Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 49Ponsel aku serahkan pada yang punya. Setelahnya aku tidak tahu Mas Reza berbicara apa, wanita yang punya ponsel yang menjawabnya."Pak sopir, kita ke rumah sakit X," ucap wanita itu. Aku tahu rumah sakit itu. Itu adalah rumah sakit di mana pertama kali aku pendarahan. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa mendengar suara sirine yang meraung, tapi ada suara yang lebih jelas daripada suara sirine itu. Ya, suara saat Mas Adit memanggil sayang justru lebih dominan di telingaku. Entahlah, rasanya suara terngiang-ngiang terus.Sakit … ya, sakit sekali rasanya hati ini. Bahkan, saat dia tahu keadaanku dia justru pergi. Dia lebih memilih urusannya dibandingkan denganku.Mobil kini berhenti, aku bisa merasakan dari gerakannya. Kemudian tubuhku diturunkan bersama dengan brankarnya. "Nana …. Ya Allah, Na … kenapa jadi begini?" Mas Reza langsung mendekat dia ikut berjalan cepat bersama dengan brankar yang didorong. Aku dibawanya masuk ke dalam ruan
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 50Hari kedua aku di rumah sakit, aku meminta Bu Eli untuk datang. Saat ini hanya dia orang yang bisa aku percaya. Sepucuk surat dari rumah sakit juga sudah dikirimkan. Melalui Bu Eli juga aku meminta pada pihak sekolah untuk tidak memberitahukan keberadaanku saat ini. Takutnya Mas Adit datang ke sekolah untuk mencari. Pun dengan Mas Reza yang meminta pada pihak rumah sakit untuk tidak membocorkan keberadaanku. Barangkali saja Mas Adit mengorek informasi dengan bertanya pada pihak puskesmas yang mengantarkan aku."Bu Ai … kenapa bisa jadi seperti ini?" Bu Eli bertanya ketika datang ke rumah sakit."Panjang ceritanya, tapi aku mohon … setelah aku menceritakan, Bu Eli bisa menjaga rahasia ini," jelasku pada satu-satunya orang yang saat ini mengetahui keberadaanku selain Mas Reza."Iya, apa selama ini aku kurang menjaga rahasia?" ujarnya seraya mengambil tempat duduk di samping ranjang. Lepas itu aku menceritakan semuanya pada Bu Eli. Setel
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 51"Ayo, ke kantor polisi," ajakku pada Mas Reza. Bukti visum sudah di tangan. Kita lihat Mas, Bu … apa yang akan terjadi dengan kalian selanjutnya.Aku melangkah dengan pasti bersama laki-laki yang beberapa waktu ini dekat denganku. Aku jadi berpikir, bagaimana kalau tidak ada dia? Mungkin sekarang aku sudah tidak ada lagi di dunia ini..Skenario Tuhan memang tidak ada yang tahu. Bagaimana aku kembali lagi bertemu dengannya. "Na, nanti aku kenalkan dengan seseorang." Aku menoleh begitu mendengar ucapan Mas Reza."Siapa?""Pengacara. Kamu harus punya pengacara," jelas Mas Reza. Tatapannya tetap fokus pada kemudi di depannya. "Kalau tidak usah pakai pengacara bagaimana?" tanyaku dengan tertunduk lesu. Bagaimana mungkin aku bisa membayar pengacara nantinya. Uangku saja tinggal berapa ratus ribu, tidak akan cukup untuk membayar pengacara bukan?"Memangnya kenapa?""Bukankah pengacara itu mahal?" Kutatap wajah itu dari samping. Tidak banya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 52"Sudah sampai, Bu," ucap sang sopir."Iya, terima kasih."Aku kemudian turun dan mulai melangkah. Rumah dalam keadaan sepi sekarang. Apa mungkin mereka tidak di rumah? Langkahku semakin mendekat ke arah pintu. Kucoba untuk membukanya dan ternyata terkunci. Lepas itu, aku kemudian berbalik, menuju ke sebuah pot yang berjejer. Kalau mereka belum merubahnya di salah satu pot itu ada kunci cadangan yang memang aku simpan. Benar saja, di bawah pot yang berwarna hitam dengan ukuran paling besar kunci itu berada. Segera aku mengambilnya dan kemudian masuk ke rumah.Begitu masuk, yang aku lihat adalah rumah yang sangat berantakan. Di atas ruang tamu, teronggok tumpukan pakaian dan di atas meja berjajar gelas dan piring kotor. Aku terus melangkah. Keadaan di dalam juga tak kalah dengan ruang tamu. Di depan televisi, kulit kacang berserakan memenuhi meja. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, biasanya aku yang membereskan rumah ini dan mereka te
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 53"Tega katamu?! Tega mana dengan suami yang selingkuh saat istrinya hamil? Tega mana dengan mertua yang menampar dan mendorong menantunya sampai jatuh dan kehilangan bayinya? Katakan, tega mana?! Kalian yang tega! Kalian jahat, sudah sepantasnya jika kalian mendapatkan hukuman!" pekiku tak lagi bisa menahan emosi. Dadaku naik turun dan napas ini terasa sesak saat ini mengatakannya. Tidak ada lagi air mata yang keluar, mungkin sudah kering, sudah habis saat aku kehilangan bayiku."Dek, tapi aku yakin kalau ibu tidak sengaja. Maafkan, Ibu ya?""Tidak sengaja katamu? Biar nanti polisi yang memutuskan apa itu sengaja atau tidak, dan lagi … aku sudah visum, jadi kalian tidak akan bisa mengelak nanti," jawabku tegas. "Aku permisi dulu, jangan lupa kalian bersiap ganti baju warna oranye." Kebetulan juga taxi online yang aku pesan sudah datang. Segera aku melangkah tanpa perlu lagi menengok ke belakang. Aku anggap rumah ini adalah masa lalu."D
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 54"Saudara Adit dan Bu Diah, sekarang juga ikut kami ke kantor polisi.""Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau ikut!" Di depan mataku sendiri aku melihat Ibu meronta-ronta. Tangannya tetap berpegang pada Mas Adit dan kakinya dia hentakkan, persis kalau anak-anak tantrum."Dek, lihat Ibu. Apa kamu nggak kasihan?" iba Mas Adit."Aku? Nggak, tuh, biasa aja," jawabku seraya memalingkan muka. Sebisa mungkin aku tak melihat bagaimana reaksi Mas Adit saat ini. Pokoknya mereka harus menerima akibatnya. Titik!"Ayo, Pak Adit … Bu Diah, kalau kalian bersikap kooperatif juga semakin cepat proses untuk kalian," ucap salah satu polisi."Loh … ini ada apa? Kenapa ada warga saya yang ditangkap, Pak?" Pak Aziz sekaligus RT datang mendekat. Di belakang mereka para tetangga sudah berkumpul, dan aku tahu mereka adalah teman-teman Ibu. "Begini, Pak, kami menerima laporan kalau saudara Adit dan Bu Diah telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, jad
Nama Mantan di Buku Pendaftaran SiswaBab 55"Nggak ada tapi-tapian, buruan jalan!" Mau tidak mau akhirnya Bu Eli menghidupkan motorku kemudian kendaraan roda dua mulai berjalan. "Bu Eli kenapa lambat sekali bawa motornya? Biar aku aja yang nyetir," pintaku saat laju motor begitu lambat. Bahkan sepeda saja bisa menyalipnya."Bu Ai nggak usah protes. Ini itu bagian dari menjaga Bu Ai. Aku nggak mau kalau perut Bu Ai sakit kena guncangan. Jalan di sini, kan, banyak lobangnya nanti kalau bawa motor cepat-cepat terus masuk ke lobang nanti perut Bu Ai sakit," jelas Bu Eli. Astaga, segitunya Bu Eli menjagaku, tapi ini malah jadi kaya bawa bayi namanya."Iya, tapi nggak lambat banget kaya gini juga Bu Eli," keluhku. "Aku aja yang nyetir sini. Orang perutku nggak apa-apa.""Ish, rewel banget Bu Ai, mirip anak TK. Pokoknya tinggal diem bonceng. Pegangan." Akhirnya aku pasrah dengan kelakuan dari Bu Eli, daripada malah nanti sepanjang jalan kita ribut ngurusin kecepatan motor.Lepas maghrib, M
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 56"Pokoknya ada aja. Tiap jam nanti aku telepon."Dasar Mas Reza, bisa-bisanya dia melakukan hal itu. Benar saja, saat di sekolah mulai dari jam masuk sampai istirahat dia terus menghubungiku. "Bu Ai, ada yang nyari," kata Bu Eli saat jam pulang anak-anak."Siapa?""Itu, Bu, ibunya Dena."Ibunya Dena? Itu artinya Mbak Ani yang datang. Mau apa dia? Mungkin mau melihat Dena. "Nah, ini dia orangnya! Ini orangnya yang sudah membawa anak saya tanpa ijin!" ucap Mbak Ani begitu aku menemuinya. Telunjuknya tertuju langsung padaku. Bersama Mbak Ani sudah ada Bu Kepsek, rekan guru serta ibu-ibu yang menjemput anak-anak. Mereka kemudian langsung melihat ke arahku. "Maksud Mbak Ani apa, ya?""Ya … kamu! Kamu yang sudah menculik Dena, anakku!" teriak Mbak Ani."Menculik, apa maksud Mbak Ani dengan menculik? Jangan menuduh sembarangan, ya!" Emosiku mulai terpancing ketika Mbak Ani menuduhku. "Membawa anak orang tanpa meminta ijin apa itu bukan na
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta