**"Menurutmu sikap Kevin barusan, wajar?" Saat memperhatikan mantan suamiku pergi, ternyata Mas Fadli juga menangkap keanehan yang sama. Dia menyusul diri ini ke balkon dan bertanya sambil menyentuh bahuku. "Aku menyadari dia bersikap tidak biasa, namun aku tidak mengerti kenapa begitu.""Sepertinya dia ingin minta bantuan dari kita, tapi dia terlampau malu untuk mengatakannya. Kau tahu kan' kalau istrinya akan melakukan operasi transplantasi kulit juga pemulihan yang biayanya tidak sedikit, kupikir dia memang membutuhkan uang.""Jika kita memberinya begitu saja, maka dia pasti akan menolaknya karena dia tidak ingin dikasihani, Mas. Sebaiknya Mas memberinya pekerjaan, tapi membayarnya di muka, agar dia tidak terlalu merasa malu.""Kau benar Fat, aku setuju dengan idemu agar Kevin tidak terlalu merasa rendah diri.""Jadi kita akan menelpon dia dan menyuruh dia kembali ?""Tidak usah sayang, kita jenguk dia di rumah sakit sekaligus silaturahmi."""Kupikir itu akan terlalu jauh Mas, ku
"Kenapa mendadak kau berubah jahat fat Apakah mendapatkan suami kaya membuatmu cenderung untuk sombong dan congkak!""Kau pernah sesombong itu saat memamerkan calon istri barumu. Kau tahu Mas, aku merasa aku diambang maut saat menyaksikan suamiku memutuskan untuk meninggalkan rumah ini demi wanita lain. Aku sesak nafas setiap kali merindukanmu. Sakit hati Ini tiap kali melihat sudut rumah, di mana itu menyisakan kenangan tentang dirimu. Perih rasanya perasaanku, membayangkan suami yang selalu memelukku, kini berada dipelukan wanita lain. Pernahkah kau memikirkan semua itu!" Kini bola mataku mulai dibayang-bayangi oleh lelehan air mata yang akan menetes."Apa kau membayangkan bagaimana aku menyiapkan makanan dengan tulus, tapi kau malah menyuapi kotak bekalmu pada wanita itu dengan penuh cinta. Apakah kau tahu perasaan terburuk di dunia ini? Ya, rasa itu adalah perasaan dikhianati!"Mas Kevin semakin menundukkan kepalanya di saat aku sibuk berkhotbah atas luka-luka hatiku di masa lalu
Kembali ke rumah sakit setelah mengurus segala sesuatu tentang pekerjaan dengan Mas Fadli, aku kembali mengurus segala keperluan untuk biaya administrasi dan operasi. Aku melunasinya dengan sejumlah uang yang tadi. Sebetulnya itu adalah jumlah yang besar, sebetulnya terbebani untuk mengambil lebih cepat uang sebelum melakukan pekerjaan, namun aku terpaksa mengambilnya demi menyelamatkan nyawa Mila. Usai membayar semua biaya, aku langsung ke kamar Mila untuk memberitahu kabar baik ini. Aku pergi ke sana dengan perasaan membuncah. Tapi bukan karena begitu senang tapi karena berhasil menjawab tantangan ibunya."Assalamualaikum Tante."Aku mengucapkan salam kepada wanita yang tengah menyuapi istriku. Seperti biasa dia selalu memasang wajah tidak senang setiap kali melihatku."Hhmm, kamu sudah pulang.""Tante, dokter akan mengoperasi mila secepatnya, karena saya sudah membayarnya.""Oh ya?" Dia tertawa tak percaya."Ya Tante, kita tinggal tunggu jadwal saja, aku yakin Mila akan sembuh,
"mil, sakit yang kamu alami membuat kamu melentur sebaiknya jangan bicara seperti itu. Aku bersamamu, dan fakta itu sudah membuktikan bahwa aku menyayangimu.""Bersama dalam raga belum tentu bersama dalam batin dan jiwa.""Mil, aku mohon Mila. Sudah, jangan bicara begitu.""Kau telah bersamanya selama 13 tahun termasuk dari masa kau mengenalnya, sementara aku baru denganmu selama 3 tahun. Sepuluh tahun tanpa diriku pasti kau lalui dengan bahagia bersama Fathia. Kau mencintainya dan merasa bahwa dialah satu-satunya wanita yang akan melengkapi hidupmu. Sebelum aku datang semuanya masih baik-baik saja kan?""Semuanya memang baik tapi kau datang memberikan warna baru dan harapan bagi hidupku. Aku tunggu dan memimpikan hal-hal yang indah berkat dirimu. Selama ini aku memang bahagia tapi kujalani semuanya dengan datar-datar saja.""Jadi aku membawa ombak dan gelora baru? jadi aku adalah percikan kebahagiaan yang sudah lama kau tunggu? Jadi aku memberikan bunga dan aroma pada kehidupanmu?""
Dengan senyum lebar Fathia mendatangiku dan mengulurkan tangannya. Tadi yang menyapaku dengan Rama sementara aku masih menahan gejolak sakit hati di dalam dadaku."Mas aku doakan semoga istrimu berhasil operasinya dan baik-baik saja.""Makasih," jawabku malas."Apa kau sudah makan, kulihat kau begitu lesu Mas.""Aku tidak berselera.""Tapi setidaknya kau membasuh muka agar tidak kusut," usulnya pelan."Hatiku memang sedang kusut, perasaanku juga!" Aku mendesis padanya sambil menahan suaraku agar tidak terdengar oleh Mas Fadli, Fathia terkejut ketika aku membentaknya seperti itu."Kenapa kamu?"Mungkin dia heran atas sikapku yang dingin Padahal mereka telah membantuku dengan memberiku uang juga melancarkan proses operasi istriku dengan mendesak dokter yang bertugas. Harusnya aku berterima kasih tapi sikap mereka yang mengambil tindakan tanpa kompromi, membuatnya terlihat seperti cari muka dan sengaja memberikan jasa agar kami semua tunduk padanya. "Apa ada yang salah?""Sebaiknya kau
Seminggu setelah operasi mila yang cukup menguras tenaga, aku memutuskan untuk melepasnya bersama ibu mertua dan aku akan mulai bekerja. Keadaan Mila masih butuh perawatan, jadi sampai hari ini dia masih berada di Rumah Sakit pusat provinsi."Aku izin mau kerja ya, sebenarnya aku kasbon dulu ke bosku, untuk bayar biaya rumah sakit jadi nggak enak kalau aku terus terus ada di sini dan belum memulai pekerjaan.""Iya, Mas, aku ngerti. Berarti, kamu akan kerja di perusahaan Fadli kan?""Iya di perusahaan unggas miliknya, kami menyalurkan daging ayam beku dan telur ke sejumlah toko di seluruh Indonesia. Kau tidak apa apa aku tinggal kan?" "Iya, Mas, aku ngerti kamu harus cari uang.""Mil, bersabar ya, kamu nggak usah mikirin apapun kecuali fokus untuk sembuh.""Iya, Mas. Tapi, kamu akan menjaga jarak dengan mantan istrimu kan?"Pertanyaan inilah membuatku tertegun sesaat tapi aku segera tersenyum dan mengangguk padanya. "Iya, jangan khawatir, aku akan menjaga jarak bagi siapapun yang b
Lama aku terdiam untuk memilih kosakata yang baik demi menjawab perkataan mantan istriku, tapi rasanya, apapun diksinya, itu tidak akan pantas melawannya, sebab dia satu derajat berada lebih tinggi di atasku. "Apa Anda luang?" tanyanya dengan Formal, kalimat anda dan perkataan-perkataan resmi lainnya terdengar asing di telingaku seperti kepura-puraan yang dipaksakan, namun aku harus tetap berjalan dalam koridor tersebut."Iya, Nyonya.""Tolong belikan saya kopi dan croissant!" Dia memerintahkan diriku dan itu langsung membuatku tercengang. Meski ia bebas memerintah tapi aku adalah kepala gudang, diantar banyak pilihan orang-orang yang bisa disuruh seperti para office boy dan tukang bersih bersih, kenapa harus aku yang disuruh membeli kopi."Baik nyonya Saya akan minta staf untuk belikan.""Tidak, anda yang harus belikan!" Dia bukan saja memerintah tapi ingin mengerjaiku. Di atas semua pembelaan diri aku hanya bisa menelan ludah sambil menghembuskan nafasku. "Kopi apa yang Nyonya in
Kevin, sosok yang dulu kucintai lalu kemudian berpaling dariku dan meninggalkan diri ini. Dia menikah dan beralih pada kehidupan baru meninggalkan begitu banyak tumpukan penderitaan dalam hidupku. Saat aku mulai berubah dan menemukan jodoh yang lain, dia malah bergantung hidup kepada kami. Aku yang masih dalam luka-luka dan sakit hati berkepanjangan, berjuang sekuat tenaga dengan dukungan suami dan keluarga, untuk memaafkannya. Sampai akhirnya aku ikhlas bahwa semua kejahatan yang ia lakukan, lalu kuanggap itu sebagai penguji keimananku, penguji kesabaranku di mana semua itu akan berbuah manis pada waktunya. Ya, itu memang hikmah yang baik dan berbuah manis bahkan sangat manis. Aku tunggu menjadi wanita yang penuh keikhlasan dan semakin mencintai perjalanan hidup dan Tuhanku. Namun, ada seseorang yang tak pernah berubah meski ia selalu ditolong dan diberi keberuntungan. Tak salah lagi, dia adalah, KEVIN.Aku tersinggung dengan sikapnya saat kami dengan penuh keterbukaan hati meng
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja