Kutatap dua bola mata Mas Haris. Ia masih diam membeku, mungkin tak menyangka jika aku akan menantangnya seperti ini. "Mas? Kenapa diam saja?""A-aku...""Kenapa? Apa sekarang kamu ragu, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu, tapi..." "Lalu?" tanyaku."Aku..." "Intinya ini semua memang salahku, kan? Meski yang menabrak mantan pacarku, tapi aku ada di dalam mobil yang sama. Maka, aku takkan menceritakan pada siapapun tentang ini semua, termasuk Bunda. Jadi, kamu bebas membalaskan dendammu padaku." Aku berdiri, hendak masuk ke dalam kamar. Rasanya lelah sekali badan ini. Harus menghadapi fakta yang berkali-kali membuat tubuhku bergetar. "Aku, dengar semuanya tadi," ucap Mas Haris sambil mencekal tanganku. "Dengar apa?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Semua yang sudah diceritakan Bunda tadi. Aku dengar semua. Aku hendak masuk ke rumah Bunda, tapi urung karena mendengar kalian tengah membicarakan hal itu," ucapnya."Lalu?" Mas Haris menatapku. Yang membuatku terkejut, matanya memerah. Dia
Kuhela napas, lalu membuka pintu karena kamar mandi terletak di dekat dapur. Aku harus melaksanakan salat magrib yang sebentar lagi waktunya akan habis. "Rum." Kulihat Mas Haris tengah duduk di meja makan. Wajahnya memerah, namun sekuat mungkin kutahan untuk tak memedulikannya. Aku berada di kebimbangan. Antara cinta dan kecewa. "Aku mau salat, habis itu mau tidur. Jangan ganggu dulu, Mas. Aku butuh waktu." Kali ini, Mas Haris diam tak membantah. Ia mungkin menyetujui permintaanku barusan. Bagus lah. --Pagi hari.Aku terbangun, dan sedikit terkejut melihat Mas Haris sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan memegang sajadah dan juga memakai baju koko. Ini kali pertama, aku melihatnya mau salat tanpa harus aku bangunkan terlebih dahulu. "Mau salat bareng?" tawarnya.Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Setelah melaksanakan salat subuh, Mas Haris menawarkan untuk membuatkan sarapan. Apa ini? Kenapa ia berlebihan sekali? "Cukup aktingnya, Mas.""Siapa yang aktin
"Ke-kenapa, Mas?" tanyaku, meski dalam hati sudah bisa menebak alasan apa yang membuatnya begitu bahagia. "Arum, Rumi sadar." Tiba-tiba tubuhku oleng. Aku mundur satu langkah ke belakang hingga memegangi kursi makan. Rumi, sudah sadar? Lalu, bagaimana ke depannya? "Oh, ya?" Mas Haris mengangguk. "Aku akan ke Kota dulu." Aku menatapnya. Baru saja ia mengatakan cinta padaku, namun kini sudah akan pergi menemui tunangannya di masa lalu? Bagaimana aku bisa yakin dengan cintamu, Mas? "Aku ikut," ucapku. "Ikut? Kenapa?" "Kok kenapa? Bukannya aku istrimu?" "Iya, tapi nanti Rumi..." "Bukan kah katamu, kamu mencintaiku? Apa sekarang cinta itu tiba-tiba lenyap karena kamu mendengar Rumi telah sadar?" tanyaku. "Bukan begitu maksudku, tapi-" "Aku ikut." Aku pun masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan menyiapkan pakaian ganti. Karena aku memiliki firasat, Mas Haris akan di sana selama beberapa hari hingga akhirnya nanti harus kembali bekerja. Dalam perjalanan, kami sama-sama diam
Mas Haris membelai rambutku. "Kita pikirkan itu nanti."Semakin lama aku di sini, semakin overthinking. Membayangkan yang tidak-tidak, sampai rasanya ingin berteriak. "Kita pulang saja, Rum." "Tapi Rumi?" "Nggak papa, ada dokter." Aku pun mengangguk, tepat saat aku berdiri dan hendak berbalik, tiba-tiba Mas Haris terdiam. Tangan yang menggenggam tanganku, terasa bergetar. "Mas, kamu kenapa?" Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Haris berbalik menuju ranjang Arumi. Aku hampir saja terlonjak melihat tangan kiri wanita itu, menggenggam tangan Mas Haris. Perlahan, mata wanita itu membuka. Hingga akhirnya sempurna terbuka. Mas Haris berteriak memanggil dokter yang untungnya masih di sini. Hingga akhirnya Arumi dinyatakan sadar dari Koma. Aku terduduk di sofa dekat ranjang Arumi. Ada perasaan semacam lega, takut, dan juga malu di hadapannya. Wanita itu, tersenyum pada Mas Haris. Cantik. Dan aku, begitu cemburu. Allahu Rabbi ... Masih pantas kah Hamba untuk merasakan perasaan semacam i
Tapi bohong! Aku malah berdiri di depan kamar. Menyaksikan dua insan itu tengah saling menatap satu sama lain. "Kenapa, Mas?" "Nggak papa, istirahat lah. Aku mau keluar dulu." Aku langsung berbalik saat Mas Haris hendak keluar, lalu menyandarkan diri pada dinding kamar ini. "Aku pamit pulang dulu. Aku bisa saja, langsung pulang. Tapi, aku masih menghormatimu sebagai suamiku." "Maaf, Rum," ucap Mas Haris sambil memegang tanganku. "Tak apa, selesaikan urusanmu di sini," ucapku sambil menatap ponsel. Sedari tadi Bunda menelepon. Mungkin karena kami tak ada di rumah. "Jangan pergi." "Bunda sudah nelepon." "Tapi kamu istriku, Rum."Aku hanya tersenyum, kemudian membenarkan letak tas dan keluar sambil memesan ojek online. Mas Haris membuntutiku sampai ke luar, hingga tiba-tiba... "Aaaaaa!" Aku dan Mas Haris segera masuk. Di sana sudah ada Reni dan Maria. Pelan, tangan Arumi membuka selimut yang satu lagi. Ia bertambah histeris karena melihat sebelah kakinya tak ada. Aku memejamk
"Nggak. Sudah, jangan banyak pikiran. Aku ada di sini," jawab Mas Haris. "Dari semalam, aku bertanya-tanya. Dia, siapa, Mas?" tanya Rumi, sambil menatapku. Mas Haris menarikku hingga aku berdiri di sampingnya. Detak jantungku berdetak lebih kencang, Mas Haris akan memperkenalkanku pada Arumi?"Kenalkan, ini Arumi." "Wah, nama kita sama?" tanyanya sambil berbinar. Seolah lupa dengan pertanyaannya pada Mas Haris. Kuakui, lelaki itu mahir sekali mengalihkan pembicaraan. Mas Haris menatapku dengan memohon, dan aku tahu arti tatapannya itu. "Iya, nama kita sama." "Jadi, hubungan kalian apa?" tanya Rumi, lagi. "Kami..." Mas Haris malah menatapku. Kuhela napas panjang, sabar, Rum. Sabar. "Aku adalah sepupunya Mas Haris, dari pihak ayahnya iya," ucapku. --"Kamu harus beri tahu Ibu, Mas. Bagaimana pun, lusa kamu sudah mulai masuk kerja," ucapku sambil menyantap bakso di depan rumah sakit. Arumi baru saja minum obat, dan sekarang tengah tertidur. "Aku, cuma belum siap aja, Rum. Bagai
"Anda siapa, megang-megang istri saya?" tanya Mas Haris pada Kinos. "Istri? Kamu, sudah menikah, Rum?" Aku mengangguk, Mas Haris menatap tak suka pada lelaki itu. Apakah dia lupa wajah Kinos? "Mas, dia Kinos. Mantan pacarku." Mas Haris terdiam, mungkin otaknya tengah berpikir keras. Setelah beberapa menit, umpatan keluar dari mulutnya. Dengan penuh amarah, dia menarik tubuh Kinos masuk dan di hadapan Rumi, ia hentakkan hingga Kinos menjauh beberapa langkah. "Lihat hasil perbuatanmu!" teriak Mas Haris. Aku berusaha menenangkannya, karena ini adalah rumah sakit. Kinos terdiam. Matanya membeliak melihat tangan dan kaki Rumi yang tak lagi sempurna. Mungkin ia masih bingung dengan maksud Mas Haris. "Dia, korban kecelakaan tiga tahun lalu. Yang keluarganya, dikasih uang oleh keluargamu," ucapku. Sementara Rumi bingung sambil menatap kami secara bergantian. "Mas, ada apa ini? Kenapa kamu narik-narik orang masuk?" tanya Rumi keheranan. "Dia, orang yang telah menabrakmu, Rum," ucap Ma
POV HARIS "Katamu, dia saudaramu, Mas. Kenapa sepertinya kamu mengkhawatirkannya?" tanya Rumi saat beberapa kali aku menoleh ke arah pintu, berharap Arum segera datang. Rasanya hati tak tenang, jika ia berduaan dengan mantannya. Ada luka di hati, dan terasa seperti terbakar. "Ya dia kan pergi sama orang yang sudah mencelakaimu, Rum. Aku takut saja, bagaimana pun dia saudaraku," kataku beralasan. "Kamu nggak bisa, cuma merhatiin aku aja? Apa, karena keadaanmu seperti ini sekarang, Mas?" tanya Arum. "Ssst! Jangan su'udzon. Aku tak pernah berpikir seperti itu. Nanti malam, aku akan menghubungi Ibu supaya menemanimu di sini dulu. Kamu nggak papa, kan, kalau kutinggal dulu?" tanyaku. "Nggak papa. Kan ada Arum?" "Masalahnya, dia juga ikut pulang." "Kenapa?" "Besok kan hari senin, Rum. Aku gak enak sudah merepotkannya dua hari ini." "Ah, iya juga. Aku minta maaf sudah merepotkan kalian, ya." "Nggak papa," ucapku sambil mengelus rambutnya, tepat saat Arum datang bersama lelaki bena
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm