Suara besar mengagetkan Andira, dia langsung berdiri dari duduknya bersamaan dengan Randy yang juga terkejut. Pintu kaca itu terbuka dengan keras dan Raisi berdiri tepat di bingkai pintu. Dia berhenti di sana. Andira dan Randy memandang ke arah Raisi.
Raisi menatap Andira, begitupun sebaliknya.
"Aku ingin bicara denganmu." Arah mata dan bicaranya menatap ke arah Andira. Dan Andira dia menoleh ke arah Randy yang juga menoleh ke arahnya. Randy paham dengan maksud Andira, dia beranjak pergi saja dari sana meninggalkan Raisi dan Andira.
Setelah pergi dari sana, Raisi menutup pintu kaca itu dan berjalan ke arah Andira. Dia berjalan dan mendekat ke arah gadis yang dia idamkan itu. Mereka kini saling bertatap.
"Anda ingin bicara apa Tuan Muda?" Andira bertanya, tatapannya tulus menatap Raisi dan suaranya lembut dan juga pelan.
"Kau mengikuti audisi?" Suara
Tatapan antara Sarah dan Martin beradu, mereka saling bertatap tidak suka. Penolakan Martin mampu membuat Sarah kehilangan kesabarannya dan wajah Sarah yang menjengkelkan membuat Martin ingin sekali mengamuk, dia tanpa sadar telah mengepalkan tangannya. Mengingat apa yang dilakukan Sarah pada adiknya, Hatice. Bagiamana mungkin menjadi selingkuhan seorang suami dari wanita yang telah baik bahkan sangat baik padamu."Pergilah dari sini, aku sangat tidak ingin membahas tentang Raynaldi mu itu!" Martin kini menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya dan tangannya berada di atas meja, tatapannya tajam menatap Sarah, bibirnya tipisnya tertutup dan sedikit memonyongkan."Kenapa lebih memilih orang lain kebanding kerabat?" Sarah bertanya lagi, dia juga menyandarkan tubuhnya pada punggung kursinya dan juga menatap tajam mata Martin."Aku hanya memiliki sedikit kerabat, Raynaldi bukanlah kerabat ku."Sekali lagi, ucapan Martin Dailuna men
Matanya memandang keluar pintu, dia sejak tadi sudah melihat dan menguping apa yang seharusnya dia tidak lihat, namun masih kurang memahami maksudnya. Randy dia tidak langsung pergi, dia berhenti dan mengintip. Dia berusaha untuk mendengar namun dia sama sekali tidak terlalu bisa mendengar apa yang dikatakan Andira dan Raisi di luar sana. Namun dia mendengar kata "Lari."Matanya membulat saat mengetahui maksud lari. "Lari Bersamaku." Randy yang berjarak cukup jauh, dan berada di dinding kaca, menengok keluar itu masih dapat mendengar. Dia menelan ludah beberapa kali. "Apa mereka ingin kawin lari?" Randy bertanya-tanya.Sementara itu, Andira dan Raisi masih saling berhadapan di sana. Namun Andira cukup kaget dengan apa yang dikatakan Raisi."Tidak mungkin. Aku tidak bisa.""Kenapa?" Mata Raisi tulus, tangannya kembali menyentuh wajah Andira."Tuan Mud
Martin terlihat mengetuk pintu seseorang, oh ya, itu pintu rumah adiknya. Tak lama kemudian pintu terbuka dari dalam. Martin menampilkan senyum pada pria yang membuka pintu itu."Kak Martin, hei, lama tak berjumpa, mari…" Dia menyambut begitu ramah. Lutfi dengan senyum munafiknya, dibalas dengan senyum menyeringai oleh Martin. Tampak sangat aneh di mata Lutfi."Hati! Kak Martin datang!"Martin melangkah masuk ke dalam, dia melihat luasnya ruangan utama, bersih dan putih, sangat modern. Dia menoleh ke arah Lutfi dan kembali menampilkan senyum pada adik iparnya itu."Mari Kak, duduk dulu." Lutfi mengarahkan Martin untuk duduk."Aku hanya sebentar, aku hanya ingin bicara sebentar.""Tapi sebaiknya, Kakak duduk dulu kan?"Mendengarnya, Martin lebih baik duduk saja daripada terus mendengar Lutfi
Ibrahim terlihat merenung, dia memandang putranya yang tertidur pulas di atas ranjang. Dia memikirkan tentang Martin yang mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Apa yang mungkin di rencanakan pria ini? Itu mungkin yang sedang dipikirkan Ibrahim.Dia ingin menghubungi Hatice namun dia enggang karena itu hanya akan semakin membebani pikiran di antara mereka. Ibrahim takut jika menganggu."Mimpi indahlah putraku. Karena jika kau terbangun, dan kau tumbuh, kau akan kesulitan untuk tetap bermimpi." Ibrahim dan kemudian mengecup kening Cihan yang tertidur. Dia berdiri dan keluar dari kamar kecil sang anak. Dia kemudian masuk ke kamarnya sendiri dan memilih untuk tidak memikirkan apapun, di hanya ingin tidur. Akhir-akhir ini dia sangat jarang bermimpi, apalagi bermimpi indah.Sementara Martin...Dia kehilangan senyumnya, dia saat ini mendengarkan musik modern melalui speaker musik di mobilnya. Baru kali ini ria membunyikan musik modern, b
"Andira! Apa kau melihat Randy?" Suara yang membangunkan lamunan antara Martin dan Andira di pintu masuk. Dengan cepat Andira menoleh ke belakang, Sarah sudah berdiri di belakangnya namun dengan jarak yang tidak dekat.Martin yang dibelakang Andira kini menaikkan tangan kanannya di atas bahu kanan Andira, dia meremas bahu itu, Sarah melihatnya, Andira merasakan remasan tangan yang lembut pada bahunya, kali ini dia betul-betul gugup."Minggirlah, aku ingin lewat."Andira menggeser tubuhnya ke samping kiri dan masuklah Martin ke dalam sana, melihat Sarah yang berdiri. Martin menurunkan tangannya."Aku tidak melihatnya Nyonya, sudah sejak siang tadi." Andira yang tangannya saling bergenggam dan menunduk. Martin yang melihat kegugupan Andira langsung berk
Keluarga Dailuna terlihat lengkap, Andira juga sudah selesai menyiapkan makan malam. Martin seperti tidak nafsu dengan makanannya, dia hanya memandang makanan tanpa selera, setiap yang ada di sana memandang ke arahnya.Sebelum Andira pergi dari sana, dia sempat menoleh pada Martin hunga sesaat kemudian berjalan pergi dan menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.Tatapan takut dan menunduk terlihat pada raut wajah Randy, Nadira terlihat memainkan ponselnya sambil memakan sarapannya, Sarah sesekali memperhatikan Martin dan Raisi dia hanya menatap tidak suka pad ayahnya."Apa kau tidak akan memakan makanan mu Mart?" tanya Sarah. Mendengarnya Martin menelan ludah dan mengalihkan pandangannya pada Sarah. "Aku tidak selera.""Kenapa begitu? Ada yang kau pikirkan?" Sarah bertanya lagi. Nadira yang tadinya fokus dengan ponselnya juga mulai memperhatikan ayah dan ibunya. "Sepertinya akan ada perang lagi." Nadira dengan suara kecil, semua or
Dengan langkah pelan Andira mendaki tangga dan akhirnya langkahnya sampai tepat di hadapan pintu ruangan kerja Martin. Dia mengetuk sebelum masuk."Tidka terkunci." Suara dari dalam pintu dan membuat Andir langsung membuka pintunya dengan pelan, dia sangat hati-hati karena ditangannya terdapat nampang berisikan makanan dari Tuan besarnya.Setelah berada di dalam ruangan, dengan pelan juga dia menutup pintunya. Dan berjalan dengan langkah yang lebih hati-hati menuju meja makan Si Tuan Besar yang terlihat kaku dan memandang dengan tajam. Andira tahu, pasti jika berwajah begitu maka Martin sedang tidak dalam perasaan yang baik-baik saja.Dengan pelan Andira menurunkan nampannya dan dengan pelan pula dia menaruh nampang itu. "Makanan Anda Tuan." Andira dengan nada suara yang lembut tak lupa memberi senyum."Randy melihat mu tadi." Martin yang langsung membuat Andira merasaka
Pagi tiba, pintu terbuka dari luar dan masuklah Andira ke dalam ruangan itu, dia melihat dan mendengar musik yang masih berbunyi, dengan pelan dia mematikan bunyi musiknya dan dengan lembut mulai membangunkan Martin."Tuan. Anda harus bangun, sarapan pagi sudah siap." Dia sambil menepuk lembut wajah Martin. Mata itu perlahan terbuka, mata lelah yang masih ditempeli kacamata."Anda bahkan tidak melepas kacamata Anda." Andira yang membantu Martin untuk terbangun dan duduk lebih tegak."Aku tidak tertidur."Andira yang membersihkan meja dari tumpukan buku yang dijadikan banyak untuk kepala Martin kini terdiam sejanak. "Kenapa tidak tidur?""Aku tidak bisa mengeluarkan mu bahkan hanya sedetik dalam benakku." Jawaban itu lemah namun membuat Andira menelan ludahnya dan kembali menyusun rapi tumpukan bukunya lalu kembali membatalkannya pada rak buku."Anda seharusnya tidur Tuan. Tidak baik jika tidak."
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k