"Ah... Ah... Iya terus. Aku mau keluar." Jack mendesah, menikmati pijatan tangan lembut Zeta atas juniornya yang semakin lihai.
Ada rasa tak nyaman yang Zeta rasakan ketika Jack terus menerus meremas payudaranya. Ada yang berdenyut-denyut di bawah sana. Sontak, Zeta berhenti memijat dan menengok ke arah pangkal pahanya yang sudah menegang.
"Kenapa berhenti?" Jack berujar kesal. Ia ikut melirik ke arah inti Zeta. Jack kemudian mengangguk paham. "Selesaikan sesi terapi ini, lalu aku yang akan ganti memuaskanmu," ujar Jack mengulas senyum.
Zeta buru-buru merapatkan kedua kakinya. "Tidak perlu," tolak Zeta memijat milik Jack kembali.
"Ah... Aku mau keluar." Jack meremas payudara Zeta serta memilin putingnya, membuat Zeta kelepasan. Perempuan itu mendesah dan langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan pipi merah menahan gairah yang meletup-letup.
Jack mengeluarkan cairan kenikmatannya, mengenai dada Zeta. Jack mengulas senyum puas. Ia menyambar bi
Max membuka matanya perlahan, penciumannya sedikit terganggu oleh aroma obat yang menyeruak di seisi ruangan yang ia tempati. Ia melirik sedikit ke arah sampingnya, melihat Merry tertidur sambil memegangi tangannya yang masih tertempel saluran infus."Mom," lirih Max lemah.Merry merasakan pergerakan tangan Max, ia terlonjak dan segera memanggil perawat."Perawat! Perawat!" teriaknya panik bercampur bahagia.Merry lalu beralih ke putranya itu. "Max, akhirnya kau sadar." Merry membelai lembut rambut Max, matanya berkaca-kaca menatapi wajah pucat Max yang penuh luka lebam. Hatinya sangat hancur melihat putra kesayangannya masih tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Kalau boleh, ia ingin menggantikan posisi Max. Biar ia saja yang menanggung semua sakit yang Max rasakan."Mom... Sejak kapan aku ada di sini? Aku harus segera pulang dan mengurusi kerjaanku di kantor," ucap Max berusaha bangkit dari posisi tidurnya, namun sulit ia lakuka
Setelah kejadian tadi Zeta jadi merasa canggung. Ia telah membantu Jack menelan obat lewat mulutnya. Sensasi bibir Jack yang hangat dan lembut masih terasa sampai sekarang. Jack memiringkan kepalanya agar ia bisa memandangi Zeta yang duduk di sampingnya. Perempuan itu tak berhenti bergerak gelisah membuat Jack memincing bingung. Zeta menengok kepada Jack seolah tahu kalau pria itu tengah mengamatinya. "Nanti kau juga akan minum obat dengan mulutku lagi?" tanyanya hati-hati. "Tidak... Kau bisa kembali ke kamarmu sekarang." Jack membangkitkan tubuhnya dari posisi tidur. Ia menyandarkan punggungnya yang terasa kaku ke sandaran tempat tidur. Tatapannya tak acuh membalas kedua manik mata hitam di depannya. "Benarkah, aku boleh kembali?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zeta seakan menyiratkan kalau ia sebenarnya ingin segera pergi, namun sedikit sungkan untuk menyatakan keinginannya itu. "Hmmm..." Zeta mengangguk dan berderap keluar dar
Merry bernapas lega. Hari ini Max sudah diperbolehkan pulang setelah melewati banyak pertimbangan dan pemeriksaan seputar kesehatannya. Dokter berpesan agar Max terus menjaga dirinya dari kelelahan dan pikiran berlebih yang bisa membuat kondisi kesehatannya menurun.Max duduk di kursi roda yang bergulir melewati lorong, sementara seorang pengawal terus mendorongnya untuk segera mencapai area parkir.Merry menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan mobil, segera ia suruh pengawal dan sopirnya membantu Max duduk di dalam mobil dengan nyaman. Setelahnya, Merry mendudukkan dirinya di sisi Max."Bersandarlah ke Mommy." Merry meraih kepala Max pelan dan menidurkan Max ke bahunya sambil sesekali ia usapkan jemarinya lembut membelai putranya itu.Perhatian Merry semuanya ditumpahkan untuk Max. Namun, Max tidak terlalu senang dengan sikap ibunya itu. Memang, Merry sangat menyayangi Max dan Max bersyukur akan itu. Tapi, semakin Merry mencurahkan kas
Mobil Jack berhenti tepat di depan sebuah butik mewah. Jack melompat turun dari mobil, disusul Zeta yang ikut turun dan menggiring kakinya memasuki butik tersebut.Zeta menyempatkan diri sebentar untuk membaca tulisan besar yang terpampang di atas pintu masuk butik. Kesukaannya dalam dunia fashion membuatnya terkagum-kagum dengan bangunan di depannya itu. Ia bergumam pelan, "Butik Eldora. Nama yang indah."Zeta ingin sekali bisa memiliki butik yang dipenuhi oleh pakaian hasil desainnya. Namun, ia harus mengubur mimpinya itu dalam-dalam karena ia tak memiliki uang yang cukup untuk biaya sekolah jurusan fashion desaigner. Bisa lulus sekolah menengah atas saja ia sudah sangat bersyukur.Zeta melangkahkan kakinya kembali, melewati pintu masuk. Matanya langsung melebar demi menangkap seorang perempuan paruh baya dengan tampilan stylist yang sedang bercakap-cakap bersama Jack. Tentu Zeta tahu siapa perempuan itu. Semua penduduk Chicago pasti mengenal fashion desaigner
Hari mulai gelap. Setelah Jack membawa Zeta untuk membelikan perempuan itu segala yang diperlukannya. Selanjutnya ia mengajak Zeta pergi ke restoran bintang lima dengan dekorasi mewah dan elegan. Ia memesan makanan secara acak, tak ada satu pun makanan yang benar-benar ia suka. Ia meletakkan kembali buku menu setelah menyebutkan pesanannya kepada seorang pelayan.Sementara itu, Zeta terpekur dengan buku menu di tangannya. Harga setiap makanan di buku tersebut sangat di luar nalar. Sepotong daging saja bisa sampai seratus dolar. Bisa-bisa ia jatuh miskin kalau sering makan di restoran ini. Ah... Zeta lupa, ia kan memang tak memiliki sepeser pun uang dan hidupnya kini bergantung kepada pria di depannya. Ia melirik Jack sekilas, namun tatapannya malah berserobok dengan mata biru Jack, maka ia melempar pandangannya dengan cepat ke arah lain."Mau sampai kapan kau memelototi bukunya dan tidak segera memesan makanan, huh?" Jack mendesah malas."Eum..." Zeta kemb
"Jack," panggil Zeta menyadarkan Jack, pasalnya pria itu mencengkeram perutnya sangat kencang sambil sesekali merintih."Kau kenapa?" Zeta berusaha melepas kedua tangan kekar Jack dari perutnya agar ia bisa berbalik dan melihat apa yang telah terjadi kepada Jack. Sepertinya bermimpi buruk, pikirnya.Zeta berhasil. Tangan Jack melonggar, ia pakai kesempatan itu untuk berguling menghadap pria itu. Ia tak bisa melihat jelas wajah Jack karena pencahayaan minim di dalam kamar. Ia hanya bisa mendengar napas Jack yang tersengal-sengal seakan baru saja berlari jauh. Zeta ulurkan sebelah tangan untuk membelai kepala Jack. "Kau kenapa?"Zeta terdiam, ia bisa menangkap pergerakan Jack yang mencondongkan kepala ke dada Zeta, sangat dekat. Ia merasa tidak nyaman dengan posisi Jack yang kini menenggelamkan kepala ke dua gundukannya."Jack..." Suara Zeta terpotong oleh desahan Jack."Begini. Sebentar saja." Jack memejamkan mata erat, mengusir bayangan menyeramkan
Zeta menghentikan langkahnya. Ia tangkup dadanya yang terasa sakit. Ia tak bisa menahan lajur air mata yang terus mengalir deras di kedua pipinya. Ia menggerakkan kakinya kembali seraya mengusap air mata. Tatapannya kemudian terpaku kepada seorang pria yang tengah berjalan ke arahnya. Max.Max sempat terkejut ketika hampir berpapasan dengan Zeta, namun ia bisa menetralkan ekspresinya dengan cepat. Ia melangkah lebar menghampiri Zeta. Terlihat perempuan itu berkali-kali mengusap kelopak matanya, kemudian tersenyum kepada Max, seakan mengatakan tak apa-apa meski Max belum bertanya.Zeta menyerahkan kotak bekal yang awalnya ia buat untuk Jack kepada Max ketika ia sudah berhadapan dengan pria itu. Tanpa berkata ia juga menyodorkan jam tangan milik Jack."Apa ini?" Max menerima sodoran dari Zeta. Ia menaikkan kedua alisnya tak paham dengan perlakuan yang ia terima secara tiba-tiba ini. "Ini untukku?""Iya. Dan, jam tangannya milik Jack. Aku minta tolong
"Tuan, Nona Zeta sedang berada di rumah sahabatnya. Saya sudah mencari tahu semua tentang sahabat Nona Zeta yang bernama Sena itu. Dan, pacarnya Sena adalah lelaki yang pernah melecehkan Nona," tutur Aiden dari seberang telepon."Awasi Zeta terus, jangan sampai lengah," balas Jack dengan mata menggelap.Jack menghempaskan ponselnya ke meja setelah menutup sambungan telepon dari Aiden. Ia beranjak dari kursi, berjalan mondar-mandir tak tenang.Tak ada tanda-tanda keberadaan Camelia di ruangan Jack, karena perempuan itu telah Jack pecat. Camelia sempat melakukan perlawanan hingga akhirnya dia diusir paksa oleh petugas keamanan. Jack sudah kehabisan kesabarannya untuk Camelia.Jack meraih ponselnya kembali, merenung dengan wajah sendu. Ia tak akan membiarkan Zeta, miliknya berada jauh darinya. Ia akan segera membawa Zeta kembali ke rumahnya. Secepatnya.Ponsel Jack berderit kembali, menunjukkan nama Aiden tertera jelas di layarnya. Jack segera menerim
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A