"Sudahlah, Ge. Masuklah ke ruanganmu. Tidak penting siapa dia. Kau hanya menambah beban pikiranmu saja. Lagian kau tak perlu memikirkan hal seperti ini. Just enjoy it!"
Gera tersenyum. Ternyata masih ada segelintir orang yang mau berbaik hati menyemangatinya. Namun hatinya tetap tak bisa tenang. Ia terus saja memikirkan siapa orang yang sudah menyebarkan berita seperti itu.
"Heh, ternyata wanita bayaran Boss sudah datang," ujar Dinda saat Gera melewatinya.
Langkah Gera terhenti mendengar itu. "Bisa kau ulangi kalimatmu tadi?"
"Wanita bayaran Boss sudah datang. Apa kau tersinggung? Itu kenyataannya, bukan?"
Ternyata masuk kantor tanpa Roy akan berakibat seperti ini. Hatinya sangat ngilu. Belum setengah jam ia menginjakkan kakiny
"Dinda, segera masuk ke ruangan saya!" Roy memanggilnya melalui telepon kantor. Sementara Dinda, ia tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana konsekuensinya? Sebelumnya dia dihukum dengan cara yang terbilang enak bagi dirinya. Walaupun ia digilir oleh beberapa anak buah Roy. "Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan ketika berada dalam ruangan. Bukannya Roy menjawab, ia menatap tajam. Matanya menusuk berusaha masuk ke dalam mata Dinda. Mata itu seakan dipenuhi kabut amarah. "Roy, ini tak perlu,"Gera berusaha membujuk Roy agar tidak memperpanjang masalah. "Kau tak perlu takut, Ge. Biarkan Roy yang mengurus wanita kurang ajar itu," ujar Clay sembari memegang pundak Gera yang bergetar karena terisak. "Sayang, kau tak perlu takut. Aku di sini. Wanita rendahan seperti dia yang berusaha menyiksamu?" Gera bukannya takut pada Dinda. Hanya saj
Pagi ini Roy sangat sibuk karena akan ada rapat besar di kantornya. Gera pun ikut sibuk membantu. Roy sudah memecat Dinda kemarin. Ia tak mau membuat Gera semakin tertekan kalau saja ia jadi menghukum Dinda."Maaf membuatmu repot, Ge. Dinda sudah kupecat kemarin. Aku tidak mau dia melukaimu lagi," Gera terenyuh mendengar apa yang Roy katakan."Kasihan dia, Roy. Kenapa harus kau pecat?" Sebenarnya Gera juga kesal dengan wanita itu. Entah karena apa. Tetapi masih ada rasa kasihan dalam diri Gera. Ia tidak sejahat itu untuk bahagia melihat orang lain kesusahan.Roy menyilangkan lengannya ke depan. "Aku tidak hanya memecatnya. Tapi aku juga memblacklist nama dia di beberapa perusahaan besar di kota ini. Dia sudah berani menentangku, jadi sekarang nikmatilah akibatnya," ujar Roy santai."Kau sangat tega, Roy." &
"Apa yang ingin kau beritahu padaku, Clay?" tanya Gera saat mereka makan siang. Clay memicingkan mata menatap Gera. "Wow, sepertinya ada yang semangat banget hari ini. Udah dapet asupan, Bun?" goda Clay membuat Gera tersipu malu. "Clay, ayolah. Jangan menggodaku! Cepat katakan apa yang ingin kau beritahu. Waktu kita mepet loh ini," desak Gera sekaligus mengalihkan pembicaraan. "Oke... Jangan marah." "Ge, ini tentang Dinda. Dan kamu nggak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritakan sekarang," ujar Clay serius. Gera dibuat semakin penasaran. Refleks, ia mendekatkan wajahnya kepada Clay. "Kemarin, dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, aku nekat ikutin Dinda waktu pulang kerja." "Terus?" tanya Gera semakin penasaran. "Dan ya Tuhan, dia ternyata main sihir-sihiran gitu... Aku inget betul cerita kamu waktu dianiaya sama Dinda waktu itu, kamu bilang nggak bisa ngelawan atau pun berontak sedikit pun, k
Mendengar nama itu membuat Gera lemas tak berselera. Gera menggeleng lemah. "Tidak. Sudah lumayan lama berhenti." "What? Kenapa, Ge? Aku kira kalian baik-baik saja," ujar Alvin. Gera nampak ragu. Tetapi ia ingin sekali mengeluarkan cerita itu untuk didengar oleh Alvin. Ia lelah memendamnya sendiri. Dan mungkin ini saatnya ia berbagi. "Adit selingkuh. Dan aku mergokin dia melakukan hal menjijikkan," tutur Gera. "Tunggu, maksud kamu, dia meniduri wanita lain?" tanya Alvin semakin penasaran. Gera mengangguk. "Ya. Aku hancur saat melihat bagaimana dia bersatu dengan Andin. Penuh peluh dan menjijikkan," Air mata lolos dari mata Gera. "Andin? Teman baik kamu dulu?" tanya Alvin lagi. Gera mengangguk. "Gila si Adit. Kamu jangan nangis, Ge. Kamu sudah mengambil keputusan yang sangat tepat dengan meninggalkan dia." Gera sekali lagi mengangguk lemas
Tangan kokoh Roy mencengkram kuat rahang Gera. Dia tak bisa melawan karena sudah jelas akan kalah. "Sakit, Roy. Hentikan," lirih Gera."Tidak akan! Kau sudah membuatku marah.""Selama ini aku berusaha lembut kepadamu. Berhenti memaksamu dan mencoba mengerti posisimu. Tapi ini balasannya! Kau... astaga!" Roy mengacak rambutnya frustasi. Gera yang melihat itu semakin takut. Ia semakin terisak. "Maafkan aku, Roy. Dia hanya temanku. Aku tidak memiliki perasaan apapun untuknya. Murni hanya hubungan pertemanan." Gera masih berusaha menjelaskan pada Roy.Tatapan tajam melayang untuk Gera. "Tidak dengan dia, Gera. Aku bisa melihat cara dia menatapmu. Dan jika kau ingin pergi kau bisa memberitahuku terlebih dahulu," bentak Roy kasar. Pipi mulus itu sudah memerah karena Roy. I
Terus terang saja, Luis prihatin dengan kondisi Gera yang saat ini mengalami trauma ringan. Ia juga sangat kasihan melihat Tuannya yang terlihat sangat sedih karena kata-kata Gera. Tatapan Gera beralih menatap Luis. "Luis... Luiss... Tolong aku! Antar aku pulang. Aku tidak mau di sini bersama dia! Dia sudah berbuat kasar padaku, Luis." Gera ingin bergerak, namun tubuhnya terasa remuk. Terutama di bagian kewanitaannya. "Aw, sakit... kenapa ini terasa sangat sakit?""Maaf... Maafkan aku, Ge. Aku menyesal," ujar Roy terbata-bata."Ayo Luis bantu aku! Tolong bawa aku pergi dari sini. Aku ingin pulang. Aku takut, Luis. Jika kau tak membawaku pergi, nanti dia akan menyiksaku lagi." Luis merasa iba melihat Gera yang merengek meminta bantuannya. Tapi itu tidak mungkin.
Dengan keras Roy melemparkan botol minuman keras yang sudah kosong ke sembarang arah."Aku harus bagaimana, Ge? Kau membuatku gila!" Roy kehilangan akal setiap kali mengingat Gera yang menolaknya keras."Aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan padamu!" Teriaknya lagi. Ia menjelaskan seolah ada Gera di depannya. Dengan kasar ia menggebrak meja dan berteriak sekencang-kencangnya. Tak akan ada yang mendengarnya, sebab disana sangat bising hingga membuat suaranya tertelan dentuman musik.*** Sudah berjam-jam Gera menunggu kepulangan Roy, namun yang ditunggu belum juga pulang. Membuat Gera merasa sedikit resah."Roy, kau dimana? Astaga!" Gera menghentak-hentakkan kaki pincangnya kesal. M
Pagi itu Gera berangkat bersama Roy. Karena kebetulan akan ada meeting bersama Devan. "Roy, bisakah kau berjalan sedikit pelan? Langkahmu sangat panjang," tegur Gera kesal. Ia tak bisa menyetarakan langkahnya dengan Roy. "Kita harus meeting, Gera," Roy menimpali tanpa melihat Gera yang mengejar dari arah belakang. "Tunggu! Roy! Tunggu!" Langkah Roy terhenti. Saat menghadap belakang, ia mendapati Gera yang ngos-ngosan. "Kau membuatku berlari! Jika aku lelah sepagi ini, aku tidak akan bisa fokus bekerja nanti. Kau menyebalkan, Roy!" Kantor masih sepi, namun mereka sudah terburu-buru. Roy memutar kepala malas. Ia segera menghampiri Gera yang tengah berjongkok di sana. "Sini kugendong!" Tanpa menunggu persetujuan Gera, Roy mengangkat dan menggendongnya. "Roy! Aku bisa jalan sendiri. Lepaskan!" Gera menjerit-jerit dan memukul punggung kokoh Roy. "Turunkan ak
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid