"Arum pikirkan nanti, Bu."--Malam hari.Aku membicarakan semua itu dengan Bunda dan Ayah, sementara Nadia tengah pergi entah ke mana. Reaksi Ayah dan Bunda benar-benar di luar dugaanku. "Kamu, mengajukan gugatan cerai, Rum?" tanya Bunda. "Iya, Bun. Apa Bunda dan Ayah akan menghalangi?" Bunda dan Ayah saling memandang, kemudian tersenyum. "Kami takkan menghalangi. Ini rumah tanggamu, kamu yang menjalani. Pesan Ayah dan Bunda, jangan terlalu gegabah. Karena pada dasarnya, Allah membenci perceraian." "Pernikahan ini dimulai dengan niat yang tidak baik. Arumi khawatir, akan mendatangkan keburukan selama kami melangsungkan rumah tangga ini." "Apa Haris setuju?" Aku menggeleng. Bahkan tadi di rumah pun, ia marah karena aku bersikeras meminta cerai darinya. "Ayah dan Bunda cuma bisa mendo'akan yang terbaik untuk semua, terutama untuk kamu, Nak. Selagi kamu senang, bahagia, dan nyaman, Bunda takkan melarang." Aku mengangguk. Pernikahan ini, memang harus diakhiri. Menyakitkan memang
"Mas, kamu ngapain?" tanyaku saat melihat Mas Haris tengah bersujud di belakangku. "Tolong, jangan ceraikan aku, Rum. Kita bisa memulainya lagi dari awal. Memang salahku yang tanpa hati berniat membalaskan dendam padamu. Tapi percaya lah, Rum. Di hatiku cuma ada kamu seorang sekarang!" ucap Mas Haris mengiba."Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Sudah tidak bisa ditolerir dan juga diganggu gugat lagi. Sebuah hubungan yang dimulai dengan niat yang buruk, tak akan bisa berlangsung lama."Mas Haris menangis, sementara aku berjalan meninggalkannya. Biar lah, tak usah kupedulikan. Dia laki-laki. Bukankah katanya kalau laki-laki bisa dengan mudahnya berpindah hati? Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu bersama Rumi, Mas.Aku pun melangkah menuju halaman rumah Bunda. Kulihat wanita itu merentangkan nyawanya, beliau memasang wajah sendu. "Selamat datang kembali, anakku," ucap Bunda, dengan tangis tertahan."Bunda." Aku mendekatkan diri pada wanita yang sudah melahirkanku itu. Air mata yang s
"Tadi jam sepuluh, Ayah suruh Haris buat pulang. Kami gak tega liat dia di depan rumah terus. Tetangga juga pada berkerumun karena kaget mendengar teriakan Haris. Bunda, gak tega lihat dia begitu. Tapi, Bunda lebih gak tega lagi melihat anak perempuan Bunda hidup bersama bayang masa lalu suaminya. Kamu yakin sudah ikhlas, Rum?" tanya Bunda. Untuk sesaat aku terdiam. Ikhlas? Sesuatu yang sangat sulit kugapai saat ini. Aku terpaksa mengangguk, karena tak ingin melihat Bunda kepikiran. "Sabar. Akan ada pelangi setelah hujan," ucap Bunda. "Aamiin." -Pagi hari. "Haris tadi nitip kunci, sama nafkah buat kamu," ucap Bunda ketika aku keluar dari kamar. "Kenapa Bunda terima uangnya? Harusnya kasihkan saja ke dia." "Sudah, tapi dia maksa." Aku mengangguk, lalu masuk lagi ke kamar untuk menaruh benda tadi, sekaligus mengecek amplopnya. Ternyata, selain uang juga ada surat di dalamnya.[Dear, Arumi Putri Nur Handayani. Aku tak salah menyebut nama, kan? Hehe. Aku minta maaf atas semua k
"Jodoh tak akan ke mana, kita pasti akan dipertemukan kembali," ucap Mas Haris yang membuatku mengangguk. Benar, jodoh tak akan ke mana. Aku pun berbalik, lalu bersama Nadia melangkah menuju mobil. Setiap langkah, tak hentinya aku beristighfar. Sekarang, status kami sudah lain. Aku dan dia, sudah beda jalan. Bukan karena membenci, namun karena mencintai. Miris. Nadia menggandeng tanganku, ia terus menguatkan hingga akhirnya kami sampai di mobil dan pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku melihat beberapa tetangga memperhatikanku. Wajar, mereka pasti masih penasaran kenapa Mas Haris di luar rumah, saat itu. Bunda memelukku. Menguatkan dan mengatakan bahwa akan ada kebahagiaan setelah ini. Aku mengangguk seraya meng-aamiinkan. Ah, Bunda. Beruntungnya aku memiliki orang tua sepertimu dan Ayah. Aku masuk ke dalam kamar. Di kamar, aku menangis lagi. Ah, padahal aku sudah janji untuk tak mengeluarkan air mata. Namun jika begini, rasanya sangat sakit.Allahu Rabbi... --Esok hari. Aku b
Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa? Masa iya kujawab jika aku adalah calon istri Mas Haris? Apa kata mereka nantinya? Duh, mentalku kena. Dasar ibu-ibu nggak ada kerjaan. Setiap hari pemandangan yang kulihat adalah Mas Haris yang seperti orang tak memiliki tujuan hidup. Kegiatannya selalu kerja, pulang, mandi, makan, salat. Ia semakin mengabaikanku. "Mas, kenapa kamu berubah?" tanyaku saat Mas Haris tengah duduk di teras, pandangannya lurus menatap ke bintang dan bulan yang ada di langit. "Siapa yang berubah, Rum?" tanya Mas Haris sambil mendorong kursi rodaku. "Kamu sekarang menjadi pendiam. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu, kamu bahkan selalu-""Dari waktu ke waktu, tumbuhan yang segar pun bisa berubah menjadi layu lalu mengering. Semua manusia, nggak mungkin sama sifat dan sikapnya dari waktu ke waktu." "Begitupun perasaanmu sama aku?" tanyaku pada Mas Haris. "Nggak. Aku masih sayang sama kamu." "Sebagai?" Lama Mas Haris terdiam, kemudian tersenyum dan mengajakku masuk
Aku mengambil ponsel, lalu mencari nomor seseorang di masa lampau. Setelah dapat, segera kukirim pesan padanya.[Oke. Tapi sekarang sudah beda harga.] [Sip.]Aku tersenyum, lalu memasukkan ponsel ke saku celana lagi, dan membantu Ibu memasak. Aku, tak pernah seumur hidupku tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika aku sudah menginginkan sesuatu, aku pasti akan mendapatkannya. Siang hari. Aku sedang menyiram bunga kesukaan Ibu di halaman, saat kulihat Gina lewat. Gina, satu-satunya teman perempuan Mas Haris. Aku sangat tak suka dengannya. Perempuan yang selalu bisa membuat Mas Haris menolak ajakanku dengan alasan pertemanan. Meski kami tak pernah bertemu, tapi beberapa kali aku pernah melihat wajahnya sehingga dengan mudah mengenali."Gina!" teriakku. Gina menoleh, lalu menunjuk dirinya sendiri. Ia pun mendekat, mungkin tak menyangka jika aku memang mengenalinya. "Maaf, Mbak, panggil saya?" "Iya, nama kamu Gina, kan?""Oh, iya. Mbak yang namanya Arumi juga kan? Yang saudara jauhn
"Lelaki yang mana, Bu?" "Itu..." Aku melihat ke depan. Saat sampai, aku sedikit terkejut. Kenapa dia masih di sini? "Rumi nggak tahu, Bu. Jadi takut, sebaiknya kita tutup saja pintunya. Daripada dia berbuat yang enggak-enggak. Apalagi belakangan ini Rumi mendengar banyak sekali kejahatan yang merajalela." "Iya kah? Waduh, Ibu takut juga." Ibu pun menutup pintu dan jendela, lalu duduk di sofa sampai lelaki itu pergi. Maafkan Rumi, Bu, Rumi nggak bermaksud untuk berbohong, bathinku. Ibu menghela napas lega saat lelaki itu pergi, lalu mengelus tanganku. "Ibu takut kamu kenapa-napa, apalagi tadi Ibu lihat, kamu habis dari luar." "Ibu tahu?" tanyaku sedikit terkejut. Bagaimana jika Ibu tahu kalau aku memesan air itu? "Iya. Kan Ibu melihat kamu di pintu mau masuk. Sementara lelaki itu berdiri tak jauh dari kamu. Ya udah, Ibu mau baring-baring dulu di kamar. Capek." Aku mengangguk. Setelah Ibu masuk kamar, aku membuang napas lega. Hampir saja. Andai aku mengobrol dulu dengannya, bu
Aku berbalik menuju mobil, lalu menatap Arum yang sedang memakan rujak. Entah apa yang Kinos katakan, hingga wanita itu tertawa begitu lebar. Apakah kamu sudah melupakan aku, Rum? Apa kamu, sudah berhasil move on dan memilih Kinos? Apa kita tak bisa bersama? Kenapa, Rum? Kenapa kamu tak bisa menungguku? Kunyalakan mobil, lalu melaju melewatinya. Entah karena sengaja atau tidak, tepat mobilmu melewatinya, Arum menoleh dan memeperhatikan. Dia, tak mungkin tahu aku di dalam sini, kan? Mobil kulajukan ke tukang buah. Rumi mengirim pesan untuk membelikan buah sebagai cuci mulut setelah makan. Ah, Rumi. Kenapa perasaan ini habis tak bersisa untukmu? Seakan aku tak pernah mencintaimu, padahal dulu kami melewati hari dengan selalu bersama-sama. "Jeruknya sekilo, sama anggurnya dua kilo, ya, Pak," ucapku. "Ini, Pak." "Berapa?""Dua ratus lima belas ribu." Kuulurkan uang dan membawa buah itu ke dalam mobil. Pantas mahal, ternyata anggurnya kualitas super. Besarnya saja melebihi jempolku
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm