Setelah semalaman Bianca tidak sadarkan diri, akhirnya pagi ini ia membuka matanya dan orang pertama yang dia cari adalah sang adik.
"Aku kenapa? Babas mana?" tanya Bianca pada Brisia dan juga ayahnya.
"Tadi malam aku menemukanmu sudah pingsan di bawah tangga," jawab Brisia acuh tak acuh.
"Pingsan?" Gadis itu mengernyit memegang belakang kepalanya yang terasa sakit.
"Babas mana?" tanya Bianca lagi.
Brisia mendelik tidak suka mendengar nama Baskara disebut. "Untuk apa sih masih menanyakan anak pembawa sial itu? Tidak guna."
Mata Bianca melotot, gadis itu tidak suka adiknya disebut sebagai anak pembawa sial. Rasanya sekarang ini ia ingin sekali membungkam mulut kakaknya agar berhenti mengatakan hal yang dapat menyakiti perasaan adiknya.
"Sudah, adik kamu baru saja siuman jangan mengajaknya bertengkar," ucap Nugroho.
"Babas mana Yah?" tanya gadis itu untuk kesekian kalinya.
"Babas di rumah," jawab pria dewasa itu seraya men
"Rain mana sih?" Pemuda itu terus menggerutu seraya celingukan mencari keberadaan sang adik."Kak Dirga," sapa Tia, "lagi nunggu Rain ya?""Iya. Kamu melihatnya tidak?" tanyanya.Setelah menunggu jawaban yang tidak kunjung dia dapatkan dari gadis di depannya itu, Dirga menyadari ada sesuatu yang tidak beres terlebih melihat tingkah Tia yang sedari tadi hanya memainkan ujung rambutnya seperti bingung harus menjawab apa."Hey!" Dirgantara mengibaskan tangannya di depan wajah gadis itu."Eee–ee sebenarnya dari tadi Rain tidak masuk kelas Kak," tuturnya."Hah? Maksudmu adikku bolos?" tanya Dirgantara tampak sekali terkejut dengan penuturan salah satu teman adiknya itu.Gadis itu semakin bingung harus memberi jawaban apa. Di satu sisi Tia yakin kalau Rain bukan tipikal siswi seperti itu, tapi di sisi lain dia melihat sendiri gadis itu ijin untuk pergi ke WC dan tidak kembali lagi sampai jam sekolah berakhir."Hallo," panggil D
Samudra mendongak memandang langit yang tidak secerah tadi pagi."Sepertinya akan turun hujan," ucapnya.Rain ikut mendongakkan kepala dan benar saja tidak lama kemudian air hujan mulai membasahi mereka.Ekspresi gadis itu langsung berubah serta langsung menarik Samudra untuk segera pergi dari sana."Ada apa?" tanya pemuda itu."Tidak apa-apa. Ayo!" balas Rain sembari semakin mempercepat langkahnya.Tidak apa-apa jika dikatakan oleh seorang mahluk yang bernama perempuan bisa seribu arti,setidaknya itu yang pernah Dokter Leon katakan padanya.Jika bisa memilih lebih baik dia bermain teka-teki yang ada di youtube dari pada menebak arti sebenarnya dari perkataan perempuan.Satu hal yang tidak Samudra sadari, bahwa diapun sama saja dengan Rain, selalu mengatakan tidak apa-apa meski keadaannya tidak baik-baik saja.Saking terlalu dipikirkan ia tidak sadar bahwa sekarang ini mereka sudah berteduh di sebuah halte bi
Entah untuk keberapa kalinya gadis itu melihat benda bulat yang terus berputar dan mengeluarkan suara berulang.Tik! Tik! Tik!"Terjadi lagi," katanya dengan helaan napas bosan, kesal dan kecewa."Tapi, kenapa selama ini?" tanyanya entah pada siapa.Binar sudah menunggu Dirgantara selama dua jam, tetapi sampai saat ini pemuda itu belum juga terlihat bahkan tidak membalas pesannya jika benar dia datang terlambat.Padahal gadis itu sudah memutuskan jawaban yang ditanyakan pemuda itu tempo hari. Namun, melihat sikap pemuda itu ia kembali ragu, apakah Dirgantara serius atau justru hanya mempermainkannya?***"Ah, sial! Ini sdah telat banget." Pemuda itu berkendara dengan sangat cepat.Setelah sampai, secepat mungkin ia memparkirkan motornya di sembarang tempat tidak peduli dengan teguran petugas parkir serta beberapa orang yang ada di sana. Karena yang ada dipikirannya sekarang ini hanyalah menemui gadis yang pasti sekaran
Saat Baskara membuka matanya dia terkejut karena tidak berada di kamarnya melainkan disebuah ruangan serba putih yang paling dibencinya. Dia juga baru menyadari bahwa tangannya sudah dipasang infusan."Siapa yang membawaku ke sini? Aku harus pergi dari sini." Pemuda itu langsung mencabut paksa infusannya, tetapi kondisinya masih lemah bahkan untuk sekedar berdiri.Kalau saja seseorang terlambat menangkap tubuhnya yang limbung, mungkin Baskara sudah merasakan dinginnya lantai rumah sakit ini.Baskara mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang menangkapnya. Pupil matanya membesar ketika dia tau siapa orang itu."Ayah," gumamnya. “ini benar Ayah?“Babas bodoh! Tidak mungkin lah,” pemuda itu berdebat dengan pikirannya sendiri."Mau ke mana? Kondisi kamu masih lemah," ucap pria dewasa itu seraya membantu Baskara kembali ke ranjangnya.Pemuda itu masih saja tergeming seraya terus menatap wajah ayahnya tanpa berkedip. Wa
Rain menatap langit malam dari balik jendela kamar. Membayangkan saat pemuda itu meyakinkannya bahwa hujan tidaklah buruk. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan tertulis nama Samudra di sana. Gadis itu segera mengangkatnya seraya membenarkan posisi rambutnya, padahal tidak saling bertatap muka. "Hallo," ucap Rain. "Sudah tidur?" tanya Samudra di sebrang sana. Gadis itu hanya mendengkus seraya menutup jendela kamarnya."Belumlah. Kalau sudah tidur masa bisa angkat telepon." "Haha!"Gadis itu menyunggingkan bibirnya ketika mendengar pemuda itu tertawa. "Bisa saja kan saat aku menelponmu kamu langsung bangun," ujar Samudra mulai menggodanya. "Mohon maaf, kenapa Bapak inigeerbanget, ya?" balas Rain meski sekuat mungkin ia menahan agar tidak tertawa. Mereka terus berbicara tanpa henti, sampai pemuda itu memintanya membuka jendela kamarnya. Dengan perasaan berdebar Rain meng
Wira dan Gita merasa keheranan denganmoodanak-anaknya hari ini. Putra sulungnya terlihat berseri-seri sedangkan putri bungsunya terlihat murung dan gelisah."Rain," Panggil wanita itu dengan lembut seraya menyentuh kedua tangan putri bungsunya.Gadis itu mengangkat kepalanya sebagai respon lalu kembali menatap ponselnya, mengabaikan makanan di depannya."Masakan Mama tidak enak ya, Sayang?" tanya Gita memasang raut sedih.Rain langsung menggeleng dan memakannya. "Mama bercanda nih, orang ini enak banget. ""Maafkan Rain, Ma." Gadis itu merasa bersalah karena sudah mengabaikan masakan yang dibuat ibunya."Rain tidak bermaksud mengabaikan masakan Mama, tapi perut Rain lagi kurang baik," alibinya."Astagfirullah, kenapa tidak bilang dari tadi kalau perut kamu tidak enak? Kalau tahu gitu Mama belikan obat," kata Gita dengan sifat keibuannya. Terlihat sekali wanita paruh bay aitu menghkawatirkan anak bungsunya.
Setelah selesai dengan hukuman pertama, kini mereka sudah berada di lapangan untuk melaksankan hukuman kedua.“Sam, kamu yakin?” tanya Rain yang terlihat sangat cemas ketika mereka akan memulai berlari mengelilingi lapangan. Sedangkan pemuda itu hanya menaikan sebelah alisnya, bingung dengan pertanyaannya.“Kabur saja yuk!” Ajak gadis itu seraya menarik-narik tangan Samudra untuk pergi dari sana.“Apa? Ada apa denganmu? Kenapa kamu bersikap sangat aneh?” tanya pemuda itu semakin dibuat bingung dengan tingkah anehnya.“Eeuu … tidak apa-apa, hanya saja …,” ucap Rain bingung untuk melanjutkan kalimatnya. Mana mungkin kan ia bilang kalau dia merasa khawatir akan keadaan pemuda itu? Sama saja dengan bunuh diri.“Hanya saja?” tanya Samudra menunggu Rain menyelesaikan ucapannya.“Hanya saja … hanya saja aku lapar. Iya, itu,” jawab gadis itu membuat alis Sam
“Sarah, berhenti!” Pinta Samudra meninggikan suaranya seraya mengehempaskan tangannya yang masih di genggam oleh gadis itu. Kini mereka sedang berada di atas rooftop sekolah. Sarah membawanya ke sini agar bisa leluasa berbicara dengan sepupunya itu tanpa gangguan dari siapapun. “Kemari, lukamu harus segera di obati,” katanya tidak marah sama sekali ketika pemuda itu mengehempaskan tangannya dan sedikit membentaknya. “Tahan ya, ini akan terasa sedikit perih.” Lanjut gadis itu seraya akan menempelkan sapu tangannya untuk membersihkan darah di sudut bibir Samudra yang terluka. Namun, sebelum sapu tangan itu menyentuh permukaan kulitnya, tangan pemuda itu lebih dulu mengehentikannya dan kemudian menjauhkannya. “Sa, aku mohon stop bersikap berlebihan seperti ini,” pintanya merasa risih dengan perlakuan Sarah yang terlalu memperhatikan dan menjaganya. “Dan kamu stop membuatku khawatir.” Balas gadis itu kembali dengan pekerjaannya yang sempat
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut