Max menyesap teh yang dibuatkan Lerry pelan. Ia menengok ke arah Zeta yang kini berderap ke arahnya. Perempuan itu mendesah lega sembari melepaskan celemek dari tubuhnya.
"Sudah matang, Max. Aku memasakkan makanan yang enak untukmu, kau harus mencobanya."
"Aku kan sudah bilang tak perlu repot-repot kau membuatnya, Zeta. Aku hanya bilang kalau aku suka dengan masakanmu, tapi bukan berarti aku ingin kau memasakkan untukku sekarang."
"Sudahlah. Aku memang ingin memasakkanmu. Lagi pula sekarang memang waktunya makan siang, malah sudah terlewat beberapa jam." Zeta menarik tangan Max lalu menggiringnya di meja makan. Zeta sama sekali lupa kalau Jack bisa melihat semua yang ia lakukan ini.
Max terduduk di kursi, ia pandangi makanan yang sudah tersaji di atas meja makan dengan menelan ludahnya.
"Kau harus habiskan semuanya." Zeta menepuk pundak Max, kemudian berlalu.
Max mengambil piring. Ia menaruh semua makanan buatan Zeta itu ke piringnya.
Zeta membuka matanya pelan. Hari sudah pagi, waktunya ia bangun. Tatapan pertamanya ia arahkan ke meja nakas untuk melihat bunga segar. Ia tercengang sebentar, lalu meloncat turun dari kasur. Zeta menggigit bibir bawahnya. Di atas meja tak ia dapati vas bunga yang ia letakkan di sana kemarin. Semalam vas itu masih ada, tapi sekarang sudah menghilang.Zeta keluar dari kamar, menemui Lerry. "Bibi..." panggil Zeta membuat Lerry berbalik ke arahnya."Ada apa, Nona?""Bibi tahu vas bunga yang ada di atas meja, di kamarku tidak?" tanya Zeta tak sabar.Lerry mencoba mengingat-ingat. Pasalnya tadi ketika ia mengunjungi kamar Zeta di saat perempuan itu masih tidur, tak ada vas bunga di meja. Lerry tak melihat benda selain ponsel di sana. "Tidak, Nona.""Bibi benar-benar tak melihatnya?" Wajah Zeta tertekuk kecewa."Iya, Nona. Tidak ada vas bunga di meja Nona." Lerry bergeleng pelan."Baiklah, Bi." Zeta memaksakan senyumnya, kemudian berlalu.
"Kau sedang bertelepon dengan siapa?" tanya Jack menatap Zeta tajam.Zeta bergeleng pelan. "Kau sudah pulang, Jack?"Zeta menyeringai, menunjukkan semua giginya di depan Jack. Tatapannya kini jatuh ke arah kedua tangan Jack yang hilang di belakang badan kekar pria itu. "Apa yang ada di belakangmu, Jack?" tanya Zeta polos."Aku juga bertanya, apa yang ada di belakang tubuhmu, Zeta? Bagaimana kalau kita saling bertukar?" Jack melangkah mendekat kepada Zeta.Zeta menghindari Jack, ia memundurkan tubuhnya pelan. "Jack..."Jack tersenyum miring. Ia menghentikan langkah kedua kakinya. Ia kemudian menjulurkan lehernya sedikit agar ia bisa menatap dalam kedua mata Zeta."Kau sedang bertelepon dengan Max ya?" Terukir seulas senyum tipis di bibir Jack. Sorot matanya berkilat, memperlihatkan kalau ia sedang marah."Dan... Kau yang telah membuang bungaku kan?" tanya Zeta balik. Zeta memandangi Jack penuh selidik.Jack menarik tangan
"Hanya ini, Aiden? Tidak adakah info lain yang bisa kau dapatkan?" Jack mendengus tak puas dengan laporan dan beberapa lembar kertas di hadapannya itu."Iya, Tuan. Hanya itu. Karena saya kesulitan untuk mengakses wilayah kekuasaan bisnis dari keluarga Nona Fay. Tapi, saya melihat ada yang mencurigakan di perusahaan keluarga Nona Fay. Saya masih terus berusaha mencari tahu." Aiden merapatkan mulutnya, kemudian berbalik dan duduk di kursi, di depan Jack."Baiklah. Untuk Kills group, berarti mereka akan mengusung tema yang berbeda ya dari perusahaan Baron group dan Grotesque group?" Jack menyeret pandangannya dari kertas di depannya menuju Aiden.Aiden terkesiap, ia mengangguk mengiyakan pertanyaan Jack barusan. Ia lalu menimpali, "Iya, Tuan. Tuan Edwin memberikan sentuhan baru bagi Kills group. Orang-orang yang mengurusi adalah orang-orang kepercayaan Tuan Edwin sendiri. Namun, saya tak melihat kalau Tuan Max akan jadi kandidat pemimpin bagi perusahaan itu."
Zeta mondar-mandir di kamarnya sambil memikirkan bagaimana caranya ia membujuk Jack. Ia berhenti sesaat untuk menatap bunga lily di meja nakasnya, lalu ia kembali mondar-mandir. Sampai sebuah ide muncul di kepalanya.Zeta ingat kalau ia belum pernah memasak untuk Jack, hanya semangkuk bubur ketika pria itu sakit. Maka, Zeta akan membuatkan makan malam untuk Jack.Ide yang cukup bagus, semoga bisa meluluhkan hati Jack. Gumam Zeta dalam hati. Ia lalu berangkat ke dapur."Nona..." sapa Lerry, disusul oleh pelayan lain yang ikut menyapanya.Zeta tersenyum hangat membalas sapaan mereka. Ia lalu mendekati Lerry sambil berbisik, "Bi, bolehkah aku memasakkan Tuan Jack makan malam?""Nona, mau memasakkan Tuan Jack?" Lerry membalas bisikan Zeta dengan suara melengking. Ia lalu merapatkan mulutnya, dan berujar pelan," Bukankah Nona tahu sendiri kalau Tuan Jack jarang sekali makan malam?""Maka dari itu, aku akan membuatnya tak melewatkan ma
"Aku senang kau sudah tak marah lagi, Jack." Zeta tersenyum lebar di depan Jack.Jack mengulas senyum melihat wajah Zeta tersipu malu ketika mata mereka saling bertabrakan. "Aku ke kamar dulu," ujar Jack seraya menepuk kepala Zeta pelan.Karena terbuai Jack, Zeta nyaris lupa kalau tujuan awalnya adalah membuat Jack memakan masakan buatnya. Ia segera memegang lengan Jack sebelum pria itu berbalik."Ada apa?" Jack menyatukan kedua alis tebalnya."Kau harus makan malam dulu... Bersamaku," tandas Zeta cepat."Kau sedang memintaku atau sedang memaksaku, huh?" Jack melepaskan tangan Zeta dari lengannya."Aku sedang memohon, agar kau mau makan malam bersamaku. Aku tak pernah makan semeja denganmu di rumah selama aku tinggal di sini. Aku sudah memasakkanmu makanan enak. Tapi, aku tidak yakin kau suka atau tidak," ujar Zeta lantang, namun memelan dan melemah di akhir kalimat yang terlontar."Baiklah. Aku akan mengganti pakaian dulu. Aku akan m
Zeta mengangguk. "Aku mau jadi milikmu selamanya, Jack.""Kalau begitu aku tak akan mengizinkan siapa pun menyentuh milikku," tukas Jack nyaris serius, mengundang tawa Zeta."Kau pelit sekali, Jack," ledek Zeta terkekeh pelan.Jack ikut tersenyum," Aku tak bercanda dengan ucapanku, Zeta." Ia lalu melirik jari manis Zeta yang terpasang cincin pemberiannya."Kau cocok memakai cincin itu," puji Jack seraya menunjuk dengan gerakan dagunya ke arah tangan Zeta yang membelit longgar lehernya.Zeta menarik sisi mulutnya ke atas. Ia amati cincin berlian yang terlihat semakin berkilau di bawah siraman cahaya lampu yang berpedar terang. "Aku sangat menyukainya. Dan, ukurannya pas sekali dengan jariku."Jack membawa Zeta ke dalam gendongannya. Ia lalu membaringkan tubuh perempuan itu pelan ke kasur. Jack merambat pelan di atas Zeta, dan menindihnya perlahan.Zeta menahan dada bidang Jack sebelum pria itu melumat bibirnya lagi. "Kau ta
Tirai terbuka, mempersilahkan sinar matahari masuk ke dalam sebuah kamar melalui celahnya.Di saat ini, Zeta dan Jack masih bergulat di balik selimut. Wajah mereka dipenuhi senyuman yang tak kunjung surut.Semalam, Zeta telah melakukan sesi terapinya, namun Jack memintanya untuk menelanjangi diri berdua. Selanjutnya, Jack memasukkan miliknya ke liang Zeta, ia memaju mundurkan miliknya dan membiarkannya tetap berada menancap di alat kelamin Zeta sampai menjelang pagi.Jack membelai lembut kepala Zeta, turun ke pipinya, kemudian ke ceruk lehernya. Leher perempuan itu begitu indah, dan menggoda. Jack mencium leher Zeta seraya melepaskan batangnya dari kewanitaan Zeta. Ia kemudian melirik ke arah kasur di dekatnya, ia meringis mendapati semalam ia ereksi berkali-kali dan membuang spermanya di kasur."Kau tidur nyenyak, Jack?" Zeta menggosok matanya dengan satu tangan. Ia lalu mengerjap cepat dan mendekatkan wajahnya kepada Jack."Kau tampan sekali." Ze
Jack dan Aiden melebarkan kedua matanya secara bersamaan ketika seorang perempuan muncul dari balik pintu.Fay tersenyum di depan dua pria yang kini melihatnya dengan mata melebar. "Kalian pasti terkejut ya dengan kedatanganku ini.""Sial..." desis Jack tajam. Ia tak menyukai Fay, dan kedatangannya membuat ketenangan dan kedamaian Jack terusik."Kau bilang apa?" Fay memincing tak suka.Setelah tadi Elle meyakinkan Fay atas perasaannya kepada Jack. Ia langsung bergegas ke Baron group untuk menemui pria itu."Kau tidak sedang memintaku untuk mengizinkan Aiden pergi bersamamu kan? Aku tidak akan mengizinkannya," tukas Jack galak."Tidak. Bukan itu maksud dari kedatanganku ini," balas Fay bergeleng cepat.Jack mengernyit bingung. Kalau bukan karena Aiden, kenapa perempuan itu datang ke ruangannya? Berdandan menor pula."Kalau bukan. Kau bisa pergi dari ruanganku!" Jack mengangkat tangan kanan yang ia acungkan ke arah pi
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A