"Bagaimana bisa kau tidak menemukan pelakunya? Polisi macam apa kau?" bentak Roy sambil menarik kerah baju Reno, polisi yang sempat mengejeknya di rumah tahanan.
Reno berusaha menepis tangan Roy yang masih menggenggam kerah kemejanya. "Lepaskan! Siapa kau berani sekali membentakku? Kau bahkan dengan sangat lancang menarik bajuku!" balas Reno marah.
"Bagaimana mungkin polisi yang sudah berkiprah bertahun-tahun tidak bisa menemukan pelaku penembakan istriku padahal kalian di satu tempat!"
"Itu bisa saja terjadi! Lagipula kau yang membiarkan Gera bermain di taman. Kenapa kau tidak kurung saja peliharaanmu itu?" timpal Reno keras.
Roy terdiam mendengar apa yang pria ini katakan. Ia mendekati Reno dengan langkah perlahan. "Berani sekali kau mengatakan istriku sebagai peliharaan!" ujar Roy menggeram.
Tubuh Reno sedikit terpental sa
"Katakan secepatnya Luis! Aku sudah tidak sabar." Roy kesal karena Luis masih saja memberinya teka-teki perihal pelaku penembakan Gera. Luis ingin sekali tertawa melihat wajah geram Roy. Tapi ini bukan permainan, ini masalah serius. "Baiklah. Orangnya adalah Reno. Toni punya rekamannya. Saat itu Steve yang menangkap Reno tentunya dengan bantuan mainan listrik andalan kami. Jangan bertanya sekarang, pulanglah sebentar dan Toni akan menceritakan skema permainan polisi licik itu!" terang Luis. Sebelum pulang ia meminta pada Roy untuk mengizinkannya melihat temannya sebentar. "Maaf, aku tidak bisa menjagamu, Ge. Bertahanlah! Banyak orang yang menunggumu di sini. Kami semua merindukanmu," gumam Luis. Ia sangat sedih dan menyesal disaat bersamaan ketika melihat kondisi temannya ini. Mereka harus meluruskan sedikit masalah sekarang. Roy ikut bersama Luis untuk pulang. Ia tak sabar ingin
Kehidupan Gera dan Roy berjalan harmonis. Di mana setiap hari Gera kembali bekerja menjadi sekretaris Roy. Sangat banyak orang yang iri akan posisi juga kedudukan Gera di hati Roy. Tapi tak sedikit juga yang merasa Gera memang pantas mendapatkan itu. Karena selain cantik dan menawan, dia juga merupakan pribadi yang sangat baik dan dermawan. "Sayang, kita akan rapat sebentar lagi. Kau harus makan terlebih dahulu," seru Gera saat masuk ke ruangan Roy. Pria itu melihat istrinya bingung. "Rapat? Aku kira hari ini kosong. Bagaimana dengan anak-anak?" "Aku sudah menelpon Luis untuk menjemput mereka. Sekalian menjemput Clay katanya," jawab Gera. Pria itu menyayangkan agenda mereka setelah ini. Awalnya dia berencana untuk memboyong Gera menuju salah satu hotel untuk menenangkan otak mereka yang akhir-akhir ini dipenuhi pekerjaan. Tapi sayang, semuanya harus berakhir mengecewakan.
Matanya terasa sangat panas karena menampung cairan yang sudah terjun bebas membasahi pipi cantiknya. Mulutnya bergetar menahan tangis. Dengan langkah bimbang Gera menghampiri ranjang tersebut. Kakinya terasa sangat berat tapi harus tetap ia lanjutkan. "R-Roy," lirih Gera dengan suara yang bergetar. Ia menutup mulutnya dan terduduk lemas di lantai kamar hotel tersebut. Ia berteriak dan meraung-raung dalam hati. Tenggorokannya tercekat dan terasa sangat sakit. Berkali-kali dia menggeleng dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Tidak mungkin itu Roy. Ini salah!" batin Gera sambil menggeleng keras, berusaha menepis kenyataan yang ia lihat saat ini. Dengan lemah ia mencoba berdiri. Tangisnya lagi-lagi pecah saat melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Dia benar-benar tidak percaya. Roy dan Lira sedang tidur berdekatan, dan yang lebih parah mereka tidur dalam keadaan tanpa be
Dua bulan berlalu.... "Sayang, bersiaplah! Anak-anak juga sudah siap. Kita akan makan bersama di luar," seru Roy menyuruh Gera dari lantai bawah. Triplets sudah tidak sabar ingin pergi jalan-jalan bersama orang tuanya. Sudah lumayan lama mereka tidak rekreasi bersama. Karena Gera lumayan lama di atas, Ray berinisiatif untuk memanggil Mamanya. Dengan langkah lebar tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk sampai di kamar orang tuanya. "Ma, apa belum selesai?" "Sudah. Ayo!" ajak Gera dengan penampilan elegannya. Saat mata Roy menangkap kehadiran Gera, mulutnya sampai menganga terpukau melihat bagaimana anggunnya seorang Gera. "Ayo!" ajak Rico tak sabar. "Tunggu! Papa masih ingin memuji Mama kalian," lirih Roy tanpa melepas pandangan dari Gera. Tapi sejak bermasalah dengan Lira kala itu, Gera sedikit menjaga sikap pada Roy. "Kau sangat cantik, sayang," bisik Roy sembari memeluk Gera erat. Sesekali ia mencium leher jenjang istrinya dengan sedikit sapuan napas hangat Ro
Dengan santai Roy mengambil jasnya dan menutupi tubuh Gera yang terbuka saat ini. Lalu Roy mengambil baju Gera yang berserakan setelah itu memakaikannya pada Gera. "Apa masalahmu dengan kegiatan kami? Apa pun yang mau aku dan Gera lakukan ya terserah. Kau bukan siapa-siapa yang harus kuperhitungkan di dalam kehidupanku," terang Roy menohok. Lira semakin mengepal geram melihat bagaimana Roy memakaikan Gera pakaiannya dengan sangat lembut. "Roy! Aku sedang mengandung anakmu!" serunya dengan sura keras. "Walaupun kau memang mengandung anakku, itu tidak akan mengubah kenyataan kalau Gera adalah istriku! Kau siapa mencoba mengaturku?" bentak Roy. Tatapan Lira terus saja nyalang melihat Gera. "Dasar wanita tak tahu diri!" Roy berseru marah. Lira melangkah cepat mendekati Gera yang saat ini berada di samping Roy. Segera pria itu berdiri menghalangi Lira. "Jangan menghalangiku, Roy! Wanita ini pantas dilenyapkan!"&n
Tahun demi tahun berlalu, triplets sekarang sudah genap berusia 20 tahun. Ketiganya memutuskan untuk melanjutkan perguruan tinggi di Indonesia, walaupun beberapa kali Roy membujuk mereka agar mau kuliah di luar. Terlebih Rico, dia menolak keras untuk jauh dari Roy dan Gera. Mereka tahu, Mama dan Papa mereka tidak membutuhkan perlindungan karena Roy dan Gera memang masih sangat muda dan energik. Tetapi triplets memang belum siap untuk hidup berpisah dari keduanya. "Pa, jangan memaksa kami. Biarkan kami memutuskan semuanya sendiri karena Ray dan juga adik-adik sudah dewasa sekarang." Itulah yang Ray katakan ketika beberapa kali Roy membujuk bahkan sedikit memaksa anak-anaknya untuk kuliah dikancah internasional. Gera setuju dengan keputusan anak-anaknya, walaupun dia tahu hal ini pasti akan berimbas pada sikap mereka yang akan sedikit sulit untuk bisa hidup mandiri. Tetapi dia harus percaya pada triplets mengingat dari keci
"Kenapa kau datang kemari? Dan bagaimana bisa kau kemari?" Rico menginterogasi Leana saat menemukan wanita itu sudah duduk manis di sofa tempat tinggal mereka. Gadis itu hanya menunduk malu melihat Rico tampak malas melihat kehadirannya di sini. "Maafkan aku, Tante Gera yang menyuruhku kemari. Jika kau tidak mau melihatku di sini, aku akan pergi sekarang juga." Leana mengambil tasnya dan segera berdiri. Namun belum juga dia melangkah, Rico menarik tangannya dan membuat gadis itu terduduk kembali di sofa. "Diamlah. Perjalanan ke sini lumayan jauh, kau pasti lelah. Diam dan jangan membuat ribut," ujar Rico dingin. Leana tersipu malu dan menunduk mendengar apa yang Rico katakan. Sedikit rasa perhatian yang terbersit dalam kata-kata dingin Rico. "Terima kasih," ujarnya lirih. Beberapa menit berjalan, hanya suara televisi yang mendominasi ruangan ini. Rico dan Leana hanya diam tanpa saling melihat. "Kakak-kakakmu
Kebiasaan Lea setiap hari adalah belajar di perpustakaan kampus. Setiap jam istirahat, waktu yang kosong dia manfaatkan untuk belajar, bukan yang lain. Sejak pulang dari rumah kediaman keluarga triplets, dia tidak pernah lagi mau mengusik kehidupan mereka walaupun bersama Gera dan keluarga rasanya sangat membuat Lea nyaman, seperti menemukan keluarga sendiri. Bahkan beberapa hari kemudian, Luis datang ke rumah sewanya untuk mengantarkan oleh-oleh yang katanya titipan dari Gera. Ada satu kardus besar barang yang dibawa Luis untuknya. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga berbagai macam souvenir dan makanan ringan. Dia tahu, Gera memang wanita yang sangat baik, termasuk padanya juga. "Hei! Kau belajar terus, memang bisa pintar?" Lea tersentak kaget saat seseorang mengejutkannya. Dia hanya mendelik menatap Rico yang kini sudah duduk di sampingnya. "Jangan menggangguku. Aku ingin belajar sendiri. Masih banyak tempat, kau bisa duduk di mana saja," timpal Le
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid