"Max." Arga menyebut pelan nama anak buahnya yang duduk di seberang meja kafe."Ya, Tuan." Pria yang dipanggil Max menjawab sambil menunduk. Sikapnya terlihat kaku di mata Arga."Hemh. Ayolah!" CEO muda itu mengulum senyum. "Aku bukan papa. Tuan Admaja yang dengannya kamu harus bersikap kaku." Arga menyeruput kopi yang mengepulkan asap di atas meja."Em. Em. Ya, Tuan." Max jadi salah tingkah sendiri.Arga menarik satu sudut bibirnya. Percuma ingin bersikap santai pada bawahannya tersebut. Mereka sudah distel seperti robot oleh kehidupan keluarganya."Em. Tuan. Soal Ibu Mirna ... em, beliau ke kantor polisi." Max mengucap ragu. Pasalnya Arga memintanya untuk menghentikan pengintaian. Namun, ia merasa perlu bercerita sebab selama ini wanita itu mencurigai Arga sebagai pelaku pemerkosaan."Hemh. Sudah kubilang tidak usah dilanjutkan." Lagi Arga tersenyum."Ya, Tuan." Max mendadak gemetar. Takut jika sekarang Arga akan murka dan memarahinya. Namun, ketika mencuri pandang, pria di depann
"Maaf ada yang bisa kami bantu?" tanya Arga begitu mendekat pada tamu-tamunya.Polisi menyodorkan surat yang dibawa pada sang pemilik rumah. Arga meraihnya dengan mata memicing. Memfokuskan pandangan, sekilas ia terhenyak ketika mendapati sebuah nama. Surat tersebut ditujukan untuk Arya, kakaknya."Eum. Arya?" Arga bingung akan menanyakan apa pada pembawa surat."Yah, ada seseorang yang melaporkan bahwa beliau buronan yang menggunakan nama Psyco Man." Salah seorang polisi menjawab."Psyco Man?" Arga makin terkejut. Begitu pun Anya yang ada di belakangnya. "Tap-tapi ... apa ada bukti?"Begitu pun Anya. Matanya melebar. Tak menyangka jika penulis yang ia kagumi selama ini ada di dekatnya. Mereka bahkan tinggal satu atap."Hem. Kami juga dapat surat izin penggeledahan. Kalau begitu boleh kami masuk?" sambung polisi."Oh ... tapi kakak saya sedang tidak berada di rumah." Arga menyampaikan keberatan."Maaf, ini perintah." Polisi kembali bicara. Mau tak mau Arga harus memberi izin pada mere
"Kami mendapatkan video ini dari Ibu Mira yang melaporkan kasusnya."Anya semakin terkejut. "Ibu?!""An, semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan." Arga yang sadar akan keterkejutan Anya memegang lengan sang istri. Namun, Anya refleks menepisnya pelan. "An?" Arga kecewa, bahkan Anya langsung mencurigainya. "Pak! Anda tidak bisa langsung mengatakan itu adalah saya!" protes Arga yang merasa kesal, karena ulah polisi Anya berpikir buruk tentangnya. "Apa Ibu Mira baik-baik saja?" Kecemasan tiba-tiba datang. Entah kenapa Anya memiliki firasat buruk tentang ibunya.Lebih menyesakkan jika ternyata Arga yang menjebak calon istrinya sendiri di kamar hotel. Bagaimana ia akan menata hatinya sekarang? Di saat bunga cinta sedang mekar-mekarnya. Anya benar-benar telah jatuh cinta pada Arga, tapi di saat yang sama kasus ibunya mencuat dan menyeret nama sang suami. "Kami baru mendapat laporan kemarin, jadi baru memprosesnya." Polisi melihat Anya dan Arga secara bergantian. "Jadi Arga tidak a
"Ada apa, Om?" Anya sangat penasaran ketika nama ibunya disebut.Arga menutup telepon. Merespon pertanyaan Anya kemudian. "An ... Ibu kamu pernah terlibat proyek perusahaan di Bukit Tinggi.""Sebentar." Anya tampak berpikir. "Itu salah satu proyek yang viral di medsos karena cuitan Psycho Man dan banyaknya berita dari korban masyarakat sekitar.""Betul, proyek itu juga yang tadi siang kubatalkan atas laporan Max.""Jadi ibu pelakunya ...?""Bukan, bukan seperti itu, An. Ibumu yang dulu menjabat jadi manajer dan mengahndle banyak hal saat aku dan papa tidak ada, lebih tepatnya saat kami sedang mengerjakan yang lain. Ibumu tahu bahwa proyek itu merugikan banyak pihak makanya dicancle. Yang jadi masalah sekarang, kejadian tersebut hampir berbarengan dengan kasus perkosaan yang menimpanya di kamar hotel.""Lalu?" Anya sangat antusias. Kecemasan mulai bergelayut dalam pikiran. Jika dua kasus tersebut ada kaitannya, bukankah ibunya sekarang ada dalam bahaya. Sebab, kasus Bukit Tinggi melib
Anya melongok ke luar mobil, memperhatikan gedung mewah tinggi di depannya. Baru sekarang dia melihat tempat di mana sang ibu tinggal."Ini apa?" tanya Anya pada Arga yang baru mematikan mesin."Ini apartemen keluarga kami. Kosong bertahun-tahun, tapi dimainantance oleh sebuah agency," jawab pria itu datar."Sayang sekali, kenapa tidak disewakan?" Anya bukan lah gadis yang tumbuh di keluarga konglomerat. Ia tahu bagaimana perjuangan hidup dari Mira membesarkannya seorang diri. Hingga dewasa, Anya bertekad akan menggantikan posisi ibunya. Melihat rumah megah tanpa penghuni, selama bertahun-tahun pula membuat jiwa miskinnya meronta. Jika dia di posisi keluarga Arga tentu akan berpikir bagaimana memanfaatkannya agar tak sia-sia."Hem, untuk apa? Uang? Uang kami sudah banyak." Arga memiringkan senyum. Membuat Anya mendecih karenanya. Enteng sekali pria itu bicara. Mungkin karena sekali pun pria tampan yang bersamanya tak pernah hidup susah."Kamu tetap di sini. Aku tidak mau ada apa-apa
Anya tidak bisa menyembunyikan lagi kecemasannya. Wanita itu mendesah lelah. Baru saja akan bahagia bersama Arga yang mencintainya, kini datang lagi masalah baru yang tak bisa dikata kecil. "Pak, apartemen itu adalah tempat tinggal ibu saya." Anya menggebu mengatakan pada polisi. Ia sangat takut jika mayat tersebut adalah ibunya, Mira."Ibu Mira yang anda laporkan hilang?" Polisi mengerutkan kening. Rasanya aneh, jika yang dipikirkan polisi itu adalah benar. Ya, ini sebuah kebetulan yang aneh."Iya." Cepat Anya menjawab, seiring langkah Arga yang mendekat padanya. Tak mampu membayangkan hal buruk mengenai Mira, waanita yang memakai jaket menutupi gamis dan khimar lebarnya itu akhirnya menangis."Tolong, segera proses! Ini bukan hal main-main," pinta Arga yang sudah berdiri bersebelahan dengan Anya menghadap polisi."Ya tentu saja." Polisi menjawab mantap. "Baik. Ndan! Jon!" Polisi tampak berseru pada rekannya di dalam.Namun, Arga terkejut saat wanita di sampingnya tiba-tiba hilang
Seorang polisi menelengkan kepala pada opsir. Memberi perintah agar membawa Arya masuk ke dalam sel sementara kasusnya kembali diproses."Tunggu!" seru Arya. Sang mama sontak melihat pada anaknya. Lelaki itu sepertinya tak mau tinggal di sel."Hem?" Polisi menyipitkan mata. Apa lagi yang Arya maui sekarang? Kembali ceramah? Atau justru bikin onar dengan mengelabui petugas. Ia merasa perlu bersiap menghadapi pelaku yang sudah masuk ke kantor mereka."Aku ingin bertanya. Apa kasus yang sudah ditutup bisa dibuka kembali?" tanya Arya. Ia ingin membersihkan namanya di masa lalu. Setelah penangkapan ini, kasusnya pasti akan mencuat ke publik. Dan mereka akan tahu jati diri Psycho Man sebenarnya.Polisi di depan Arya memandang rekan yang sudah menatapnya dari kursi lain."Jawablah," ucap pria tersebut pada polisi do hadapan Arya."Tergantung. Jik Anda memang ingin membuka kasusnya kembali, lakukan pelaporan. Tapi setelah anda bukan laki tersangka." Polisi itu menaikkan sebelah bibirnya yang
Setelah mendapat panggilan dari sang ibu, akhirnya Anya menyimpan ponsel. Meski Mira mengatakan baik-bak saja dan puterinya tak perlu khawatir, sisi manusiawinya menolak. Cemas dan takut berlebihan. Satu-satunya keluarga yang dimiliki tengah terancam nyawa sekarang."Ada apa sebenarnya? Semoga biang kerok dari semua masalah ini cepat tertangkap!" ucapnya dengan nada kesal."Tunggu!" Arga meminta Anya tak menyimpan ponsel."Hem?" Anya keheranan. Namun, ia pasrah kala tangan Arga mengambil ponselnya.Dengan serius, pria berwajah oriental tersebut menggeser layar. Anya tahu, pasti ada sesuatu yang sedang Arga upayakan sekarang, tapi ia tak tahu apa?"Apa terjadi sesuatu?" Anya bertanya ragu dan pelan."Em." Sementara sibuk dengan ponselnya, tak menjawab pertanyaan Anya. Begitu mendapatkan sesuatu yang dicari, Arga beralih mengambil ponselnya sendiri. Lalu memindah angka-angka dari satu ponsel ke ponsel yang lain."Hallo!" Arga menghubungi seseorang. "Periksa lokasinya. Nomornya sudah ku
Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l
Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den
Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat
"Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya
"Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah
"Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin
"Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah
"Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa
"Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s