Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 40"Kamu beli yang lebih murah aja, ya … lagian kamu sudah punya, kan?""Kamu jahat, Mas!" Setelah aku mengatakan, aku berbalik dan keluar dari toko bersama Dena. Setetes bulir bening sudah jatuh di pipi saat ini, buru-buru aku menghapusnya sebelum ada orang lain yang melihat. Melewati beberapa toko, aku terus berjalan. Hingga akhirnya tangan Dena terlepas dari gandengan. Berbalik, aku melihat gadis itu berdiri terpaku di depan sebuah toko boneka. Tatapannya tertuju pada boneka beruang berwarna pink yang dipajang di etalase. "Ada apa, Dena?""Bonekanya bagus, Tante … mirip yang ada di rumah Zivanna," jawab Dena."Dena mau?" tanyaku. Dena mengangguk, kemudian dia berkata, "Tapi mama pasti nggak akan mau belikan bonekanya." Terdengar nada kecewa dari suaranya, raut wajahnya juga terlihat sedih. "Ayo, Tante belikan.""Beneran?" tanya Dena tak percaya. Aku mengangguk. Wajah yang tadinya terlihat sedih kini berubah menjadi riang. Berdua
Nama Mantan di Buku Pendaftaran SiswaBab 41"Mau pastiin kamu datang cek kandungan," jawabnya, "ini, minum dulu pasti di jalan kamu haus."Sebotol air mineral diserahkan Mas Reza padaku. Aku kemudian duduk dan meminumnya. "Ayo, aku antar. Apa mau pakai kursi roda biar nggak capek jalannya?""Ish, aku itu sehat, kuat kenapa juga pakai kursi roda? Mau balapan lari juga ayo!""Kalau balapan lari sama bumil, jelas aku kalah," jawab Mas Adit tergelak. Kami pun lantas berjalan bersama menuju poli kandungan. "Sudah sana masuk, nanti aku tunggu di sini." "Iya."Aku kemudian masuk ke dalam poli. Dokter Anna, begitu yang tertera di papan nama. Sedari awal masuk saat aku pendarahan memang beliau lah yang menanganiku. Segera aku memulai pemeriksaan dilanjutkan dengan USG."Bagus, semuanya baik-baik saja. Jenis kelamin juga sudah terlihat. Apa Bu Aisyah mau tahu jenis kelaminnya atau buat nanti kejutan?" tanya Dokter Anna."Ehm, mau tahu dokter jenis kelaminnya, biar nggak penasaran," jawabku
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 42"Mas kenapa dengan leher kamu? Kenapa ada tanda merah?" Mas Adit terlihat kaget dengan pertanyaanku kemudian dengan kedua tangannya dia mulai meraba lehernya."Jawab, Mas!"Mas Adit terlihat celingukan, tangannya juga meraba-raba lehernya."Di–di–gigit semut mungkin," jawab Mas Adit setelah sekian lama hening. Jawaban yang diucapkan dengan terbata tidak serta merta membuatku percaya. "Semut kepalanya hitam? Atau semut yang giginya seperti vampir?" Aku sama sekali tidak percaya jika itu adalah hasil gigitan semut. Mana ada semut bisa membuat gigitan dengan meninggalkan bekas merah seperti itu. Lagian tidak mungkin juga jika semut menggigit hasilnya akan seperti itu. "Aku bukan anak TK yang bisa dengan mudah dibohongi, Mas. Jawab dengan jujur!" Lagi, aku meminta jawaban dari Mas Adit. Sedari awal menikah baru kali ini aku menemukan hal ganjil seperti ini. "Dek, udah nggak percaya sama, Mas?" Mas Adit yang sudah selesai melepas kedua
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 43Tapi … sama siapa dia selingkuh? Dia tadi juga pulangnya sama teman laki-laki. Kenapa jadi banyak teka-teki seperti ini? Setelah susu itu terasa sudah tidak lagi terlalu panas, aku kemudian menenggaknya sampai habis. "Katanya mau istirahat kenapa malah mainan hp?" Protesku saat masuk ke kamar, namun Mas Adit justru sedang asyik mainan ponsel."Cuma main game sebentar biar nggak suntuk," jawabnya dengan mata masih tetap pada layar ponsel. Semenjak kapan Mas Adit main game? Sungguh, beberapa hari saja keluar kota sudah membuat Mas Adit sangat berubah. "Mas, coba buka kaosnya!" titahku. Aku masih penasaran dengan tanda merah itu. "Kaos? Mau ngapain? Mas capek, Dek. Lagian katanya kemarin kata dokter belum boleh, kan?" Ish, kenapa malah jadi menjurus ke arah sana? "Bukan itu, Mas! Aku cuma pengin tahu soal tanda merah itu. Jangan-jangan di balik kaos ada lagi ya?""Astaga, Dek. Masih belum percaya juga kalau Mas salah makan?" Mas Adit
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 44Uhuk!Mas Adit langsung tersedak begitu aku bertanya. "Ngomong apa kamu, Dek? Jangan ngawur. Udahlah, Mas mau cari sarapan. Nggak usah masak hari ini," ujarnya seraya melewatiku begitu saja. Tumben banget Mas Adit nyari sarapan di luar, biasanya dia selalu sarapan di rumah.***Hari-hari aku lewati dengan penuh rasa curiga pada Mas Adit. Bagaimana tidak, dalam sebulan dia bisa hanya di rumah tiga hari, selebihnya katanya urusan ke luar kota. Bahkan, saat ini Mas Adit membangun rumah tepat di samping rumah yang aku tinggali. Katanya akan dijadikan kontrakan. Saat aku bertanya dari mana dia mendapatkan uang, lagi-lagi dia menjawab dari hasil bisnis. Jangankan rumah, kendaraan roda empat juga dia sudah miliki."Mbak, mau ke mana?" tanyaku pada Mbak Ani yang sudah berpenampilan rapi. Rok pendek span berwarna hitam serta kemeja putih sudah menempel di tubuhnya. Aku akui kalau tubuh Mbak Ani itu memang bagus walaupun sudah ada Dena. "Mau
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 47Lama-lama aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku. Selama lima bulan aku cek kandungan, selama itu juga Mas Reza yang selalu mengingatkan dan menemani. Padahal dia bukan suamiku. "Dek, kan, masih ada bulan berikutnya. Mas janji akan kosongkan jadwal buat cek kandungan. Jangan marah, ya …," bujuknya. "Mas janji?" "Iya, Mas janji."***Sore ini aku menanti kedatangan Mas Adit pulang. Sesuai jadwal besok adalah jadwal cek kandunganku, dan sesuai pesan juga Mas Adit akan mengantarku. "Nak, besok sama ayah loh. Kamu seneng, kan, kalau ditemani sama ayah?" Aku berbicara pada anak dalam kandunganku. Entah mendengar atau tidak, yang jelas aku senang jika melakukannya. Deru mobil terdengar masuk ke pekarangan rumah. Benar saja, mobil sedan hitam milik Mas Adit datang. Aku berdiri untuk menyambutnya. "Mas," sapaku seraya mengulurkan tangan. Laki-laki jangkung itu pun menyambut uluran tanganku. "Mas bawa baju buat kamu, Dek," ucap Mas Adit
Nama Mantan di Buku Pendaftaran SiswaBab 48"Bu … ini gimana? Lihat, ada darah di kaki Ai!" Hanya kata-kata itu yang bisa aku dengar. Selebihnya tidak tahu lagi.Aku terbangun dengan rasa mulas dan sakit di perut. Tubuhku juga terasa bergoyang. "Sa–kit." Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. Bahkan, aku tidak tahu saat ini aku di mana. Rasanya aku tak mampu untuk membuka mata. "Sabar, ya, Ai … sebentar lagi kita sampai di rumah sakit." Ah, itu suara Mas Adit. Berarti saat ini aku sedang berada di mobil. Terdengar dari suara klakson yang lumayan keras. "Dit, ini beneran mau dibawa ke rumah sakit?""Iya, Bu … lihat, Ai sepertinya sudah pendarahan. Adit takut dia kenapa-kenapa.""Bawa ke dukun bayi saja, Dit. Daripada repot nantinya."Aku jadi takut dengan apa yang saat ini kudengar. Bisa-bisanya Ibu memberi saran untuk ke dukun bayi. Luar biasa memang tak punya hati."Jangan bercanda, deh, Bu …. Kita bawa ke rumah sakit pokoknya.""Puskesmas saja, deh, kalau nggak mau ke dukun bayi
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 49Ponsel aku serahkan pada yang punya. Setelahnya aku tidak tahu Mas Reza berbicara apa, wanita yang punya ponsel yang menjawabnya."Pak sopir, kita ke rumah sakit X," ucap wanita itu. Aku tahu rumah sakit itu. Itu adalah rumah sakit di mana pertama kali aku pendarahan. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa mendengar suara sirine yang meraung, tapi ada suara yang lebih jelas daripada suara sirine itu. Ya, suara saat Mas Adit memanggil sayang justru lebih dominan di telingaku. Entahlah, rasanya suara terngiang-ngiang terus.Sakit … ya, sakit sekali rasanya hati ini. Bahkan, saat dia tahu keadaanku dia justru pergi. Dia lebih memilih urusannya dibandingkan denganku.Mobil kini berhenti, aku bisa merasakan dari gerakannya. Kemudian tubuhku diturunkan bersama dengan brankarnya. "Nana …. Ya Allah, Na … kenapa jadi begini?" Mas Reza langsung mendekat dia ikut berjalan cepat bersama dengan brankar yang didorong. Aku dibawanya masuk ke dalam ruan
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta