rumahnya 45 menit kemudian. "Ma... aku
"Papa terkena stroke," kata Veronica. Herlia memejamkan matanya, merasa iba dengan keadaan ayahnya. Dia beralih memandang adiknya yang berdiri di depan kamar perawatan rumah sakit dengan kaku dan tanpa ekspresi. Tidak ada penyesalan ataupun kesedihan di matanya. "Aku akan bayar perawat buat menjaga Papa. Apa kak Herlia masih mau di sini? Aku mau pulang," ucap Veronica sambil melirik jam tangannya. "Apa ada urusan kantor yang mendesak?" tanya Herlia. "Gak ada. Aku cuma bosen di sini. Aku mau tidur di rumah." "Kamu gak mau jagain papa sebentar?" "Buat apa? Kan aku udah bilang kalau aku udah membayar perawat pribadi buat Papa." "Oh. Mungkin rasanya akan beda kalau anaknya sendiri yang menemani." Veronica tertawa. "Yang benar saja. Kalau Helang mungkin papa akan senang. Terimalah kenyataan, papa gak menyayangi kita berdua." Herlia tertunduk. "Ya bisa saja. Tapi, aku menyayanginya." "Itu karena kamu lemah. Papa adalah seorang ayah yang layak dibenci. Kalau Kak Herlia mau temani
"Kenapa melamun gitu?" Julio menepukkan tangannya di depan wajah Fiolina yang memang sedari tadi terlihat melamun. "Mie-nya sampai cuma kamu mainkn sama garpu gitu aja gak kamu makan," tambah Julio. "Aku tiba - tiba kepikiran Glins," jawab Fiolina."Kepikiran Glins? Kenapa?" "Ya kasihan aja. Setelah dengar pengakuan Glins dan cerita dari Papa Ferdinan, aku rasa Glins selama ini cuma korban. Dia merasa kurang kasih sayang. Sementara di sampingnya ada Mamanya yang terlalu ambisius yang menekannya untuk jadi sempurna." Julio terdiam. Dia pikir - pikir, Fiolina ada benarnya juga. "Benar juga ya. Kasihan dia." "Kamu gak pernah deket sama dia sama sekali dari kecil?" "Hm..." Julio berusaha menggali memorinya. "Deket sih gak. Tapi kami dulu saat masih kecil, interaksi kami cukup baik. Maksudku, gak ada permusuhan ataupun persaingan. Mungkin karena kami masih anak - anak dan sama - sama polos." Julio lalu tersenyum. "Glins sebenarnya anak baik. Aku gak inget kapan tiba - tiba dia beru
"Hubungan kalian sebenernya baik ya. Kamu gak kasihan kah sama Glins? Dia semacam jadi alat untuk memenuhi ambisi Veronica," komentar Fiolina setelah mendengar cerita masa kecil Julio. Pandangan Julio tertunduk. "Mungkin sebenarnya aku punya sedikit rasa iba dan simpati sama dia. Tapi, aku membencinya." Julio menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya sendiri. "Aku membencinya karena dia anak Veronica. Aku sangat membeci Veronica karena dia menghancurkan rumah tangga papa dan mama." Fiolina terdiam sejenak. "Aku bingung." "Bingung kenapa?" "Kamu bilang dulu waktu Papa Ferdinan masih berstatus sebagai suami mama, dia selingkuh dengan Veronica kan? Dan Mama bilang, dulu papa dangat mencintainya?" Julio mengangguk. "Iya.""Agak aneh melihat hubungan mereka sekarang. Maksudku Papa dan Veronica seperti dua orang musuh." "Itu karena masalah mereka belakangan ini. Dan mereka sebenarnya ingin bercerai namun dua pihak keluarga gak mengijinkan. Lucu kan? Papa memilih untuk menikahi seorang
"Tidak tentu saja! Dan beraninya kamu datang tanpa diundang seperti ini Veronica! Siapa orang - orang ini?" Oma sontak berdiri dan berbicara dengan keras karena merasa sangat emosional dengan kedatangan Veronica. "Sabarlah Ma, gak perlu marah - marah seperti itu," Veronica terfawa dengan nada menghina. Beberapa laki - laki lain masuk lewat pintu depan selagi Veronica berbicara. Sekarang kurang lebih ada 18 laki - laki yang berada di belakang Veronica. Salah satu di antara mereka yang baru datang memilih berdiri tepat di sebelah Veronica. Pakaiannya agak berbeda dibanding laki - laki yang lain. Dia mengenakan kacamata coklat, topi koboi dan jaket kulit bernuansa 90an. Kehadiran laki - laki itu sontak membuat Fiolina dan Julio melongo. "Billy!?" ucap Julio. "Wah! Betapa terhormatnya aku! Julio Aksara Young masih mengingatku!" ucap Billy. Fiolina mendadak teringat kejadian di gudang yang akan terbakar itu dan mendadak jantungmya menjadi berdebar ketakutan. Julio menyadari ekspres
Air mata Fiolina mengalir deras tanpa bisa dia tahan. Kalau mereka benar - benar menembak Julio hingga mati, maka dia berharap giliran selanjutnya adalah dia agar dia tidak perlu melihat jasad Julio berbaring di sampingnya untuk waktu yang terlalu lama. Lelaki yang menodongkan pistol kepada Julio itu pun menarik pelatuknya. Julio menutup matanya, mungkin inilah caranya bagaimana dia akan mati. Julio sudah pasrah. Detik berikutnya, tanpa diduga oleh siapapun, lelaki yang menodongkan pisau itu justru berbalik ke arah Billy dan menembakkan pistolnya ke kaki Billy. "Arrrgh!" Billy mengerang kesakitan. Veronica terbelalak. Setelah menembak kaki Billy, lelaki itu diserbu oleh serangan dari puluhan anak buah Billy yang lain. Namun dengan sangat cekatan bak aktor film aksi, lelaki itu berkelahi dengan sangat ahli melumpuhkan satu persatu anak buah Billy. Dia memberondongkan tembakan demi tembakan yang melukai para anak buah itu. Dia menghadapi mereka seorang diri sampai akhirnya semu
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart