"Aku merasa tidak nyaman dengan perutku. Terasa sakit saat bergerak," kata Gera. Luis dan Roy saling melihat. Mereka sama-sama takut.
"Apa dokter tidak mengatakan apapun yang bersangkutan dengan apa yang aku alami?" tanya Gera lagi.
"Ma-maaf, sayang. Kata dokter kau baik-baik saja. Dan akan bisa pulang beberapa hari lagi. Kau tenanglah. Itu akan membaik dan pulih dengan cepat," jawab Roy tegang.
Mereka berdua bercengkrama, melupakan masalah-masalah yang telah terjadi.
"Aku sangat merindukanmu, Gera!" Ini sudah kesekian kalinya Roy mengatakan itu. Ia peluk erat tubuh Gera tanpa rasa malu walaupun ditonton oleh Luis.
Gera memberontak karena merasa sesak. Ia bahagia, tentu saja. "Roy, kau membuatku sulit bernapas!" Gera tertawa cekikikan.
"Masuk saja!" ujar Roy. Luis segera berdiri dan menyambut. Ternyata dokter yang datang.
"Ma
"Luis, tutupi dulu tubuhnya! Kau suka sekali melihat itu. Aku jijik. Ada kotoran dimana-mana." Clay memalingkan wajahnya dari wanita yang sekarang masih berontak itu. "Kau saja, Clay!" timpal Luis. "Big no, Luis! Aku tidak mau! Kau saja." Luis geleng-geleng kepala lalu mengambil kain kotor di belakang mobil untuk menutupi tubuh wanita gila itu. "Jangan menyentuhku!" Dinda memberontak. Luis terkekeh. "Cih! Kau kira aku sudi menyentuhkan tangan bersihku pada tubuh kotor dan menjijikkan milikmu? Jelas saja tidak!" "Kau gila, Luis! Lepaskan aku! Untuk apa kau menyeretku? Lalu mau kau bawa ke mana aku?" Dinda terus saja memekik tak jelas. Luis dan Clay geram. "Kenapa kau bising sekali, Nona?" tanya Clay. "Diam kau!" seru Dinda menyela ucapan Clay. Wanita itu benar-benar keras kepala. Luis kesal karena dia tak mau juga diam. Ban mobil berdecit mendada
Kaca ruangan pecah berkeping-keping. Roy panik. Peluru itu mengarah ke Gera dan sedikit saja meleset, Gera bisa dipastikan tiada. Namun, bahu Luis yang terkena peluru itu. "Luis!" Gera histeris. Ia panik melihat darah yang mengalir deras dari bahu kiri temannya ini. "Roy, bantu aku!" seru Gera memanggil Roy. Dengan cepat Roy menghampiri Gera dan membantu memapah Luis. "Tahan, Luis." "Iya, Boss. Ini tak terasa. Hanya sedikit nyeri saja," ujar Luis menyembunyikan sakitnya. Roy tak membiarkan satu orang pun keluar dari pintu rumah. Untuk mengobati Luis, ia menelpon ambulance agar datang. Karena kondisi seperti ini berbahaya dan cukup mengancam bagi Roy, tanpa menunggu lama ia menelpon seseorang dan mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sel
Gera pusing terus memikirkan apa yang akan terjadi pada Roy nanti. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dan menghampiri Clay."Clay, bagaimana Luis?" tanya Gera. Alih-alih menjawab, Clay hanya melihat Gera dengan tatapan aneh dan senyum penuh misteri. Gera dengan wajah polosnya ikut menatap aneh pada Clay."Kau? Ada apa, Clay?" tanya Gera bingung."Aku masih syock!" jawab Clay berpura-pura dengan wajah pilu.Sontak Gera langsung panik. "Astaga, Clay! Apa yang terjadi? Apa orang-orangnya Devan melukaimu? Kau baik-baik saja kan?" Gera bertanya tanpa jeda. Clay hanya bisa tertawa geleng-geleng melihatnya."Aku syok karena kamu, Ge! Bukan karena Devan atau orang lain," ujar Clay. Ia tertawa terbahak-bahak. Membuat Gera semakin bingung.
Pelan namun pasti, jarak di antara mereka semakin terkikis. Gera bisa mencium aroma tubuh Roy yang membuatnya mabuk setiap kali mencium aroma itu. Bahkan deru napas Roy juga bisa ia rasakan. "Roy...." Namun Roy tidak peduli akan apa yang Gera katakan. Ia hanya ingin merasakan bibir berisi itu. "Kau tahu, kau sudah membuatku gila, sayang! Aku benar-benar tidak bisa tanpamu," gumam Roy membisikkan Gera. "Aku juga gila karena memikirkanmu! Kau menyebalkan, Roy!" balas Gera dengan senyum manisnya. Roy semakin mempererat dekapannya. Walaupun lukanya masih basah dan tentu saja akan terasa sangat perih. Namun Roy harus menahan itu demi rasa rindunya pada Gera. "Jangan, Roy. Kau masih sakit. Itu akan memperparah lukamu nanti. Kau bisa melakukannya saat lukanya sudah mengering nanti." Gera menghentikan tangan Roy yang bergerak untuk memeluknya. "Aku sudah sembuh. Bahkan rasa sakitnya tidak terasa. Kau sendiri tahu aku adalah
"Bicaralah, sayang," suruh Roy. Gera menghela napas pelan. Ia terlihat berpikir sebelum menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada Roy. "Roy. Kau pasti ingat, beberapa jam yang lalu aku bilang, kalau kau sampai terluka lagi akibat permainan kita tadi, aku akan berhenti melakukan itu," lirih Gera gugup. Tetapi Roy masih bisa mendengarnya. Roy menatap Gera dalam. "Ge, kurasa itu tidak perlu. Untuk apa? Kau sangat childish!" Suara Roy meninggi membuat Gera menatap tajam. "Childish kamu bilang? Astaga, Roy! Karena itu kamu jadi semakin terluka bahkan tadi sampai pendarahan. Kamu santai, tapi aku gila melihat kondisi kamu yang semakin memburuk!" balas Gera tak kalah dengan suara tingginya. Roy terkekeh. "Sayang, apa yang kamu katakan tidak akan mudah untuk dilewati begitu saja. Aku akan sulit menyalurkan hasratku tanpa bantuan kamu," ujar Roy memelankan suaranya. "Roy, dewasal
"Ge, kau sudah bangun?" Roy membuka matanya menyesuaikan cahaya yang masuk.Gera mengangguk. Ia tersenyum sembari memainkan rambut Roy. "Maafkan aku, sayang," ujar Roy untuk yang kesekian kalinya."Lupakanlah, Roy. Aku yang salah," timpal Gera."Roy, kau bisa terluka lagi nanti," lirih Gera saat Roy berusaha menggapai wajahnya."Aku janji, tidak akan kelepasan. Aku akan mengontrol diriku, Ge. Tapi tolong, jangan menjauhiku," pinta Roy lirih. Gera mengangguk."Aku mencintaimu, Gera." Mendengar itu, entah darimana datangnya perasaan Gera yang bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang nan gaduh. Entah, air mata Gera menetes begitu saja. Ia terharu. Juga tak menyangka bagaimana bisa seorang Aroy mengatakan itu padanya."Jangan bercanda, Roy! Ini
"Gera?" Baik Roy ataupun Luis terkejut. Pasalnya, Gera sebelumnya tidak mengetahui dimana Dinda disekap. Dengan tubuh gemetar, Gera masuk ke ruangan itu dan mendekat ke arah dimana Dinda, Luis, dan Roy berada. Luis sendiri sedikit cemas kalau Gera akan membatalkan eksekusi Dinda. "Ge, aku mohon tolong aku! Bantu aku, Ge. Hanya kamu yang bisa melepaskan aku dari Roy." Dinda merengek dengan air mata yang sudah membasahi wajah pucatnya. Gera duduk berjongkok menyetarakan dirinya dengan wanita jahat yang sudah membuat janinnya pergi dari dunia. Ia melihat Dinda dengan wajah miris dan terlihat sangat sedih. "Pasti, Dinda. Aku pasti akan membantumu," ujar Gera. Roy dan Luis tak tahu harus bagaimana. Masalahnya adalah, mereka tidak berani membantah Gera. Terlebih sekarang dia dalam masa pemulihan. "Ge, jangan mendengarnya. Kau terlalu polos. Kau tidak bisa melihat senyuman liciknya di bali
Wajah Gera menegang ketika mengetahui Roy sudah berdiri di belakangnya. Ia kikuk dan terasa kaku untuk sekedar menjawab. Bahkan ia tak berani mengangkat kepalanya. "Ge, jawablah! Siapa yang meneleponmu?" desak Roy sembari menggoyang tubuh Gera agar menjawab rasa penasarannya. Gera menggeleng kikuk. "Bukan siapa-siapa, Roy. Hanya keluargaku. Mereka memberitahu bahwa Bibiku sedang sakit," jawab Gera canggung. Roy mengangguk-ngangguk. Tetapi itu tidak membuat Gera lega dan tenang. "Kau yakin?" tanya Roy lagi semakin mendekatkan wajahnya pada Gera. "Ten-tentu saja aku yakin, Roy," Gera menjawab dengan terbata-bata. "Dan aku mohon, tolong izinkan aku untuk pergi mengunjungi keluargaku besok." Gera tak berani berucap lantang. Namun Roy masih bisa mendengar walaupun wanita ini hanya lirihan saja. Pria itu nampak berpikir keras. "Oke. Akan ku antar beso
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid