Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 32"Astaghfirullah hal adzim, Ibu!" teriakku. Tubuh Ibu sudah terlentang di lantai di samping motorku, dan terlihat jika tangan Ibu memegang dadanya. "Sa–kit," rintih Ibu."Allahuakbar, Ibu!" Mas Adit langsung berbalik dan meraih tubuh Ibu. Pun denganku yang langsung berputar dan mendekat. "Ibu …!" pekik Mbak Ani. Dia langsung bersimpuh di samping tubuh Ibu. "Mas, ayo bawa Ibu ke rumah sakit!" "Tunggu di sini, aku pinjam mobil Pak Aziz dulu," sahut Mas Adit. Mas Adit kemudian berdiri dan setelahnya berlari keluar. "A–ni, da–da ibu sa–kit," rintih Ibu lagi. "I–ya, Bu … tahan sebentar, ya … Adit lagi pinjam mobil buat bawa Ibu ke rumah sakit," jawab Mbak Ani."Bu, yang kuat, ya, sebentar lagi Mas Adit datang," ucapku."Heh, Ai! Pokoknya, kalau sampai ada apa-apa sama Ibu, kamu harus tanggung jawab!""Loh, kenapa jadi menyalahkan Ai?""Tentu saja, kamu yang sudah buat Ibu jadi seperti ini! Gara-gara kamu ngajakin Adit pindah, Ibu jadi
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 33Lanjut, Mas Adit bertanya pada kelas di bawahnya itu pun masih tergolong lumayan jika harus menempati kamar itu."Bu, kelas 1 saja ya, nanti jadi Ibu ada temennya," bujuk Mas Adit. Aku yakin sekali jika Mas Adit keberatan soal biayanya."Nggak, Dit. Apa kamu mau sakit ibu tambah parah?" tolak Ibu."Dit, sudahlah. Uang itu bisa dicari tapi kesehatan Ibu yang utama. Kamu mau Ibu semakin parah sakitnya?" seru Mbak Ani. Mas Adit menghela napas, ia pun kembali menemui perawat."Kelas VIP, Sus," ucap Mas Adit. Akhirnya Mas Adit tunduk dengan keinginan Ibu. Sekarang, bagaimana Mas Adit mendapatkan uang untuk membiayai perawatan Ibu?Hampir tengah malam, Ibu dipindahkan ke ruangan, sedangkan aku diantar Mas Adit pulang bersama Dena. Tidak mungkin juga buat Dena menginap di rumah sakit. Walaupun ruangan yang ibu tempati cukup luas tapi tidak baik bagi anak-anak untuk berlama-lama di rumah sakit."Dek, Mas ke rumah sakit lagi, ya … nggak apa-ap
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 34"Dek, motor kamu dijual ya, buat bayar rumah sakit ibu."Apa-apaan Mas Adit, kenapa harus menjual motorku? Aku menatap suamiku tajam, masih tidak habis pikir dengan apa yang yang dimintanya. Motor ini adalah motorku. Tidak ada satu rupiah pun uang Mas Adit berada di motor ini. Sebelum menikah aku sudah mempunyai motor ini. Kalau harus menjual motor ini, tentu saja aku tidak rela. Enak saja kalau minta. Bukannya aku tidak mau menolong, tapi ada alasan sendiri kenapa aku menolak."Maaf, Mas, nggak boleh!" jawabku tegas. "Dek, kamu nggak kasihan sama Mas? Mas sudah pontang panting seharian cari pinjaman tapi belum dapat. Hanya ini satu-satunya jalan untuk biaya rumah sakit Ibu," iba Mas Adit."Mas, kamu nggak kasihan sama aku? Ini motorku, satu-satunya benda yang bisa aku gunakan untuk bekerja. Kalau dijual aku harus bagaimana?" jawab dan tanyaku balik sama Mas Adit. Sekarang aku ingin tahu, apa jawaban darinya."Dek … jarak ke sekolah,
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 35Dua juta itu yang yang cukup besar untukku, jarang-jarang aku bisa punya uang sebanyak itu. Terakhir adalah waktu lebaran. Saat menerima uang THR dari Mas Adit. "Aku habis jual cincin simpanan," jawabku bohong."Cincin tabunganmu maksudnya?""Iya.""Nggak apa-apa kalau uangnya dipakai?""Daripada motorku yang dijual, mending uang itu aku kasih. Walaupun aku jadi nggak punya simpanan lagi.""Kalau Mas punya uang nanti Mas ganti, Dek. Mas terima uang ini, ya, nanti Mas bawa ke rumah sakit."Aku bisa melihat raut wajah yang lebih berbinar dari Mas Adit. Berbeda sekali dengan tadi, mungkin saat ini sudah sedikit lega bisa membayar DP untuk biaya rumah sakit ibu, walaupun nantinya ada kebingungan lagi setelahnya. Ya, dua juta hanya untuk DP belum ketahuan berapa total yang harus dibayar. Hanya tinggal menunggu waktu sampai Ibu sembuh dan pulang dari rumah sakit. "Pak Imam, maaf banget nggak jadi jual motor," kata suamiku pada laki-laki ya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 36Seorang laki-laki dengan seragam ojek online berwarna hijau berdiri tepat di depan pintu."Iya, saya sendiri. Ada apa ya?""Ini ada kiriman makanan. Mohon diterima." Aku mengernyit, bingung dengan apa yang disampaikan laki-laki di depanku."Makanan? Dari siapa?""Di sini tertulis Zivanna," jawabnya. Mas Reza? Dia yang mengirimkan makanan? Aku segera meraih makanan yang masih terbungkus dan membawanya masuk. Baru saja akan duduk, pintu kembali di ketuk. Kali ini, ada tiga orang yang memakai pakaian yang sama dengan kurir makanan yang tadi, dan masing-masing dari mereka juga menyerahkan makanan padaku. Apa-apaan ini Mas Reza? Kenapa kirim makanan banyak banget? Heran aku dibuat oleh kelakuan dari Mas Reza. Saat ini di atas meja sudah ada sekitar enam bungkus makanan yang belum aku ketahui isinya apa. Ting Aku meraih ponselku yang berbunyi ketika ada pesan.[ Selamat makan, bumil … satenya aku ganti. Jangan ngambek, nggak jadi kelapara
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 37Aku hampir tertawa mendengar ucapan dari Bunda Izza. Berbeda dengan Mas Reza yang mukanya sudah memerah. Sedangkan ibu-ibu lain yang berada di belakang Bunda Izza saling berbisik, matanya melirik pada Mas Reza. Entah mereka membicarakan apa."Saya mau menemui teman saya, dia dokter di sini. Kebetulan juga ketemu sama Bu Ai," jawab Mas Reza. "Oh, begitu. Jadi bukan karena hatinya bertautan?" celetuk Bu Eni disambut tawa dari ibu-ibu yang lain. Pun denganku yang tidak bisa menahannya. Akan tetapi justru sekarang Bunda Izza terlihat tidak suka dengan omongan dari Bu Eni."Kalau begitu, saya permisi dulu. Mari semuanya," pamit Mas Reza."Tapi Papa Zi …." Cegah Bunda Izza, tapi sayangnya tidak digubris oleh Mas Reza. Jangankan digubris menoleh saja tidak.Setelah kepergian ibu-ibu, aku kemudian masuk kembali ke ruangan ibu."Sepertinya Ibu sudah lebih sehat, mungkin besok sudah boleh pulang, ya, Bu?" "Siapa yang bilang? Ibu itu berusaha u
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 38"Kalau begitu, pinjam sama ibu kamu saja gimana? Waktu itu, kan, ibu kamu pakai gelang. Kalau dijual mungkin bisa nutup biaya rumah sakit Ibu.""Enak saja! Ibu kamu yang bergaya kenapa Ibu aku yang berkorban! Keterlaluan kamu, Mas!" Aku sudah tidak mengerti dengan jalan pikiran dari Mas Adit. Bisa-bisanya justru teringat dengan gelang ibuku, bukannya gelang ibunya saja. "Dek, Mas sudah berusaha untuk meminta ibu menjual perhiasannya, tapi tidak boleh. Kalau boleh, Mas tidak akan kebingungan seperti ini," jelasnya lagi."Kalau nggak boleh carilah alternatif lain. Bukan justru mengorbankan orang lain. Gimana, sih, mikirnya?" sungutku masih tidak percaya. "Dek, apa Ibu dianggap orang lain bagimu?" tanya Mas Adit lirih. "Maksudnya apa, Mas? Apa selama ini aku kurang berbakti pada Ibu? Apa selama ini aku kurang berkorban pada Ibu? Apa selama ini yang telah aku lakukan kurang? Atau seperti apa lagi yang Mas maksud?" "Ah, nggak taulah! M
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 39"Apa kamu bilang, Ai? Kamu samakan ibu sama bocah? Dasar nggak punya sopan santun!" hardik Ibu. Ibu yang duduk di samping kursi kemudi bahkan sampai memutar badannya dan melihatku yang duduk di kursi penumpang di bagian tengah bersama Mbak Ani dan juga Dena."Bu, sabar jangan emosi, ingat jantung Ibu," ucap Mas Adit menengahi."Istrimu itu, loh, Dit aslinya yang buat jantung ibu jadi sakit. Jadi mantu nggak pernah nurut, sukanya bantah sama racuni pikiran kamu," sahut Ibu."Iya, maafin Ai, ya, Bu. Sekarang Ibu mau ke mall, kan? Adit anterin tapi dengan syarat jangan kecapekan.""Nah, gitu, dong dari tadi … apa, sih susahnya tinggal bilang iya?" Aku menggelengkan kepala, dengan ucapan Mas Adit juga Ibu, yang satu keras yang satu lembek. Cocok memang mereka. Coba kalau suamiku tegas nggak akan begini jadinya.Sampai di parkiran basemen mall, segera kami turun. Aku tetap menggandeng tangan Dena. Jangan sampai dia terlepas di tempat yang
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta