Aku mendecih. "Karena saya tidak suka kamu merawat saya dan datang ke sini tanpa izin. Saya bisa merawat diri saya sendiri. Dan tidak perlu banyak drama, dengan mengatakan saya seolah membenci kamu.""Yakin Bapak bisa merawat diri Bapak sendiri? Tadi saja Bapak itu menggigil. Panas tubuh Bapak juga tinggi. Saya cek hampir empat puluh derajat. Saya inisiatif mengompres, dan ternyata memang bisa menurunkan panasnya. Sekarang, Bapak makan dulu ya? Saya sudah bikinkan sup ayam. Tadi A Wijaya bilang, pesanan bubur Pak Yuda gak ada, soalnya pedagang buburnya gak jualan. Jadi, saya bikinkan sup ayam sama nasi tim untuk Bapak makan siang ini." Feli menjelaskan panjang-lebar.Kuhirup napas dalam. Panas di tubuhku memang naik turun. Tapi siang ini, memang tidak begitu terasa apalagi karena keringat yang sudah keluar."Tapi saya bisa mengurus diri saya sendiri, Feli! Apa kamu tidak berpikir sebelum memasuki hunian ini? Jika di sini, hanya ada saya. Bagaimana jika orang-orang sekitar hunian ini j
🌻POV Yuda"Yud, elo ngapain si Feli, sih?!" Agus tiba-tiba datang ke kamar. Sekarang sudah malam, mereka baru saja tiba. Kemungkinan mereka sehabis lembur.Aku yang sedang melakukan panggilan dengan Hilma sontak mematikannya, lalu menaruh ponselku di samping."Ngapain apanya, sih, Gus? Dateng-dateng bukannya ngucapin salam, malah nyeruduk ke sini!" Aku tak kalah heran dengan sikap dan pertanyaan Agus.Tiba-tiba Indra datang dan menahan Agus yang semakin merangsek maju ke arah kasur yang kutempati."Elo gak tau terima kasih, Yud. Si Feli itu bela-belain izin sama Bos Angga, supaya bisa ke hunian ini, buat ngerawat Lo biar cepet sembuh. Ehh, elo malah usir dia sambil marah-marah! Gak tahu terima kasih!" celoteh Agus menggebu.Keningku mengernyit. Untungnya keadaanku sudah berangsur membaik. Setelah Feli pergi dan aku terpaksa membereskan kekacauan yang dibuatnya. Aku kembali tidur di balik selimut, membuat tubuhku berkeringat lagi dan menjadikannya lebih ringan."Udah, Gus. Gue rasa bu
🌻POV Yuda~Empat hari terbaring sakit. Hari ini aku sudah agak lebih baik. Tetap makan dan minum, serta banyak tidur. Tubuhku akhirnya pulih. Kini, aku sudah mulai masuk kerja lagi.Hubunganku dengan Agus agak renggang. Meski di antara kami sudah damai, tetapi dia seakan menjaga jarak denganku. Padahal, kami diharuskan solid selama bekerja di sini.Aku tidak paham. Kenapa Agus terkesan berada di pihak Feli, bukan berarti aku ingin dia lebih berpihak padaku. Tidak!Agus bukan lagi seperti temanku sebelum Feli ada di lingkungan kantor kami. Entah apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin memang dia menganggap Feli seperti adik perempuannya dan menjauhiku yang sudah lama dia kenal.Hari pertama kembali bekerja, aku sudah harus menghadapi lembur.Jam setengah enam petang, sebelum memulai lembur, diberikan waktu istirahat hingga selesai shalat magrib nanti.Aku keluar dari ruangan untuk mencari makan. Sebelum pergi, aku mencari temanku yang lain. Pasti mereka juga akan mencari makan petang
Aku menghentikan gerakan jemariku di atas keyboard."Lo pikir ini juga kantor nenek lo? Yang bisa seenaknya lo masuk ke ruangan gue tanpa ketuk pintu dulu, hah?" Aku balas menghardiknya.Agus terdengar mendecak. "Bisa aja lo balikin omongan gue.""Ya elo, sadar gak apa yang lo omongin? Gue emang telat masuk karena gue ke mesjid dulu. Bos Angga aja yang mimpin ini kantor gak masalah, kenapa jadi elo yang ribet, sih?" tukasku kesal bukan main."Gue sebagai teman lo, cuma mau ngingetin aja. Biar lo gak masuk sesuka hati kayak barusan. Gue gak mau kebawa jelek gara-gara elo yang gak disiplin dengan aturan kantor!" hardiknya kembali.Aku menatapnya tak mengerti. "Gak jelas, lo!" desisku pada Agus.Agus mendengkus.Brukk!Lalu dia menghempas map kuning yang sejak tadi diapit tangannya."Tuh, kerja yang bener! Jangan lo korupsi duitnya!" ujarnya dengan nada menekan. Dia lantas berbalik badan, berjalan menjauh dari mejaku hingga menghilang di balik pintu.Aku melongo.Kuraih map kuning yang b
🌻🌻POV Hilma.~Perutku tiba-tiba saja terasa mulas. Aku yang tengah tidur pun akhirnya bangun. Kulihat jam dinding di dalam kamar, sudah pukul sembilan malam ternyata.Mungkin, Yuda junior sengaja membuatku terbangun, mengingatkanku yang belum sembahyang Isya.Kulihat ke samping, si kembar nampak masih pulas bersama Omanya. Sejak Yuda berpindah kerja karena mutasi. Bu Aida selalu tidur di rumah ini, di kamar ini bersamaku dan si kembar di kasur yang sama.Beliau menjagaku lebih dari ibuku sendiri. Beruntungnya aku mendapatkan ibu mertua sepertinya.Kabar terakhir yang kudapat dari suamiku itu, jika dia baru saja sembuh dari sakitnya. Dia baru mulai bekerja lagi pagi tadi. Tuntutan pekerjaan mengharuskan kami LDR. Rindu tentu saja. Apalagi aku tengah hamil. Si junior kadang merindukan bau tubuh Ayahnya sebelum mandi. Namun, tidak suka setelah Ayahnya justru wangi.Lekas aku beringsut turun dari tempat tidur. Menjejaki lantai dan berjalan keluar dari kamar. Menuju ke arah mushola dan
"Ya Allah, astaghfirullah. Sebentar, ibu telepon Bapak dulu. Coba berbaring dulu, ya, Sayang," ujarnya lalu membantu tubuhku rebah.Aku menurut. Berbaring di kasur busa dengan perut yang masih terasa ditarik-tarik. Berbaring miring dengan punggung membungkuk. Menarik perut ke bagian dalam. Berharap posisi ini dapat meredakan sakit di perutku.Nampak Bu Aida menyambar telepon selulernya, mengutak-atik lalu mendekatkan ke telinganya.Mulai terdengar Bu Aida menggerutu. Karena Pak Candra yang mungkin tak kunjung menerima telepon darinya.Hingga tak lama, Bu Aida terdengar berbicara pada supirnya. Memintanya ke mari dengan cepat dan mengajak serta Pak Candra."Nak, kamu tahan dulu, ya. Supir ibu lagi jalan ke sini. Gak akan lama kok. Ibu mau hubungi orang tua kamu sekarang," ucapnya yang kembali mengutak-atik ponsel.Aku hanya mengangguk lemah. Bu Aida terdengar mulai berbicara dengan Ibuku. Namun sepertinya, Ibuku sedang berada di luar.Nampak Bu Aida telah selesai dengan ponselnya. Hing
~Feli memelukku.Sepersekian detik aku terpaku. Merasakan pelukannya pada tubuhku.Aku merasa, seakan Khanza yang memelukku saat ini. Dadaku berdesir, rinduku pada Khanza seakan meminta diluapkan sekarang.Tanganku telah melayang di udara. Perlahan turun menuntut untuk membelai rambut panjang Feli."Maafkan saya, Pak. Saya kecewa bapak menolak saya yang ingin merawat Bapak. Saya tidak bisa mengendalikan emosi karena penolakan Bapak. Saya minta maaf sekali lagi." Feli berucap begitu lembut dan mengiba.Tanganku semakin dekat pada kepala Feli. Aku benar-benar merasa Khanza lah yang hadir, memelukku, berbicara denganku sekarang ini.Pelukannya terasa semakin erat. Kepala Feli seakan dibiarkan bertopang di dada ini. Wangi lembut dari shampoo di rambutnya mengusik indera penciumanku.Tinggal sejengkal lagi telapak tangan ini menyentuh rambut hitamnya. Jantungku berdetak kencang. Deru napasku tak beraturan. Aku kesulitan mengendalikan diri. Rinduku pada Khanza semakin menuntut untuk tercur
Namun, saat mata ini terpejam. Wajah sendu Hilma memenuhi ingatan. Terbayang keadaannya yang tengah hamil dan jauh dariku.Aku masih memejamkan mataku. Membuat bayangan akan sosok Hilma justru semakin jelas. Dalam keadaan terpejam, senyuman manis Hilma terbayang jelas. Dia yang selalu tulus dan penuh cinta.Kebersamaanku, perjuanganku mendapatkannya, lalu kesakitan Hilma saat pernikahannya dengan Azmi harus batal. Hingga akhirnya, akulah yang datang sebagai penawar dan penyembuh luka hatinya. Aku yang memperjuangkan agar dia mencintaiku. Aku yang mengejarnya dan selalu melangitkan namanya. Semua itu terekam jelas. Layaknya roll film yang tengah diputar dalam otakku.Bahkan kini kurasakan kepala Feli yang menyandar lagi di dadaku.Cepat aku membuka mataku. Benar saja, Feli memang menyandarkan kepalanya.Kulepaskan segera tangan yang melingkar di pinggangnya. Beralih menyentuh bahunya dan menarik sekuat tenaga hingga Feli tak lagi menempel di tubuhku."Enggak. Kamu bukan Khanza. Bukan.