"sudah banyak kekasih ayah tapi selalu saja gagal, entah mereka kecewa dengan harta Ayah yang tidak banyak atau mereka tidak cocok denganku. Aku bosan dengan kekecewaan.""Cobalah sekali ini, lagi pula aku dan tante fatia tidak pacaran, kami hendak langsung bertunangan saja.""Ayo tetap harus menelisik perasaan dan niat tante fatia!" Jawab anaknya sengit. "Dia orang yang baik, Cucuku," ujar Tante Diana."Dan Nenek Jihan berani bersumpah bahwa tante fatia adalah wanita yang lembut dan berhati mulia," ujar ibu mertuaku memberi kesaksian kepada calon cucu barunya itu. Ya Tuhan, perdebatan itu sungguh alot sedang Putri Mas Fadli hanya melipat tangan di dada sambil memasang wajah cemberut.Ternyata sangat sulit membuat indira setuju, hingga aku nyaris saja mengambil keputusan untuk tidak jadi menikahi lelaki itu. Toh, aku tidak tergila-gila atau memaksakan diriku untuk segera menikah dengannya."Nak, aku tidaklah nekat atau tergila-gila pada ayahmu sampai aku harus memaksakan diriku meni
"Kevin, bangunlah, pindahlah ke kamarmu," ujar ayahnya."Tidak, tidak akan! Aku kecewa pada kalian ayah, Kenapa kalian bermusyawarah tanpa mengajakku! Apa aku sudah tidak dianggap anak di rumah ini?!"lelaki itu terus kembali tertawa sambil mengusap-ngusap wajahnya. Sampai akhirnya entah pingsan atau tidur dia tiba-tiba tidak merespon perkataan siapapun. Di momen yang tidak mengenakkan seperti itu, bukannya mengajak keluarganya pergi, Mas Fadli malah turun tangan untuk mengambil tindakan.Dia berinisiatif untuk mengajak ayah mertua dan kami untuk membawa mas Kevin ke kamarnya."Tolong ambilkan air lemon," ucap lelaki itu sok dia meletakkan kepala mas Kevin di bantal, Mas Fadli kemudian membuka kemejanya lalu membantu lelaki itu untuk memakai baju tidur yang bersih. "Ini Nak, airnya." Tak lama ibu mertua datang membawakan air lemon hingga Mas Fadli membantu Mas Kevin untuk meneguknya, perlahan kesadaran lelaki itu mulai datang lagi."Apa kau mendengarku? Apa kau bisa melihatku dengan
Tak banyak yang bisa diucapkan Mas Kevin setelah Mas Fadli mengatakan hal itu. Tampaknya satu kalimat telah membuatnya terguncang, memukul mental dan berhasil membuat lelaki itu syok.Terakhir kulihat sebelum kami meninggalkan kamarnya, dia nampak pucat dan berkeringat, wajahnya basah pun dari mimik bibirnya dia hendak mengatakan sesuatu tapi kalimat itu tidak terucap sama sekali."Mas, apa Mas yakin tentang menjadikan Mas Kevin sebagai saksi tidakkah dia akan mengacaukan sesuatu bila berubah pikiran?""Tidak dia tak akan berani, Dik," balas Mas Fadli, "ada orang tua yang akan membuat dia mengerem sikapnya.""Kamu berhasil memukulnya dengan satu kalimat, Mas.""Begitulah seni pertarungan bila kau ingin menang," jawabnya sambil tersenyum dan menyentuh bahuku pelan. Setelahnya pria berwibawa itu pamit pulang pada kedua orang tua Mas Kevin, disusul pula olehku dengan anak-anak yang memutuskan untuk pergi juga.Tadinya Mas Fadli menawarkan tumpangan tapi karena kami membawa motor sendiri
*Hari-hari berganti, langkah-langkah menuju tali pernikahan semakin mendekat padaku namun kami belum melakukan persiapan apa-apa. Keluarga memang antusias tapi aku sendiri mencoba untuk tetap bersikap normal."Segeralah untuk mencari lokasi acara dan catering," ujar kakakku."Aku mempercayakan itu kepada Ibu Jihan dan Tante Diana calon mertuaku. Mereka adalah keluarga mempelai pria yang pasti ingin pestanya dilakukan dengan megah dan mewah biarkan mereka yang putuskan vendor dan menentukan deal harga. Aku ikut saja kak sebab aku tahu diri kita berasal dari keluarga yang tidak begitu kaya.""Tapi pengantin juga berhak memutuskan seperti apa pernikahan impiannya.""Aku tidak ada bayang-bayang Kak, yang kuinginkan hanya acara yang lancar serta kehidupan yang tenang setelah itu," jawabku."Kau ini naif sekali, saat orang-orang sibuk melakukan persiapan kok malah tetap menerima order kue dan laundry.""Tenang saja kak, aku akan turun tangan di waktu yang tepat.""Kau belum memilih sou
Sabtu sore aku dijemput bersama kedua anakku, oleh Mas Fadli kami akan dibawa untuk fitting pakaian persiapan lamaran. Kebetulan ini adalah akhir pekan di mana lelaki itu hanya punya waktu di hari Sabtu dan Minggu. Kesibukan bisnis dan mengatur perusahaannya membuat dia jarang sekali bisa berkendara jauh keluar kota untuk menemui atau sekedar. Ada desas desus selama rencana pernikahan, komentar-komentar dari tetangga dan orang-orang sekitar, ada yang turut bahagia bahwa kami akhirnya akan memiliki sosok imam keluarga, tapi ada juga yang nyinyir.Mereka menertawai calon suamiku yang hanya penjual ayam dan telur. Mungkin dipikirnya, Mas Fadli hanya pedagang kulakan di pasar yang memborong lalu menjual kembali. Mereka tidak tahu Mas Fadli adalah pemilik perusahaan poultry terbesar di Surabaya, penyalur ayam beku dan telur berkualitas, bahkan sampai ke luar negeri. "Dulu suaminya PNS sekarang hanya penjual ayam.""Pasti dekil, sebab suami yang pertama sangat tampan.""Iya, kurasa dia
Aku dan Mas Fadli terhenyak dari balik kaca yang menghalangi kami dan pemandangan di luar sana. Saat Mila menggelepar seperti cacing yang diletakkan di aspal panas wanita itu menjerit-jerit, berteriak tak karuan berguling dan minta disiramkan air.Sampai akhirnya ia pingsan orang-orang masih syok dengan kejadian tersebut, bahkan yang membawa ember, embernya terlepas jatuh dari tangan mereka. Beberapa pengunjung kedai yang kebetulan makan soto di sana gemetar dan ada yang menangis karena begitu cepat kejadiannya.Mas Kevin tidak kalah hebohnya, secepat kilat ia berusaha mengangkat istrinya tapi melihat wanita itu gosong Mas Kevin ketakutan. "Ayo ayo bawa ke rumah sakit," ujar seorang ibu yang mungkin adalah pemilik kedai."Iya, iya, panggil ambulance."Masih terpaku di posisi yang sama beberapa detik kemudian Mas Fadli menyadari bahwa ini adalah sesuatu genting yang tidak bisa diabaikan begitu saja, calon suamiku mau minta diri ini agar melepas kebaya lalu berusaha membantu orang ya
Di sepanjang perjalanan aku masih terus berpikir tentang kejadian di lokasi parkir tadi dan bagaimana tindakan Mas Fadli yang tenang selalu berhasil mengendalikan keadaan. "Mas, saya kagum dengan bagaimana kau mengendalikan situasi, Mas selalu bisa membuat orang tenang di saat keadaan panik dan orang-orang nyaris bertengkar."Lelaki yang mengemudi itu tertawa,"Kalau bisa tenang, kenapa harus panik dan memberingas?""Kejadian tadi membuat saya terguncang Mas. Sungguh jika Tuhan sudah berkehendak maka segala sesuatu bisa saja terjadi.""Iya, kau benar.""Aku sangat khawatir, khawatir kalau wanita itu tidak mampu bertahan.""Jangan terlalu banyak dipikirkan. Dia akan selamat.""Pasti butuh proses panjang dan bakal banyak operasi agar dia bisa diselamatkan.""Tentu saja begitu, kulit yang terkelupas tidak akan berganti secepat mungkin.""Ya Allah, kasihan juga," desahku sambil mengusap dada."Doakan saja yang terbaik semoga dari apa yang terjadi kita belajar agar lebih mawas diri dan me
Usai lamaran, Mas Fadli segera kembali ke Surabaya, bersama seluruh anggota keluarga inti, mereka meluncur pulang meninggalkan keluarga kami yang untuk sementara waktu didaulat mengawal persiapan pernikahan.Ada banyak urusan dan bisnis yang harus segera mereka tangani dan tidak bisa ditinggalkan dalam jangka waktu panjang, agar tidak terbengkalai dan para pekerja berbuat sesuka hatinya. Dengan demikian setelah acara rampung mereka langsung pulang. Sini tinggallah aku bersama keluargaku dan para kerabat, kami bantu vendor membereskan tempat acara dan membersihkan bagian dalam rumah dari bekas gelas minuman dan makanan. "Ayo istirahat dulu ... kau tidak boleh terlalu lelah karena masih banyak hal yang harus kau lakukan demi persiapan pernikahanmu," ucap ayah sambil menyambangi diri ini ke dapur. "Aku baik-baik saja Ayah," jawabku sambil lanjut mencuci gelas dan piring."Banyak anggota keluarga yang akan membantu kita, kau jangan terlalu memforsir diri.""Ayah jangan khawatir, aku te
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja