Ponsel Raisi berdering, pagi yang cukup cerah untuknya, saat terbangun, dia sudah melihat Lizzia berbaring memeluk tubuhnya. Dia meraih ponselnya di atas laci samping tempat tidur. Dia melihat, ibunya yang menelpon. "Ada apa Ma? Kenapa terdengar panik?" Suara Raisi tenang, hingga Lizzia membuka matanya dan melihat Raisi sedang berbicara melewati ponsel. Dia membangkitkan tubuhnya dan bagai ulat nakal menempelkan bibirnya pada tubuh bagian bawah Raisi, Lizzia mengeluarkan lidahnya dan menjilatinya. "Aku sedang melakukan... Arghh, Lizi jangan lakukan itu... Ma aku matikan ya..." Raisi lalu mematikan ponselnya dengan cepat dan memandang aksi nakal Lizzia di pagi hari. Dia menyeringai dengan mulut terbuka dan membiarkan Lizzia melakukan nakal yang memang selalu disukai oleh setiap pria. "Arghhh... Astaga... Kau melakukannya dengan baik..." Dia menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur, menutup matanya, dan dia tak lagi merasakan sentuhan Lizzia dari alat sensitif miliknya. Dia me
Mata Randy terbuka, dan syukurlah, dia masih hidup, cahaya menembus masuk ke dalam matanya, dan perutnya terasa begitu lapar, perut kecilnya berbunyi-bunyi, dan kepalanya terasa sangat pusing. Dia merasakan matanya terasa perih, saat dia bercermin, dia sudah melihat kedua matanya begitu bengkak. Dia terbangun, duduk dan menenangkan diri, bersandar menatap ke arah langit, merasakan cahaya pagi. "Aku harus bagaimana sekarang?" dia bertanya-tanya. Lalu karena tak ingin berlama-lama, dia bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari hutan, berharap dia mendapatkan jalan keluar ke jalan raya. Dia berjalan lambat dan berusaha untuk tetap berjalan, bernapas dan kalau bisa dia harus berlari kecil. "Tetaplah bernapas, tetaplah bernapas Randy," monolognya, dia berjalan, walau rasanya dia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya, bibirnya kering, dan kepalanya semakin pusing. Hingga dia menemukan sesuatu, entah berhalusinasi atau sedang bermimpi, dia menemukan sebuah rumah kayu tersembunyi di da
"Apa maksudmu? Apa maksudmu dia sedang ke pusat kota?" tanya Ibrahim saat tiba di rumah yang terletak di tengah hutan. Dia menggendong putranya dan berbicara dengan Sabina yang sedang memberi makan istri dari Pak Andi. "Ya, dia mengantar Randy ke kota, katanya Randy tersesat," jawab Nadira dengan balasan jujur dan masih fokus menyuapi wanita tua yang tak berbicara dan hanya menatap kosong ke depan. Mata Ibrahim nanar mendengarnya dan bertanya lagi, "Apa mereka sudah lama pergi?""Cukup lama, buktinya makanan nenek sudah mau habis," jawab Sabina. Ibrahim diam dan berpikir, dia bernapas cepat dan menelan ludah, dia mengembalikan Cihan pada kereta bayi dan sambil bersiap untuk pergi dia berkata lagi, "Aku akan pergi, dan kau, jaga nenek baik-baik ya." "Iya Om." Segera Ibrahim berjalan lincah keluar dari rumah kayu yang cukup luas dan enak dipandang itu, dia menancapkan laju mobilnya dan dia berharap agar Pak Andi sudah tidak terlalu jauh. "Sialan! Dasar Tua!" Dia memukul-mukul seti
Mata Martin menatap Andira yang berada di ujung tangga, di atas sana dia menatap gadis itu berdiri menampilkan mata indahnya yang mungkin sedang cemburu. Dengan cepat-cepat Martin mulai melepas pelukan Sarah namun Sarah tetap mengeratkan pelukannya dan berkata, "Aku selalu merindukanmu Mart." Pelukan erat Sarah malah membuat Martin merasa tidak nyaman dan dengan kasar dia melepasnya. "Aku tidak merindukanmu Sarah!" ucapnya dengan suara keras, dia sengaja mengatakan dengan cukup keras karena dia ingin Andira mendengarnya. Gadi itu melangkah turun melalui tangga saat dia mendengar suara deringan telpon yang berjarak tidak jauh dari ujung tangga bagian bawah. Sarah yang tadinya menatap Martin dengan kecewa kini menoleh ke arah gadis yang berjalan itu, seketika hatinya begitu panas melihat gadis pembantunya berjalan dengan bebasnya. Martin juga hanya diam menatap Andira yang kini mengangkat gagang telepon. "Iya?... Randy?" matanya membulat, menganga, begitupun dengan Martin yang mendeng
"Aku hanya ingin kau berhati-hati, Nak." Pak Andi menatap Martin dengan lekat-lekat dan penuh kecemasan, mereka berada di bagian belakang halaman rumah. "Apa Anda mengenal orang ini?" tanya Martin. "Aku tidak bisa mengatakannya, aku tidak bisa menyebut namanya, tapi dia sangat-sangat membencimu.""Tapi mengapa? Mengapa Anda tidak bisa mengatakan padaku? Dan apa alasannya dia membenciku." Martin terlihat mengernyit, kedua alisnya terangkat dan wajahnya penuh rasa penasaran. "Aku hanya tidak bisa Martin. Dan... Kenapa dia membencimu? Kau telah mengambil sesuatu yang berharga darinya. Aku hanya ingin mengatakan itu, aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia terlaku kuat dan terlalu mengancam, aku tidak tahu dimana anak dan adikmu di sekap Martin, hanya saja, kau adalah target utamanya, dan ini adalah permainannya, membuatmu menderita adalah tujuannya." Pak Andi menepuk pundak kanan Martin. Dimana Martin hanya diam. Dia diam dan terpaku tak bisa lagi berkata apa-apa. "Sebaiknya aku p
Pak Andi terlihat menjalankan mobilnya dengan fokus tatapannya ke depan, dia tahu bahwa jika Ibrahim mengetahui apa yang telah dia lakukan maka pasti, Ibrahim akan melakukan hal buruk pada pria tua ini. Dan saat dia membelokkan mobilnya masuk ke dalam hutan, dan di tengah-tengah, dia melihat mobil hitam sudah berada di sana. Tentu saja Pak Andi tak dapat lewat, karena padatnya pohon dia tak dapat membelokkan mobilnya begitu saja. Saat berhenti, maka keluarlah Ibrahim dari mobil hitam miliknya. Dia berjalan ke arah Pak Andi yang sudah terlihat tak baik perasaannya. "Dimana bocah itu?" tanya Ibrahim. "Siapa?""Bocah Dailuna, dimana dia?" tanya Ibrahim lagi, nada suara berat, langkah yang semakin dekat dan tatapan tajam pada pria tua beruban ini. "Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan, Nak." "Jangan panggil aku 'Nak!' Pak Tua!'' Tatapan Ibrahim begitu tajam, dan Pak Andi memundurkan tubuhnya hingga terbentur ringan dengan mobil. Pria tua ini beberapa kali menelan ludah. "Aku
Matanya buram saat mulai terbuka, kepalanya agak pusing dan kepalanya mulai terangkat, dia memandang ke depan dan masih kabur-kabur. Tangannya terasa sakit, ya tentu, kedua tangannya terikat ke belakang. Dia merasakan suhu dingin pada tubuhnya dan menyadari bahwa pakaiannya sudah terlepas, tinggal celana dalam yang dikenakannya. Keningnya juga berdarah, dan saat matanya terbuka sempurna, tatapannya menatap ke depan, dan tak lagi buram, dia melihat Nigel berdiri tegak di hadapannya. "Halo keponakan." Nigel, dia melipat tangannya di depan dada dan berdiri tegak tepat di hadapan Raisi. "Bagaimana keadaanmu? Tidak ada masalah?" tanyanya, dia terlihat berwajah malas dan tidak suka. "Paman Nigel? Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Raisi dengan nada pelan yang lemah. "Well... Aku tidak melakukan ini karenamu, tapi aku menunggu ayahmu untuk datang menjadi pahlawanmu," ucap Nigel. "Aku juga tidak akan menyiksamu, jika kau memberitahuku, tentang bisnis ilegal yang pernah dijalankan oleh
"Kita harus bagaimana?" tanya Rami yang berada di samping Martin yang menunduk di dalam ruangan apartemen Raisi. "Entahlah, sebelum ini aku hanya merencanakan tentang liburan," ucapnya dengan sedih. "Liburan? Kau memikirkan liburan saat ini?""Aku begitu penat saat kasus tentangku melunjak di sosial media. Aku rasa aku akan pergi sendirian, namun Andira datang dan esoknya, Hatice menghilang, lalu anak-anakku, dan di sinilah aku," ujar Martin, nada bicaranya begitu sedih, dia menunduk dan tak tahu harus melakukan apa-apa, tubuhnya lemas dan kini hanya duduk di ujung ranjang milik Raisi. Rami ikut duduk di sampingnya. "Aku tidak tahu apa masalahmu Mart, dan apa aku bisa membantumu, namun ini terlalu rumit, sangat rumit jika kita tidak melibatkan polisi," balas Rami. "Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, mereka sudah mencari, Sarah sudah melaporkannya, apalagi yang bisa aku lakukan?""Itu tidak cukup jika kau tidak melaporkan Nigel!""Nigel memiliki adikku dan anak-anak
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k