Suara tangisan wanita cantik dari seberang sana membuat Mas Kevin terdiam, tercenung dirinya seakan tak menemukan kata-kata untuk membalas protes wanita tadi."Akankah kau campakkan diriku begitu saja? Setelah begitu banyak hari-hari yang telah kita lewati?""... Jika kau amat memperdulikan perasaan istrimu, apakah aku adalah binatang yang tidak punya hati, sehingga kau tidak perlu menjaga perasaanku? Bukankah kau berjanji bahwa kita akan saling menjaga apa yang kita jalani sebelumnya?"Mendengar perkataannya, aku jadi tergelitik untuk bertanya hubungan jenis apa yang sudah mereka jalin sampai wanita itu tidak menerima kata perpisahan."Emangnya apa yang kau janjikan dan kau jalani dengan wanita itu sampai dia tidak terima!" tanyaku pada suamiku.Aku tetap duduk di hadapannya dan menatapnya dengan tajam. Mas Kevin tidak memberi jawaban selain halaan nafas dan wajah tegang sembari menelan ludah."Mas, kenapa kau diam saja? Apakah keputusan ini adalah keputusan bulat yang tak akan k
"Mil, Mila tunggu?!" Gadis itu menoleh sesaat tapi dia kemudian mengabaikannya dan pergi begitu saja.Kupikir Mas Kevin akan menyerah dan melanjutkan tujuannya tapi ternyata dia mengejarnya dan meraih tangan wanita itu, aku yang berdiri tak jauh dari mereka terkesiap dengan kejadian itu seolah-olah sedang menyaksikan adegan sinetron penuh drama."Mil!""Lepaskan aku, Mas! Aku sudah mendengar keputusanmu tadi malam dan aku tidak begitu bodoh untuk segera menyadari apa yang kau inginkan! Aku mengerti Maksudmu!""Mil, aku terpaksa Mil, keluarga dan keadaan tidak memberiku pilihan.""Sudah kubilang aku mengerti maksudmu!" ucap wanita itu sambil menyingkirkan tangan mas Kevin dari tangannya. "Sudah cukup petualangan di antara kita berdua sebaiknya aku dan kamu menyelesaikan sampai di sini.""Sebenarnya aku nggak mau kita begini!""Apa kau tidak sadar kita sedang berada di tengah keramaian dan rekan-rekan kita akan melihat ini? Tolong lepaskan aku dan bersikaplah dengan wajar!" Gadis itu
"Terima kasih jika kau mau sadar dan berubah.""Aku berjanji akan mengubah segalanya tentang diriku Fathia.""Iya, berubahlah untuk menjadi lelaki yang lebih baik," balasku sambil tersenyum. Dia memeluk diriku membiarkan aku tertidur di dadanya, sementara ia masih melanjutkan untuk menonton film tadi. *Esok pagi, Usai salat subuh, hatiku dipenuhi dengan bunga-bunga saat kudapati meja makan sudah disiapkan sarapan, ada setangkai mawar tergeletak cantik di sana, di atas piring makanku, dan rumah sudah dibersihkan.Tumben sekali mas Kevin mau melakukan itu untukku, padahal dia tidak menyukai tugas domestik dan malah menyuruhku untuk mengambil seorang asisten jika aku merasa kerepotan. "Apa kau melakukan semua ini untukku?" Aku menyapanya saat lelaki itu sedang sibuk mengaduk kopi di meja dapur. "Ya, aku menyapu dan mengepel lantai, lalu menyiapkan sarapan dan mencuci pakaian.""Apa kau lakukan itu untuk mengambil hati dan membuatku merasa bahagia?"Ia tak menjawab dengan ucapan, t
"Kasihan sekali kamu ya ... hanya bisa mencela dan menghujat orang tanpa melihat apa latar belakang dari peristiwa yang terjadi. Kau boleh menyebutku bodoh tapi ada yang lebih bodoh dari diriku...""Benarkah?""Mas Kevin mengejar dan terus minta maaf, ia meyakinkanku bahwa dia bisa meyakinkanmu untuk menerima hubungan kami. Sudah ya, kau hanya anjing baginya."Jangan lancang!""Itu mas Kevin sudah datang. Jangan menelpon lagi, karena aku akan mematikan ponselnya."Klik!Dia langsung mematikan ponsel suamiku dan Meski aku berusaha untuk mengulang panggilan dengan segala kemarahan dan kepanikan di hatiku, tapi nomornya sudah sudah tak aktif lagi. Aku lemas terduduk di kursi dekat meja makan. Aku ingin menangis, tapi air mata itu tidak keluar hingga menyisakan rasa sesak di hatiku. Aku ingin menyusul suamiku tapi jarak antara rumah ke bandara sama seperti pergi keluar kota, jauh sekali. Ah, hatiku sakit. Ya Allah, keterlaluan! Dengan segera aku menelpon ayah mertua. Begitu dia menga
Remuk redam hatiku mendengar teriakannya. Mungkin ini salahku, yang menunggunya pulang dengan langsung membuat drama ingin minggat ke rumah orang. Poin dari pembicaraan itu tidak sampai pada kesimpulannya jawabannya tidak kutemukan Apakah dia benar menjemput wanita itu atau tidak. Namun, aku tidak perlu pembuktian, dengan Mila yang menjawab ponsel Mas Kevin, dan berkata bahwa setiap hari mereka semua mobil dan berangkat bekerja bersama sepertinya aku tidak perlu harus bertanya lebih jauh lagi. "Selamat Mas, kau berhasil membohongiku mentah-mentah. Kau menipu, kau berpura-pura baik denganku, tapi ternyata kau mempermainkanku!" "Siapa yang bermain?""Kemarin di hadapan semua orang kau berjanji akan mempertahankan keluarga tapi paginya kau menjemput wanita itu dan semua mobil dengannya. Dan ya, tidak mungkin bila akan berbohong padaku dengan alasan dia ingin memisahkan kita! Lagi pula kau tidak sebodoh itu untuk mengenal jenis perempuan apa yang cocok denganmu."Dia terdiam mendengar
Hanya terduduk sedih di balik pintu kamar anak-anak dan sepanjang malam menangisi perkataan suamiku. Aku tidak tergerak sedikitpun untuk merebahkan diri di tempat tidur dan melenakan mataku dalam mimpi yang indah, hatiku sakit, perasaanku tak tenang. Pemikiran akan kehidupan kami ke depannya yang membuatku tidak bisa memejamkan diri. Kelihatan dari percakapan tadi bahwa suamiku tidak peduli andai aku pergi atau tidak ada lagi dalam hidupnya. Jika aku menyerah dia akan segera menikah dengan Mila. Namun jika aku bertahan sedikit saja, mungkin aku bisa mengamankan kehidupan rumah tangga dan anak-anak kami. Tapi, kekuatan dari manakah yang akan kugunakan untuk bertahan dalam keadaan seperti ini. Sinar matahari yang masuk dari celah ventilasi jatuh tepat di wajahku dan menyadarkan diri ini jika pagi sudah datang, perlahan aku menggerakkan badan untuk bangkit dari posisiku, rasanya sendi-sendi dan tulangku nyeri dan ngilu, kepalaku sakit, pun dengan mata ini pedih karena tak henti-henti
Kubiarkan lelaki itu pergi, tanpa menyaksikan seperti kebiasaanku tiap pagi mengantarnya ke mobil, aku sudah enggan melakukan rutinitas konyol itu.Teringat betapa tulus dan berbaktinya aku, mendadak merasa bodoh begitu teringat percayanya aku padanya, sepenuh hati kubuat kotak makan tapi di belakangku ia mengolok diri ini dengan mencintai wanita lain lalu menistakan kotak bekal yang kuberikan, untuk dinikmati bersama jalang itu. Ah, aku ditipu mentah mentah olehnya.**"Apa rencanamu pada suamimu?" tanya ibuku saat aku menelpon."Entahlah, aku akan lihat bagaimana tersiksanya dia saat aku tak lagi memperdulikannya.""Jika kau memilih pergi, secepat kilat ia akan menikah.""Betul, dan aku tak akan biarkan dia semudah itu menjalani hidupnya. Enak saja mencampakkan istri lalu bulan madu dengan wanita lain. Kalau dia tak tahan lagi untuk berpisah, maka biarkan dia yang gugat cerainya," jawabku."Lalu untuk apa kau menunggu jika ujungnya berpisah.""Jika dia yang meninggalkan kami, mak
Tak lama dari sana pesannya sudah centang biru, Mas Kevin terlihat mengetik sementara aku sudah tidak sabar menunggu jawaban pembelaan dan kalimat pembenaran yang selalu terdengar klise di telingaku.Mengetik ...Dan terus mengetik, sampai akhirnya tidak ada balasan dari pria itu.Aku duduk di ruang tamu sambil menunggu waktu bergulir dari pukul 14.00 menjadi pukul 15.00 sore. Semakin berdetak jarum jam semakin panas dan terbakar rasanya perasaan, aku berada di puncak amarah dan kekesalanku.Pintu garasi terdengar terbuka lalu mobil itu masuk ke dalam halaman rumah, aku langsung berdiri dan sudah tidak sabar lagi untuk melayangkan segala caci maki dan kekesalanku.Dia tahu aku akan marah jadi mungkin dia sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menjawabku."Assalamualaikum.""Walaikum salam!"Aku menjawab salamnya dengan wajah yang sudah tidak bisa kusetting untuk pura-pura tersenyum dan menyambut kedatangannya dengan sukacita."Aku minta maaf atas kejadian siang tadi.""Oh, bagus, rupan
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja