Tanpa pikir panjang aku langsung melakukan pertolongan pertama padanya. Untung saja ibu cepat sadar, hanya dengan mendekatkan minyak angin ke hidungnya. Namun, ia juga masih diam saja begitu mendapatkan kesadarannya kembali.
Seperti orang yang linglung, ibu hanya menatap kosong ke arah dinding rumah kami.
“Kita ke dokter ya? Ibu minum dulu aja, ini aku udah bikin teh manis.”
“Ibu mau puasa Jim, hiks.”
“Sudah, enggak perlu diteruskan. Orang udah pingsan, enggak apa-apa buka aja. Jangan menyiksa diri, ibu mungkin kaget, karena baru puasa lagi.”
“Ibu bilang ibu mau puasa. Kenapa kamu malah maksa ibu buat buka?”
“Ya, karena emang ibu enggak kuat. Kalau, kuat mah ngapain Jimy nyuruh ibu batal, padahal nanggung udah sore. Hayu diminum aja. Habis ini kita ke dokter. Periksain takut ibu kenapa-kenapa?”
“Kenapa kamu masih perhatian sama ibu? Kenapa kamu ajak ibu ke dokter? Engga
Bukannya aku tak mendengar. Hanya saja ini sedikit tidak masuk akal. Bukankah dulu ibu ikut bersekongkol dengan mereka. Lantas, atas dasar apa dia tiba-tiba membongkar tempat persembunyian mereka. Meski, aku sedikit tenang, karena pada akhirnya Tia dan Ari telah ditemukan. Namun, tetap saja aku masih sedikit kesal, karena itu artinya selama ini ibu tahu keberadaan mereka, tetapi memilih untuk diam saja.Aku yang saat itu sudah bersiap untuk pulang, lantas dikejutkan dengan keberadaan ibu yang kini berada tepat di depan ambang pintu kamar.“Cuma itu yang bisa ibu lakuin. Ibu udah enggak tahu lagi bagaimana cara minta maaf sama kamu.”Saat itu aku juga tidak tahu harus berkata apa. Kenyataannya bukan hanya aku yang tersakiti.“Ibu sebenarnya sengaja ya menyembunyikan semua ini dari aku?”“Enggak Jim, ibu sebenarnya baru dikabarin waktu di bis. Ibu kaget dengar Ari yang bilang kalau dia dipukuli sama Kang Yana.&rdqu
“Jelas-jelas kamu masih cinta, kenapa malah pisah sih? Percaya sama aku Ra, hubungan kalian itu masih bisa diperbaiki. Cuma kurang komunikasi aja sebenarnya.”“Aku udah pernah melakukan berbagai cara, supaya Akang ngerti, tapi kenyataannya mau berapa kali pun Akang janji buat memperbaiki diri ujungnya dia akan tetap luluh sama permintaan ibu. Udahlah, emang udah saatnya aku pergi. Lagian kamu tahu sendiri, cinta aja enggak akan cukup buat mempertahankan rumah tangga, bukan?"“Sekarang, aku tanya kalau tiba-tiba suami kamu nikah sama perempuan lain bagaimana? Emangnya kamu udah siap nerima hal itu? ‘Kan bisa aja Ra, namanya laki-laki itu langkahnya panjang. Siapa tahu pisah dari kamu langsung nyari perempuan lain.”“Terserah Akang. Bukannya itu bagus. Setidaknya Akang akan sibuk sama keluarga barunya, enggak akan mikirin anak-anak lagi. Aku jadi bisa bawa mereka pergi jauh.”“Pergi ke mana?”
“Kita pulang pakai mobil ya, nanti biarin motor Musa yang ambil sama temannya.”“Iya.”Aku memang tidak punya kendaraan roda empat, jadi kami menggunakan taxy online untuk mengantar kami pulang.“Aku mau ketemu sama bayi kita dulu.”“Boleh, kita belum kasih nama loh. Mau kamu kasih nama siapa?”“Hafsah.”“Udah itu aja.”“Terserah Akang mau tambahin apa.”“Hm, Hafsah Mahira?”“Bagus.”“Kalau boleh tahu arti Hafsah itu apa?”“Adil.”“Kamu nyindir Akang.”“Enggak.”Sudah jelas sekali dia menyindirku lewat nama. Ah, wanita memang suka sekali mengungkapkan kemarahannya lewat teka-teki. Kaum kami dipaksa mengerti, hanya dengan kode-kode yang membingungkan.Untung saja Lara diperbolehkan untuk menggendong Hafsah, padah
Saat itu kami berusaha untuk mengetuk pintu sambil setengah berteriak, karena memang Lara tak kunjung membuka, meski kami sudah berada di depan kamarnya sejak 10 menit yang lalu. Rasanya mustahil jika dia tidak mendengar suara kami yang begitu keras. Bukan apa-apa, Lara menguncinya dari dalam. Kami jadi kesulitan untuk masuk. Ditambah lagi Musa juga tak kunjung menemukan kunci cadangannya.“Yah, kayaknya Bunda sengaja deh ambil kunci cadangannya. Biasanya juga disatuin di sini.”“Aduh. Dobrak aja atuh!”“Hayu! Hitungan ketiga maju ya!”“Oke.”“123.”Brak!Sayangnya mendobrak pintu memang tak semudah yang aku bayangkan. Bahkan butuh 7 kali percobaan, baru pintu itu terbuka. Saat itu pintu itu bakal sudah jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, tetapi hal itu tak kunjung membangunkan Lara dari tidurnya.“Ra, bangun! Sayang! Hey!”
“Jadi, beban kamu itu aku?”“Aku cuma enggak tahu lagi bagaimana caranya lepas dari kamu. Jadi, aku pikir dengan begini, mungkin satu-satunya solusi.”“Kamu tahu enggak, ada banyak banget orang yang sudah meninggal, memohon untuk dihidupkan kembali. Hanya karena ingin memperbaiki kesalahannya semasa dia hidup di dunia. Lalu, kenapa bisa-bisanya, kamu malah ingin mendahului garis takdir yang sudah ditetapkan? Aku yakin pemahaman agamamu jauh lebih baik dariku. Memangnya ada jaminan kalau udah meninggal, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu cari selama ini?”Jelas-jelas ia tahu bagaimana hukumnya orang yang melakukan bunuh diri menurut islam, tetapi masih saja ia bertekat untuk mengulang perbuatan ini.“Dunia ini aja udah kayak neraka buat aku, Kang. Jadi, apa bedanya. Aku udah capek terus pura-pura baik-baik aja di depan anak-anak. Padahal, kenyataannya rumah tangga ini bahkan sudah tidak sehat sejak lama. Andai saj
“Ibu, kok ke sini enggak bilang-bilang?”“Iya, Jim. Ibu dapat informasi katanya Tia dan Ari sudah akan dibawa ke Bogor.”“Dari siapa?”“Kepolisian yang kasih kabar ke ibu.”“Iya, tapi aku akan menemui mereka nanti agak sorean aja.”“Kenapa, enggak sekarang? Bukannya mereka juga sudah sampai.”“Duduk aja dulu, Bu! Baru sampai ‘kan?” ucap Lara.Ah, ternyata dia juga sama gemasnya denganku. Bagaimana tidak ia jauh-jauh datang dari Sukabumi ke Bogor, hanya untuk anak-anak kesayangannya. Ia bahkan datang ke rumahku, tanpa bertanya bagaimana keadaanku. Setidaknya, meski hanya sekedar basa-basi itu sudah cukup membuatku merasa dianggap ada.Sepertinya, aku memang harus sadar posisi, karena selamanya di mata ibu aku tak ubahnya seperti ATM berjalan. Di mana ia hanya akan menghubungi, jika butuh uang.“Lara, kamu….”
"Bunda, kenapa nenek ke sini?"Saat itu aku memilih untuk masuk ke kamar anak-anak diam-diam. Sebenarnya aku juga tidak sengaja untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Niatku sebenarnya hanya untuk meminta bantuan Musa agar mengantarkan Ibu ke kantor polisi. Kedatangannya kali ini bukannya membuat, senang malah membuat sakit kepala. Aku pikir Lara juga begitu.Namun, satu kemajuan bagiku melihat Lara begitu berani mengungkapkan kekesalannya. Menurut artikel yang aku baca, itu akan lebih baik untuk kestabilan emosinya. Lagi pula ibu memang keras kepala, jika tidak diutarakan dengan baik dan gamblang ia tidak akan pernah mengerti, kalau yang ia lakukannya adalah sebuah kesalahan yang fatal."Bunda aja nggak tahu, mungkin Ayah yang undang ke sini.""Ayah mah ada-ada aja, aku pikir udah berubah.""Sudahlah jangan terlalu berharap, sama yang enggak pasti! Emang dari dulu ayam begitu 'kan? Makanya, Bunda susah buat percaya lagi.""Sabar ya Bun, t
"Jadi kamu juga sama? Kekeh, enggak mau nolong ibu buat bujuk Jimmy, supaya bebasin adik-adiknya di polisi?""Sebagai sorang Istri saya hanya bisa menuruti apa yang suami saya katakan."“Tapi, keputusan suami kamu ini salah. Kamu juga sebagai istri harus bisa mengarahkan dong, Lara! Kalay begini malah jadi perpecahan keluarga. Kakak adik sudah pasti akan bermusuhan. Jangan-jangan Jimy kayak begini atas permintaan kamu, ya?”“Kenapa juga saya harus meminta Akang memenjarakan adiknya sendiri? Saya enggak pernah ikut campur masalah keluarga Akang.”“Dulu, Jimy enggak kayak begini. Sekarang-sekarang aja dia jadi berani melawan.”“Kalau aku diam aja dan malah membiarkan ketidakadilan jelas aku yang salah. Sudahlah Bu, masalah ini itu enggak ada kaitannya sama sekali sama Lara. Salah banget kalau ibu melimpahkan kesalahan sama dia. Kalau memang ibu khawatir, ayo diantar Musa. Dia udah siap tuh dari tadi?”
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar