"Tuan, Nona Zeta sedang berada di rumah sahabatnya. Saya sudah mencari tahu semua tentang sahabat Nona Zeta yang bernama Sena itu. Dan, pacarnya Sena adalah lelaki yang pernah melecehkan Nona," tutur Aiden dari seberang telepon.
"Awasi Zeta terus, jangan sampai lengah," balas Jack dengan mata menggelap.
Jack menghempaskan ponselnya ke meja setelah menutup sambungan telepon dari Aiden. Ia beranjak dari kursi, berjalan mondar-mandir tak tenang.
Tak ada tanda-tanda keberadaan Camelia di ruangan Jack, karena perempuan itu telah Jack pecat. Camelia sempat melakukan perlawanan hingga akhirnya dia diusir paksa oleh petugas keamanan. Jack sudah kehabisan kesabarannya untuk Camelia.
Jack meraih ponselnya kembali, merenung dengan wajah sendu. Ia tak akan membiarkan Zeta, miliknya berada jauh darinya. Ia akan segera membawa Zeta kembali ke rumahnya. Secepatnya.
Ponsel Jack berderit kembali, menunjukkan nama Aiden tertera jelas di layarnya. Jack segera menerim
Jack duduk di kursi penunggu dengan jengah, sementara Aiden tetap berdiri setia di sampingnya."Ini sudah satu setengah jam lebih, Aiden. Mau sampai kapan kita tetap menunggu di sini, huh?" Jack nyaris beranjak dari kursi, jika Aiden tak mencegahnya."Sebentar lagi, Tuan. Nona Fay mungkin masih mengantre untuk mengambil..." Belum juga Aiden melanjutkan ucapannya itu, Fay sudah muncul dengan menggiring trolley berisi koper dan barangnya yang lain. "Tuan, Nona Fay" sambung Jack menunjuk ke arah Fay yang tengah celingukan, sepertinya sedang mencari keberadaan Jack.Namun, Jack hanya merespon dengan memutar tatapannya menuju Fay. Ia sebelumnya tak pernah bertemu langsung dengan perempuan itu. Jack dan Fay memang tak pernah bertemu, mereka hanya bertukar foto dan saling berbalas pesan.Jack menatap Fay penuh kritik. Layaknya model yang berlenggak-lenggok di karpet fashion show yang pernah Jack lihat, Fay juga seperti mereka, sangat kurus. Melihat Fay, me
Jack menatapi langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu yang berpedar temaram, tersorot juga cahaya matahari yang menerobos dari celah tirai yang tersingkap sedikit.Semalaman Jack tak bisa tidur. Meski, sudah meminum banyak pil obat tidur, tak kunjung membuatnya merasa mengantuk. Kebiasaannya yang sering bergadang dulu ketika ia bekerja keras untuk posisi CEO di Baron group dan tekanan dari ayahnya memberikan efek bagi Jack sampai sekarang. Jack terkena insomnia akut. Ia akan kesulitan tidur tanpa bantuan obat tidur. Bahkan kini lebih parah, obat tidur yang memiliki dosis tinggi pun tak memberikan efek seperti yang Jack inginkan.Jack mendorong keras napas dari hidungnya. Ia menegakkan tubuhnya hingga posisinya sekarang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Lalu, dengan tak bersemangat ia melempar pandangannya ke jam di dinding. Sudah waktunya Jack bersiap.Ia gerakkan tubuhnya pelan namun pasti memasuki kamar mandi. Ia segera mengguyur tubuhnya den
Jack berhenti sebelum mencapai pintu masuk toko khusus pakaian dalam wanita. Ia berdehem canggung. Jack sebelumnya tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, dan tatapan orang-orang yang berlalu begitu mengusiknya."Tuan, ada yang bisa saya bantu," tanya si pelayan toko menghampiri Jack.Jack sempat tersentak beberapa detik, ia lalu memasang wajah dingin dan garang. Harga diri Jack tercoreng sudah. "Aku ingin beli... Bra dan celana dalam perempuan. Ini ukurannya." Jack berucap lirih nyaris berbisik, seraya menaruh secarik kertas kecil kepada si pelayan."Untuk warnanya, Tuan?" Si pelayan tak berkedip melihat Jack. Ia tahu siapa pria di depannya itu. Meski yang dilakukan Jack ini sedikit memalukan jika dilakukan oleh seorang pria, tapi si pelayan sama sekali tak memedulikan hal itu. Ia juga akan merahasiakannya tanpa Jack minta. Si pelayan rela melakukan apa saja untuk Jack. Tentu, ia merasa sangat beruntung karena bisa bertatap muka langsung dengan pria itu.
Jack turun dari mobil menatapi gedung apartemen mewah di depannya. Lalu, disusul Aiden dengan membawa kantong belanja di kedua tangan.Jack menoleh ke arah Aiden. "Aku bawakan satu kantongnya." Ia menyambar satu kantong belanja dari tangan Aiden.Aiden hanya mengangguk, kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju ke tempat Fay. Mereka melewati beberapa lantai sampai akhirnya mereka sudah berada di depan apartemen yang ditinggali oleh Fay.Jack tak sabar menekan bel sambil mengentak-entakkan sebelah kaki ke lantai untuk menetralisir emosinya.Tak lama kemudian, Fay membuka pintu dan mendongak. "Maaf telah merepotkanmu, Jack."Jack memutar mata malas. "Sangat merepotkan."Fay menahan diri. Ia tetap memaksakan diri agar bibirnya terus melengkung ke atas."Ini semuanya untukku?" Fay terkesiap dengan semua belanjaan yang dibawa Jack dan Aiden. Tak terhitung banyaknya."Jangan banyak tanya. Izinkan aku dan Aiden mas
Edwin mengetuk jemarinya ke meja dengan tatapan fokus kepada sebuah pigora berisi foto keluarganya—Max kecil, Jack kecil, Edwin, dan Merry—yang terpajang sempurna di depannya."Bagaimana perkembangan Jack?""Tuan Jack sudah lama tak mengunjungi club dan tak terlihat bersama dengan wanita lagi, Tuan.""Hmm... Menarik," gumam Edwin menyuruh pria itu pergi dari ruangannya. Ia mengangguk dan mengibaskan sebelah tangan ke udara.Edwin menautkan tangannya dan ia pakai untuk menyangga dagunya. Ia tersenyum. Kali ini ia akan mengawasi Jack. Dan ia harus bersikap keras lagi jika putra bungsunya itu sampai membangkang. Sementara untuk Max, tak banyak yang Edwin perhatikan dari pria itu. Max, hanya akan merintangi rencana Edwin untuk membesarkan Baron group dan Grotesque group yang ada di dalam kekuasaannya.*Fay menurunkan ponselnya setelah menelepon teman-temannya yang ada di Jepang. Ia melirik jam sekilas, pukul tiga sore. Masih a
"Fay mau menerimanya, Aiden?" tanya Jack ketika pengawalnya muncul dari balik pintu kamarnya yang terbuka."Iya, Tuan. Nona Fay sudah menerima tiketnya, Nona berujar kalau Nona lebih suka menonton daripada dinner." Aiden menunduk dengan kedua tangan tertaut di depan badannya yang tegap."Bagus." Jack mengangguk puas sambil mengelus dagunya dengan sebelah tangan.Jack lalu kembali fokus menatap foto-foto yang berhasil orang suruhannya ambil ketika Zeta berada di jalan. Perempuan di foto itu memperlihatkan wajah kecewa dengan membawa banyak kertas di tangannya. "Aku akan segera bertemu denganmu," gumam Jack menyapu wajah Zeta di dalam foto tersebut.Aiden hanya diam melihat Jack bergumam sambil memandangi lekat foto-foto yang berhamburan di depannya.***Matahari pagi menyapa Zeta ketika perempuan itu sedang merenung di sofa sendirian, sedang Sena telah pergi sedari tadi bersama Antony. Zeta sempat bersembunyi ketika Antony
Zeta bergeleng pelan. Ia tak kunjung mengganti pakaiannya meski di depannya, Sena sudah berdandan cantik dan siap untuk berangkat ke bioskop."Zeta... Aku sudah beli tiga tiket loh. Masa mau kau sia-sia kan perjuanganku demi mendapatkan tiket ini, huh?" Sena menurunkan dua sisi mulutnya sambil terus menyisiri rambut gelombangnya yang ia biarkan tergerai dengan handband terselip di sana."Aku kan sudah menolaknya sejak awal." Zeta masih bersikukuh untuk mempertahankan pendiriannya agar ia gagal nonton, sementara biar hanya Antony dan Sena saja yang pergi."Zeta... Ayolah." Sena menarik tangan Zeta. Lebih kencang lagi ia tarik, sampai ia hampir terjungkal ketika Zeta berdiri dengan tiba-tiba."Baiklah."Sena tersenyum. "Aku akan menunggumu di ruang tamu."Zeta mengacak rambutnya kesal. Kalau saja bukan karena bujukan dari Sena, ia tak akan sudi pergi.Zeta kemudian memilih pakaian dengan asal. Ia mencomot kaos, celana jeans, dan j
Dua jam yang lalu adalah saat-saat yang menjemukan bagi Jack. Bagaimana tidak? Dimulai ketika ia menjemput Fay, perempuan itu berdandan lama sehingga membuat Jack mau tak mau harus menunggunya. Ditambah lagi, Fay selalu menjaga sikapnya agar bisa terus terlihat baik ketika perhatian banyak orang tertuju padanya. Membuat Jack benar-benar muak. Bahkan percakapannya dengan Fay sangatlah membosankan dan tak ada yang berjalan dengan baik.Kini Jack berdiri di samping sebuah konter yang berjualan makanan ringan. Ia menanti Fay yang membeli banyak sekali makanan ringan di konter tersebut. Perempuan itu hendak membelikan juga untuk Jack. Namun, ditolak mentah-mentah oleh Jack.Fay kemudian duduk sembari mengunyah makanan yang telah ia beli barusan. "Kau benar-benar tak mau ini?" tanyanya kepada Jack yang masih berdiri."Tidak," jawab Jack tanpa membalas tatapan lawan bicaranya. Ia malah tetap fokus melihat ke arah pintu keluar ruang teater. Ia yakin betul meski ruang te
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A