Suara tembakan menggema di udara, memecah ketenangan taman. Orang-orang yang berada di sana berteriak panik dan berlarian menyelamatkan diri. Di tengah kekacauan itu, Naya yang sedang asyik bermain spontan berlari ke arah Gio dan Laila. Tepat saat itu, sebuah peluru melesat ke arah mereka. Melihat bahaya yang mengancam, Gio tanpa ragu berlari dan memeluk Naya erat, melindungi gadis itu dengan tubuhnya. Seketika, rasa perih menjalar di punggung—timah panas itu menembus tubuh kokohnya. Gio terhuyung, lalu ambruk ke tanah. "Mas Gio! Naya!" suara Laila melengking, penuh kepanikan. Dengan cepat, ia berlari menghampiri Gio yang tergeletak berlumuran da r ah. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah Gio, matanya mulai basah oleh air mata."Mas Gio, bertahan!" Laila menepuk-nepuk pipi pria itu, mencoba menjaga kesadarannya. Sementara itu, beberapa anak buah Gio yang berjaga di sekitar mereka langsung berhamburan mencari si penembak. Salah satu orang kepercayaan Gio segera mendekat
“Dokter, sampai kapan dia akan tetap di ICU?” tanya Laila saat dokter keluar dari ruang ICU. Suaranya bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Pria yang memakai jas outih itu menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Kondisi pasien masih belum stabil. Operasinya memang berjalan lancar, tapi pasien kehilangan banyak darah. Kami masih memantau respons tubuhnya.” Laila mengepalkan tangan, berusaha menahan perasaan yang bergemuruh di dada. “Ini sudah hampir 24 jam… Kenapa dia belum sadar juga?” ucap Laila pelak, nyaris berbisik, tapi lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dokter. Dokter menatapnya penuh empati. “Pasien masih dalam fase pemulihan kritis. Setiap tubuh memiliki waktunya sendiri untuk bangun. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu dan berdoa.” Laila menggigit bi bir, matanya kembali tertuju pada Gio yang masih terbaring diam. Harapan dan ketakutan bercampur dalam pikirannya.***Sebuah rumah mewah bergaya modern berdiri meg
**Dua Hari Setelah Insiden** Sudah dua hari sejak insiden penembakan itu terjadi. Kondisi Gio semakin membaik, meskipun luka tembak di punggungnya masih terasa nyeri sesekali. Setiap kali rasa sakit itu datang, Laila selalu sigap menenangkannya, memastikan Gio tidak terlalu menderita. Siang itu, suasana di dalam ruang VIP rumah sakit terasa tenang. Ruangan yang luas dan nyaman itu dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Di sisi kanan, Laila duduk di kursi kecil di dekat tempat tidur Gio, dengan cekatan mengupas buah untuknya. Sementara itu, Andara duduk di sofa di sisi kiri ruangan, sibuk dengan ponselnya. Awalnya, Gio terpejam, mencoba beristirahat. Namun, suara getaran ponsel di atas meja kecil di samping tempat tidurnya membuatnya langsung membuka mata. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menatap layar. Sebuah pesan masuk dari Jhon. [Jangan sampai polisi terlibat.] balas Gio singkat, sebelum meletakkan kembali ponselnya. Tatapannya kembali menajam, pikirannya penuh dengan
Istanbul, Turki – 15 Tahun yang Lalu"Akan lebih aman jika kita membawa Gio ke Indonesia. Aku gak mau dia dalam bahaya," ujar Zyan, suaranya tenang tetapi penuh ketegasan. Melinda menatap suaminya dengan cemas. "Tapi, Mas ...."Sebelum Melinda bisa menyelesaikan kalimatnya, Zyan langsung memotong. "Kamu dan Gio akan aman jika bersama kakakmu. Di sini terlalu berbahaya. Aku gak mau terjadi sesuatu pada kalian berdua."Ia berjalan mendekat, kedua tangannya menggenggam pundak Melinda, menatap matanya dalam-dalam. "Kamu yakin, Mas?"Zyan mengangguk tegas. "Aku sudah mengatur semuanya. Tiket pesawat dan rumah di Indonesia sudah aku siapkan. Kakakmu sudah tahu rencana ini, mereka akan menjemput kalian di bandara. Aku sendiri yang akan mengantar kalian ke sana. Setelah semua urusan selesai, aku janji akan menyusul."Melinda menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Mas ..., bisakah kau berhenti dari pekerjaan ini? Aku dan Gio membutuhkanmu."Zyan terdiam sejenak, lalu mengusap pipi
Gio terbangun dengan napas memburu. Mimpi buruk itu datang lagi—kenangan pahit 15 tahun lalu yang merenggut semua kebahagiannya. Ia masih bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua orang tuanya meninggal di depan matanya dalam kecelakaan tragis. Bayangan-bayangan itu terus menghantuinya setiap kali ia terlelap. Selama 15 tahun, Gio tidak pernah bisa melupakan malam mengerikan yang menjadikannya yatim piatu. Keringat membasahi tubuhnya. Pendingin udara di kamar ini seakan tak mampu menyejukkan ketakutan yang masih membelenggunya. Saat ia membuka mata, sosok Laila sudah berdiri di sampingnya. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya, sementara tangannya yang lembut mengusap keringat di dahi Gio. "Kamu gak apa-apa, Mas? Ada yang sakit?" tanya Laila dengan nada cemas. Gio hanya diam, menatap wajah orang yang kini menjadi cahaya dalam hidupnya. Bayangan kemesraan kedua orang tuanya kembali berkelebat di pikirannya—bagaimana mereka selalu berusaha melindunginya, bagaimana hidup
"Bimo? Sedang apa kau di sini?" ujar Gio.Dengan wajah mengibah, Bimo berlutut di samping Gio sambil memegang tangan pria itu. "Aku mohon kembalina Laila dan Naya kepadaku."Melihat tindakan mantan suami Laila itu, Gio yang sedang berbaring langsung duduk dan menarik tangannya dari Bimo. "Apa yang kau lakukan?"Bimo berdiri sambil menangis dan memohon pada Gio untuk bisa bersama dengan Laila dan Naya lagi. Namun, Gio tidak bereaksi."Kenapa aku harus mengembalikan mereka padamu?" tanya Gio dengan tatapan sengit."Aku gak bisa hidup tanpa mereka berdua, tolong kembalikan mereka padaku. Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari Laila.""Untuk apa aku melakukannya, Laila sudah lebih dari cukup untukku. Aku tidak perlu mencari orang lain.""Dia milikku!" ujar Bimo dengan suara yang sedikit meninggi."Lalu, kenapa kau menyia-nyiakannya?""Aku gak pernah ngelakuin itu," elak Bimo."Kau sudah menjadi masa lalunya. Biarkan dia hidup bahagian sekarang. Kau sudah memiliki keluarga baru.
"Horreee…," teriak Naya girang sambil melompat-lompat di atas kasur. "Naya, hati-hati," tegur Laila yang baru saja berbalik menuju pintu. Namun, peringatan itu terlambat. Dalam loncatan terakhirnya, kaki kecil Naya terpeleset dari ujung kasur. Tubuhnya hampir terjatuh ke lantai, tetapi sebelum hal itu terjadi, Gio dengan cepat menangkapnya. "Om Gio!" pekik Naya kaget, matanya membulat. Gio menarik napas lega, mendekap Naya erat dalam pelukannya. "Kamu harus lebih hati-hati, Sayang," ucap Gio lembut sambil mengusap punggung gadis kecil itu. Laila, yang hampir saja panik, segera menghampiri mereka dan menghela napas lega. "Mas, Naya bisa jatuh tadi," ujar Laila dengan nada sedikit khawatir. Gio tersenyum tipis. "Iya, tapi untung Om Gio ada di sini buat menangkap Naya, 'kan?" ujar Gio sambil mecubit manjah hidung Naya.Naya menunduk dengan wajah menyesal. "Maaf, Bunda … Om Gio …." Laila mengusap kepala putrinya. "Gak apa-apa, Sayang. Tapi jangan lompat-lompat lagi, ya?" N
"Mau apa lagi Bimo menghubungi?" tanya Gio dengan tatapan tajam.Laila menggigit bibir, jemarinya menggenggam erat ponsel yang baru saja diambil dari tangan Gio. "Aku gak tahu, Mas," jawabnya dengan nada sedikit bergetar. "Gak usah diangkat. Aku tahu dia hanya ingin mengusik kebahagiaanku. Aku sudah tenang saat ini, bersamamu. Aku gak mau dia mengganggu kehidupanku atau pun Naya."Tanpa ragu, Laila menekan tombol matikan panggilan, lalu meletakkan ponsel itu di meja.Gio hanya diam, memperhatikan tindakannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tahu Laila punya masa lalu yang sulit, tapi hatinya tetap terusik.Tiba-tiba, suara ceria Naya memecah ketegangan di antara mereka. "Bunda, Om Gio mau ajak Naya jalan-jalan ke luar negeri!" serunya penuh antusias.Laila menoleh dengan ekspresi bingung. "Ke luar negeri?"Gio menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, "Ayo, menikah."Laila membelalakkan mata. "Mas...?""Lusa, aku harus ke Itali. Ada pekerjaan mendesak di sana. Sebelum pergi, aku
Di pintu keberangkatan internasional, Aminah, Rossa, dan Andara mengantar kepergian Laila dan Gio yang akan terbang ke Turki."Jaga diri baik-baik di sana, ya!" seru Aminah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Bu. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja," balas Laila, tersenyum lembut.Sementara itu, Naya yang berada dalam pelukan Gio tak kalah antusias melambaikan tangan. Wajah gadis kecil itu berseri-seri, matanya berbinar penuh kegembiraan."Bunda, kita liburan ke luar negeri lagi, ya?" tanya Naya penuh semangat.Laila mengangguk, mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Sayang. Ini perjalanan spesial buat kita.""Bro, jangan lupa pulang bawa jagoan buat temen gue gelut," bisik Andara sambil tertawa."Tenang, gue udah bawa jamu yang banyak," balas Gio santai. "Oh iya, nanti aku bawain sesuatu yang spesial buat pernikahan kalian," lanjutnya, melirik Rossa yang tersenyum malu.Setelah berbicara sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam area pemeriksaan. Aminah, Rossa, dan Andara melambaikan
Jhon membungkukkan tubuh saat memasuki ruang makan, di mana Gio dan Laila sedang menikmati sarapan mereka."Semua dokumen sudah siap, Tuan. Hari ini isbat pernikahan Tuan dan Nyonya akan dilakukan di Pengadilan Agama," lapor Jhon dengan sopan.Gio meletakkan sendoknya, lalu menatap Laila sambil menyentuh tangannya. "Sayang, hari ini kita akan meresmikan pernikahan kita. Kamu siap?"Senyum dan binar bahagia terpancar dari wajah Laila. Ia mengangguk mantap."Kabari Ibu dan Andara, kita akan menjemput mereka," lanjut Gio."Baik, Mas."Di ruang sidang Pengadilan Agama, Gio dan Laila duduk berdampingan. Pengacara Gio sudah menyiapkan semua dokumen agar proses berjalan lancar.Setelah mendengar kesaksian mereka, hakim akhirnya mengetuk palu."Dengan ini, pernikahan saudara Gio dan Laila dinyatakan sah secara hukum negara. Buku nikah akan segera diterbitkan."Laila menghela napas lega. Tangannya digenggam erat oleh Gio, seolah meyakinkan bahwa semua ini nyata. Kini mereka telah sah, bukan ha
Laila menatap Gio dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia kini mengerti betapa berat beban yang selama ini dipikul oleh suaminya. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Pasti berat banget kamu bertahan selama ini, ya, Mas? Maaf ... aku sudah marah-marah sama kamu dan gak ngerti perasaan kamu."Gio tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya untuk membelai pipi Laila dengan lembut. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Aku paham, kamu hanya ingin kejujuran dan kepastian. Aku yang salah karena menutupi semuanya darimu," ucapnya lirih.Air mata Laila jatuh tanpa bisa ia tahan. Dengan perlahan, ia melingkarkan tangannya di leher Gio, memeluknya erat seakan ingin menyalurkan seluruh perasaannya. "Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Mas. Aku ingin jadi bagian dari hidupmu, sepenuhnya," bisiknya.Gio membalas pelukan itu lebih erat, membenamkan wajahnya di bahu Laila, menghirup aroma tubuhnya yang selalu membawa ketenangan. "Selama ada kamu di sampingku, semuanya akan baik-baik saja," ucapny
Malam itu, Gio duduk di teras rumah sederhana, menatap langit yang bertabur bintang. Udara segar dari pepohonan di sekitar terasa menyejukkan, diiringi suara jangkrik yang bersahutan. Begitu berbeda dengan suasana rumahnya di kawasan elit. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas berat. Pikirannya dipenuhi semua perkataan Laila. Baru menikah, tapi ia sudah menghadapi ujian besar.Rasa bersalah dan penyesalan menggelayut dalam hatinya. Rahasia yang selama ini ia simpan kini menjadi bumerang dalam rumah tangganya. Ia ingin jujur, tapi di saat yang sama, ia belum siap. Bagaimana jika setelah ia mengungkapkan segalanya, Laila justru semakin membencinya dan benar-benar pergi? Bayangan itu terus menghantuinya.Tiba-tiba, kursi di sebelahnya bergeser. Rossa menariknya dan duduk, menghela napas panjang sebelum berbicara."Capek, ya, Mas?" sapanya mencoba mencairkan suasana.Gio membuka matanya yang sempat terpejam, menoleh ke arah Rossa. "Sedikit," jawabnya singkat."Sampai kapan lu
Gio menangkap bayangan di balik pintu. Seketika matanya menyipit, lalu memberikan isyarat kepada Jhon untuk menghentikan pembicaraan.Ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu.Di luar, Laila tersentak saat melihat suaminya bergerak ke arahnya. Panik, ia segera membalikkan badan, berusaha pergi sebelum ketahuan. Namun, ia kalah cepat. Sebelum sempat melangkah lebih jauh, tangan Gio mencengkeram pergelangannya dengan kuat."Laila," suara Gio terdengar dalam dan berat.Laila menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. Perlahan, ia berbalik, menatap suaminya yang berdiri tegak di depannya."Sejak kapan kamu di sana?" suara Gio terdengar tajam, mencurigai.Sekilas, rasa takut menyelimuti Laila, tetapi ia segera menguasai dirinya. Dengan cepat, ia menepis tangan suaminya, menatapnya penuh selidik."Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?" suaranya bergetar, tetapi nadanya penuh penuntutan.Mata Gio tetap mengunci pandangan istrinya. "Kamu mendengar semuanya?""Jawab aku, Mas!" Laila se
Sudah lebih dari seminggu Laila dan Naya berada di Italia bersama Gio. Selama di sana, mereka tidak hanya menikmati keindahan Verona, tetapi juga menjelajahi berbagai kota dengan pesona yang memukau—Venezia dengan kanal-kanalnya yang romantis, Florence yang penuh seni, hingga pesona pedesaan di Tuscany yang begitu tenang. Bagi Naya, perjalanan ini terasa seperti dongeng. Bocah itu selalu ceria, berlarian di antara bangunan bersejarah, menikmati gelato di bawah sinar matahari sore, dan tertawa lepas saat melihat burung merpati beterbangan di Piazza San Marco. Sementara itu, Laila menyimpan perasaan campur aduk. Ada kebahagiaan saat melihat Naya begitu senang, tetapi juga ada kepedihan di sudut hatinya. Hidup yang tenang seperti ini terasa asing baginya, berbeda jauh dari kenyataan yang selama ini ia jalani. Namun, ia tetap menjaga kebahagiaan di depan Naya. Sesekali ia membagikan momen-momen itu di media sosial, memperlihatkan senyum tulus Naya yang bercahaya dalam setiap foto. Namun
Gio duduk di kursinya, menatap Jhon yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius.“Bagaimana dengan Sintya?” tanyanya datar.Jhon menunduk sedikit sebelum menjawab, “Sesuai perintah, kami memperlakukannya dengan baik. Anda ingin bertemu dengannya, Tuan?”Gio mengangguk tanpa ragu. Jhon pun memberi isyarat agar ia mengikutinya.Saat mereka keluar dari ruang kerja, tanpa sengaja Laila melihat keduanya berjalan melewati ruang tengah, tetapi bukannya masuk, mereka berbelok ke arah lain. Laila mengernyit, memperhatikan langkah mereka yang berhenti di depan sebuah dinding kayu. Namun, bukan sekadar dinding biasa—ada sesuatu yang tersembunyi di sana.Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat Jhon menarik sebuah pajangan di rak, dan tiba-tiba, sebuah pintu tersembunyi terbuka.Laila menahan napas. Tangannya refleks menutup mulutnya agar tidak bersuara. Ketika Gio dan Jhon menghilang di balik pintu itu, ia mendekat perlahan. Tangannya meraba pajangan yang tadi disentuh Jhon, dan dengan
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanya Laila penuh curiga. Gio terdiam. Otaknya berputar cepat, mencari alasan yang tepat agar Laila tidak semakin curiga. "Aku melihat semuanya, Mas." Laila menatap tajam. "Aku melihat Mas dan Jhon keluar rumah bersama beberapa pengawal. Apa yang sebenarnya Mas lakukan? Kenapa baju Mas penuh darah? Siapa Mas sebenarnya?" Gio menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Sayang, dengarkan Mas dulu." Ia mencoba merangkul Laila, tetapi wanita itu menghindar. "Jelaskan, Mas!" "Semalam Mas ada panggilan mendadak. Salah satu karyawan mengalami kecelakaan, jadi Mas harus segera ke Turin." Laila menatapnya tajam, mencoba menangkap kebohongan jika ada. "Kamu gak bohong, 'kan, Mas?" "Tentu, Sayang." "Lalu, darah ini dari mana?" "Mas menolong mereka yang kecelakaan dan harus membawa mereka ke rumah sakit. Maaf Mas gak bilang, Mas takut ganggu tidur kamu." Gio akhirnya berhasil meraih Laila dalam pelukannya. Perempuan itu tidak
"Kalian istirahat aja duluan, Mas masih ada pekerjaan," ujar Gio.Laila, yang sedang menemani Naya di tempat tidur, hanya terdiam. Tadinya ia berpikir malam ini akan menjadi malam pertama yang istimewa bagi mereka, tetapi lagi-lagi Gio tampak tidak peduli. Bukannya bersama istrinya, pria itu justru memilih keluar tanpa banyak bicara.Laila hendak bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Ia takut hal itu hanya akan membuat Gio semakin menjauh. Akhirnya, ia memilih diam dan membiarkan suaminya pergi.Laila menghela napas saat pintu tertutup. Ia menatap wajah putrinya yang mulai terpejam, lalu membelai kepalanya dengan lembut. "Selamat tidur, Sayang," bisiknya pelan.***Di bagian lain vila, yang tersembunyi di balik perpustakaan, Gio dan Jhon berkumpul di ruang taktis yang telah lama ia siapkan. Ruangan itu minim cahaya, hanya diterangi lampu meja dan layar monitor besar yang menampilkan peta elektronik. Beberapa senjata tersusun rapi di rak besi di sudut ruangan, bersama peralatan komunika