Namun, Yuda masih hanya diam. Tidak ada yang dai katakan sepatah saja.Aku masih menunggunya.Menunggu Yuda mengakhiri ikatan pernikahan ini.Akan tetapi Yuda tetap saja bungkam. Dia hanya menatapku dengan tatapan lain. Tatapan sayu dengan wajah agak menunduk. Jika biasanya, dia menatapku dengan angkuh dan tajam, malam ini tidak.Apa yang kutunggu tidak terjadi. Karena Yuda tak mengucapkan kata perpisahan yang kuminta.Dia diam saja.Entah apa maunya. Bicara tentang Azmi saja dia merepet persis seperti petasan. Sekarang dia malah diam.Akhirnya aku berbalik badan. Angkat kaki untuk keluar dari ruang makan ini. Karena Yuda hanya diam saja.Belum sampai dua langkah kakiku berjalan. Tanganku ditarik. Tubuhku kembali berbalik dengan cepat.Yuda menarik tubuhku. Membawaku begitu saja hingga rapat di dadanya. Satu tangannya terasa melingkar di pundak dengan tangan lainnya di pinggang.Yuda mendekapku.Membuatku mematung. Jantungku berdebar kencang saat begitu rapat dengan laki-laki berstatu
POV Yuda*********Kalau seperti itu, kita sudahi saja.Kita sudahi pernikahan kita.Kita, bisa akhiri hubungan ini.Akhiri hubungan kita malam ini. Jatuhkan talakmu padaku. Aku akan menerimanya dengan senang hati."Hufffhhh …." Kuhembus napas kasar.Kenapa ucapan Hilma terngiang-ngiang? Disertai bayangan wajahnya saat memintaku memutuskan pernikahan ini? Berhasil membuatku sulit tidur.Bahkan aku tidak bisa tidur hingga jam dinding di kamar ini sudah menunjukkan jam satu malam. Aku tidak mengantuk sama sekali. Padahal jam tujuh nanti, aku harus sudah berangkat bekerja.Namun suara Hilma seakan terus berdengung di telinga ini. Terutama saat dia mengatakan kekagumannya terhadap laki-laki bernama Azmi.Entah kenapa aku malah gelisah.Berguling ke kanan lalu ke kiri. Memandangi box tidur berisi si kembar. Namun tetap saja rasa kantuk tak kunjung datang.Kulihat ke arah sofa yang
"Yud, bangun, Yud!"Samar aku mendengar suara disertai tepukan pada bahuku."Bangun, udah jam enam! Gak kerja kamu?" Kembali aku mendengar suara serta guncangan cukup keras di bahuku.Mau tak mau aku akhirnya bangun seraya mengucek kedua mata bergantian.Mengitari tempatku terbangun dan aku masih di ruangan bermain. Dini hari tadi, setelah aku membaringkan Hilma dan mengecup keningnya diam-diam.Si kembar terbangun dari box tidurnya. Aku membawa mereka di ruang bermain sambil memberikan susu. Tak lama mereka pun tertidur dalam pelukan.Tapi saat ini, saat aku telah terbangun. Si kembar sudah tidak ada di sampingku. Justru berganti dengan keberadaan Ibuku."Udah jam enam. Kamu gak kerja?" tanya Ibu membuatku terkejut."Jam enam?" Aku terperanjat serta merta berdiri. Meninggalkan Ibu tanpa menjawab pertanyaannya. Melesak ke kamar utama dan secepatnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Semalaman susah
"Woyyyy! Bengong aja. Kenapa, sih?" Aku terkesiap. Satu tepukan mendarat cukup di keras di pundakku."Apa sih? Ngagetin aja, Lo!" hardikku pada Fahreza. Kepala divisi bagian pemasaran. Dia teman karibku di kantor."Mikirin apa sih? Sampai gue Dateng Lo gak tahu?!" tanyanya kemudian."Enggak ada. Gue inget si kembar di rumah," jawabku cepat.Fahreza menyikut lenganku cukup keras. Membuat tubuhku sedikit oleng ke kanan. Dia temanku yang agak usil memang."Inget ibunya kali, Lo! Bukan inget si kembar. Inget Hilma ya? Cie cie!" ledeknya persis seperti meledek pada anak SMA yang sedang jatuh cinta."Enggak! Gue inget si kembar, Za. Ngapain inget Hilma, dia udah gede!" sanggahku."Jujur aja lagi. Malu-malu kucing segalaq!" cetusnya dengan nada meledek.Aku menyambar gelas berisi jus mangga di hadapanku. Sudah masuk waktu makan siang. Aku duduk sendirian di meja kantin sebelum akhirnya Fahreza datang dan menggangguku s
POV Hilma–Srettt!Kartu undangan yang tengah kubaca, tiba-tiba ditarik begitu saja oleh Yuda. Membuatku berdiri cepat dari sofa di ruangan bermain si kembar. Yuda nampak tengah membaca undangan yang bahkan belum selesai kubaca."Apa-apaan sih! Main ambil aja. Aku belum selesai baca!" sentakku kesal. Yuda tak menyahut. Dia masih membaca undangan dari yayasan yang diantar Azmi untukku. Tidak tahu juga Azmi bisa sampai mengantarnya ke sini.Aku hendak mengambil kartu undangan itu di tangan Yuda. Namun buru-buru Yuda menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggungnya.Aku menatapnya tak mengerti. Apa-apaan dia ini?Yuda balas menatapku. Hingga dia memutusnya dengan beranjak dari hadapanku. Dia berjalan dengan kartu undangan yang masih di tangannya.Aku mengejarnya dan bermaksud merebut apa yang ada di tangannya."Kembalikan, Yud!" pintaku coba mengambil kartu undangan itu dari tangannya. Tetapi Yuda menepis. Dia terus berjalan bahkan kini telah sampai di ruang depan rumahnya."Y
"Yud, kamu kenapa? Kamu lagi sakit?""Enggak, aku gak sakit, Bu. Emang kenapa?""Tumben kamu pake sarung. Biasanya kamu pake celana denim atau boxer gitu. Udah dua hari ini, ibu liat kamu sarungan gini. Kayak anak abis disunat.""Ckk, apa sih Ibu! Ini … enak aja Bu pake sarung gini. Emm … lebih bebas bergerak."Aku yang mendengar obrolan Yuda bersama Ibunya di ruangan bermain si kembar ini, turut terkekeh pelan mendengar ucapan Bu Aida yang menyebut Yuda seperti anak habis sunat.Memang sudah dua hari ini, sepulangnya dia dari kantor, Yuda selalu mengenakan sarung dengan atasan hanya kaus singlet. Menampakkan tubuhnya yang berotot dan tentunya putih bersih.Yuda benar-benar mengira, jika aku mengagumi Azmi karena dia selalu mengenakan sarung ke mana pun. Padahal bukan hanya sebatas itu saja aku mengagumi Azmi.Yuda tidak akan pernah bisa menjadi Azmi, pun sebaliknya. Yuda adalah Yuda, dan Azmi tetaplah Azmi. Mereka tidak akan pernah bisa sama.Aku pun tidak mengerti, kenapa Yuda menir
Selepas menunaikan shalat isya, aku keluar dari mushola kecil di rumah ini. Kembali ke kamar utama untuk memeriksa si kembar yang tadi kutinggalkan karena Ayah mereka sudah pulang.Klek!Memutar knop pintu dan mendorongnya lantas masuk ke dalam kamar. Aku tertegun saat baru saja masuk.Karena harus menyaksikan Yuda tengah membenahi sarung di pinggangnya. Lebih mengejutkan lagi, tubuh atasnya yang tidak tertutup.Memperlihatkan dada bidangnya yang berotot. Serta perutnya yang kotak-kotak.Lalu wangi sampo serta sabun mandi menguar menyapa indera penciumanku.Meski aku dan dia sah sebagai suami istri. Aku dan dia juga telah halal dalam hubungan ini. Tapi tetap saja, aku merasa aneh dengan apa yang kulihat.Yuda seakan tidak mempedulikan kedatanganku. Dia masih terus membenahi sarung berwarna hitam bercorak.Bungkusan paket yang kusimpan di meja penyimpanan memang telah robek. Mungkin memang sudah dia buka.Aku masih tertegun di tempatku.Melihat Yuda saat ini memasang singletnya. Lalu m
POV Yuda.–Kuharap perempuan dengan mata teduh di hadapanku saat ini, tidak bisa mendengarkan degup jantungku yang berlomba-lomba.Berada di hadapannya sedekat ini, nyaris tanpa jarak, membuat pembuluh darahku bekerja dua kali lipat.Aku tidak suka. Aku benci. Hilma selalu menyebut-nyebut nama Azmi. Apalagi memuji sosoknya itu.Bagaimana pun juga, aku adalah suaminya yang sah.Aku menatapnya tajam. Setelah berhasil mengikis jarak di antara kami. Bahkan, aku telah menyentuh ujung hidung mancungnya saat ini."K–kamu mau apa?!" tanya Hilma terbata.Aku bisa melihat dan merasakan kegugupan yang menderanya.Apa dia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun? Sehingga bersentuhan denganku yang notabene adalah pasangan halalnya, tetap membuat dia gugup."Mau menghukum istri yang enggak sopan kayak kamu!" cetusku dengan nada mengancam.Hilma terdiam. Aku semakin menatap mata indahnya yang teduh ini.Seperti mendapatkan komando. Kepalaku bahkan telah miring. Mencari posisi yang pas, untuk membe
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y