“Nah, gitu atuh masak yang enak-enak dari kemarin buka pakai sayur kangkung terus. Bikin ngantuk aja!”
“Ya bagaimana lagi Akang kasih uang belanjanya pas-pasan.”
“Ya, ‘kan kamu tahu sendiri. Kemarin gajian Akang diminta sama Ibu buat sekolah Tia sama Ari. Sabar aja dulu!”
“Hm.”
Tia dan Ari adalah adik kandungku. Mereka masih sekolah. Gajiku bulan ini memang sebagian besar di transfer ke kampung untuk kebutuhan mereka sekola mengingat Tia dan Ari yang masih menginjak bangku SMA dan Kuliah. Entah kenapa istriku seakan tak terima dengan keputusanku untuk memberikan uang itu pada keluargaku di kampung.
Padahal, jelas mereka lebih membutuhkan. Tak sampai hati melihat mereka putus sekolah hanya, karena biaya. Sebagai karyawan pabrik dengan gaji 10 juta perbulan. Sebenarnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya saja, karena aku harus menanggung kebutuhan ibu dan adik-adikku gajian selalu hanya lewat saja.
Seperti sekarang di akhir bulan, di meja makan hanya tersedia lauk seadanya. Namun, entah dari mana Lara mendapatkan ayam goreng dan sayur Nangka. Mengingat sudah seminggu Lara hanya menyajikan sayur yang ia petik dari halaman belakang rumah.
Ia pandai menanam sayuran, namanya juga orang desa. Sebenarnya, aku tidak suka dengan caranya yang selalu membawa kebiasaan di kampungnya, hanya saja ternyata hobi bercocok tanamnya berguna juga di saat-saat kritis seperti ini.
Setiap bulannya aku memang membagi gajiku 7 juta untuk di kampung dan 3 juta untuk pegangan. Mengingat aku juga memiliki cicilan mobil angkutan umum di kampung halaman. Pendapatannya lumayan. Namun, aku lebih mempercayakan usahaku pada ibu, mengingat ia sangat pandai mengatur keuangan. Buktiknya saja aku sudah berhasil memiliki tanah yang nantinya akan kugunakan untuk membuat rumah di kampung saat sudah tua nanti.
“Wah Bunda masak ayam goreng! Asyik!”
Arfan, anak keduaku yang kini berusia 9 tahun tampak semringah. Ia yang baru saja pulang dari bermain bola tampak mengeluarkan lidahnya. Kami memang sudah lama tidak makan enak. Hanya saja haruskah dia begitu kampungan sampai-sampai berprilaku seperti itu.
“Cuma ayam aja kok.”
“Lah, emang kita enggak pernah makan ayam Yah.”
“Arfan, bantu Bunda sini!”
Lara yang kini tengah berada di dapur malah memanggilnya. Padahal, aku masih ingin menasihati anak keduaku ini.
“Kamu bantu Bunda cucikan timun surinya ya!”
“Oke!”
“Anak cowok itu jangan dibiarin main di dapur. Pamali!” sindirku.
Saat itu Lara hanya diam saja, entah sudah berapa kali aku melihat Lara kerap meminta anak-anakku untuk membantunya memasak. Apa lagi Musa, dia malah sangat lihat memasak. Entah ada apa dengannya. Lara malah mendidik mereka seperti anak perempuan. Terkadang Kana juga kerap mencuci dan menjemur pakaian di rumah. Meski, kerap digoda oleh tetangga sekitar anak itu seakan tak peduli.
Seperti kali ini, bukannya mendengar sindiranku. Kana yang baru saja pulang dari musala, malah langsung terjun ke dapur membantu Lara memotong sayuran.
“Enggak usah Mus, kamu pergi aja sana! Bunda bisa sendiri.”
“Udah biar Musa aja! Bunda mandi sana, bau ketek!’
“Kamu ini!”
Lihat saja mereka bukannya mendengarkanku Musa malah menggoda Lara. Anak itu memang sangat dekat dengan Bundanya. Hanya saja tidak selayaknya ia melakukan semua pekerjaan wanita dari mulai bersih-bersih rumah sampai memasak, bahkan sampai menyetrika pakaian pun dia lakukan.
“Kamu itu fokus aja sekolah. Main kek sama anak cowo.”
“Males, Yah! Mending di rumah.”
“Masak? Anak cowok kok hobinya masak.”
Musa memang tak pernah melawan. Hanya saja aku tahu dia sepertinya kesal setiap kali aku nasihati, untuk tidak mengambil alih pekerjaan rumah tangga.
“A, udah selesai ini!”
“Oke, sini! Kita bikin es timun suri pakai gula merah.”
“Wah enak, tumben sih kita makan enak hari ini.”
“Iya, aa gajian.”
“Kamu gajian?” tanyaku.
Bukan apa-apa, hanya saja aku heran. Musa masih kelas 1 SMA, tapi dia sudah mendapatkan gaji. Memangnya dia bekerja apa?”
“Iya, Yah.”
“Kerja apa?”
“Ngajar ngaji di musala.”
“Hah, sejak kapan?”
“Udah lama, Yah.”
“Siapa muridnya?”
“Ya anak-anak tetangga sekitar aja.”
“Kamu minta-minta ke tetangga kita?”
Musa malah terdiam, tetapi dari gerakkan bibirnya aku tahu dia sedang mengucap istighfar.
“Lain kali enggak usahlah kamu ngajar lagi, nanti ngeganggu sekolah kamu.”
“Ngajar ngajinya ‘kan sore abis ashar. Enggak akan mengganggu.”
“Lara, kamu ya yang minta Musa ngajarin ngaji anak tetangga?”
“Aku enggak pernah minta. Biarin aja atuh Kang, namanya juga ngisi waktu luang.”
“Tapi, kalau dia jadi enggak fokus belajar bagaimana? nanti malah enggak dapet tuh beasiswanya buat kuliah nanti.”
“Akang tuh kenapa sih, lagian Musa ‘kan melakukan kegiatan positif. Bukannya didukung.”
“Bukan masalah positif dan negative, lah dia minta-minta ke anak tetangga. Akang yang malu.”
Lara yang kala itu baru keluar dari kamar mandi mendadak mendekat.
“Musa, emang kamu pernah minta-minta sama murid kamu?”
“Enggaklah, Bun. Tadinya juga enggak bayar, orang tuanya aja yang inisiatif ngasih Musa. Lagian mana berani Musa, minta-minta apa lagi sama tetangga kita. Walaupun, sebenarnya kita lebih sering kekurangan dari pada cukup.”
“Maksud kamu apa ngomong begitu, Musa?”
“Ya emang kenyataannya begitu ‘kan Yah, lihat aja ibu. Di lingkungan ini, mana pernah ibu ikut kumpul-kumpul. Pengajian aja ibu kadang enggak berangkat.”
“Ya, itu ibu kamu aja yang enggak mau berangkat.”
“Emangnya Ayah tahu kenapa ibu enggak berangkat? Ayah pernah tanya enggak kenapa ibu enggak pernah berangkat?”
“Sa, udahlah. Bentar lagi maghrib loh, jangan ribut ya! Sayang ‘kan puasa kamu dari pagi.”
“Enggak apa Bun, aku enggak akan ribut kalau enggak terus-terusan disinggung. Ayah juga harus tahu ‘kan?”
“Memangnya kenapa sih? Lagian buat apa juga pengajian kalau orang paling di sana cuma adu pakaian.”
“Pengajian, itu biar dapet ilmu atuh Yah. Bukan adu out fit.”
“Kenyataannya begitu lihat saja tetangga kita, mau pengajian aja segala perhiasan di pakai.”
“Ya, biarin aja atuh Ayah. Orang mereka punya, ya wajar di pakai. Enggak kayak Bunda yang enggak punya apa-apa. Jadi, apa yang mau dipakai?”
“Kamu sekarang udah pinter ngomong ya, oh udah jadi guru ngaji jadi merasa berhak melawan sama orang tua. Besok-besok enggak perlu kamu ajar ngaji. Berapa sih gaji kamu ngajar ngaji di sana!”
“500.000 sebulan.”
“Cuma 500 ribu sebulan buat apa, Musa. Besok-besok enggak usah diterima! Malu-maluin aja, balikkin ke mereka.”
“500 ribu juga uang Ayah.”
“Gaji Ayah aja 10 juta.”
“Gaji 10 juta juga percuma kalau enggak pernah di kasih ke Bunda.”
“Ya, Bunda kamu boros. Yang ada 10 juta abis sehari.”
“Boros dari mana? 1 juta aja Ayah enggak pernah kan kasih ke Bunda? Mending juga gaji Musa 500 ribu full buat Bunda! Coba ngandelin gaji ayah. Setiap hari Ayah belanja seenak sendiri. Beli sayuran, ya sayurannya aja emangnya bisa layak makan tanpa bumbu? Di mana-mana juga yang belanja mah perempuan bukan laki-laki. Ayah belanja cuma tempe tahu, emangnya bisa mateng tanpa minyak? Udahlah Yah, Musa capek! Ayah mah kebanyakan gengsi, enggak pernah mikirin kalau kita juga pengen hidup normal. Bukan hidup terserah ayah. Gaji 10 juta juga bukan buat Bunda mah, enggak jadi apa-apa. Makan aja kadang enggak kenyang, karena berasnya enggak cukup!”
Sungguh aku benar-benar tak menyangka, jika Musa akan bicara selantang itu. Hanya, karena ia bisa menghasilkan uang lima ratus ribu rupiah saja, seolah-olah ia sudah mencukupi semua kehidupan hidup. Memang benar selama ini, aku yang mengatur keuangan rumah tangga. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, aku hanya berkaca pada saudara-saudaraku di kampung yang mana keuangannya di pegang istri. Kebanyakan mereka sampai hari ini hidupnya hanya begitu-begitu saja. Tak banyak perubahan.Bahkan, banyak teman-temanku yang belum memiliki rumah, padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan 20 tahun. Namun, lihatlah aku sekarang, mobil angkutan umum ada 3 tanah ada rumah juga ada di kota. Bisa-bisanya Musa mengatakan usahaku ini tak jadi apa-apa.“Kamu tahu apa hah? Kamu enggak lihat tanah kita di kampung sama mobil angkot? Itu yang kamu bilang enggak jadi apa-apa?”“Ya kalau di sini kelaparan, buat apa juga punya banyak mobil sama tanah. Da enggak ngenyangin!”“Hidup itu enggak cuma tentang maka
“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”“Aku kasih uang.”“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”Deg.“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”“Udahlah Aka
Entah kenapa harga diriku seperti diinjak-injak. Baik sebagai laki-laki maupun seorang ayah.“Kalau masih mau marah sama Bunda, mending tahan dulu deh. Jangan rusak momen bahagia adik-adik yang jarang makan enak!”Musa tampak begitu santai mengatakan hal itu. Memang nada bicaranya juga tidak kasar, hanya saja entah kenapa terasa begitu menusuk ke hati. Ia seperti menaruh banyak kebencian dalam setiap ucapannya. Aku hanya memikirkan masa depan mereka. Apa lagi saat anak-anak sudah menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kalau tidak dipersiapkan dengan matang sejak sekarang, bagaimana nanti kita akan melewati masa tua.1001 anak yang mau mengurus anaknya saat sudah sepuh. Namun, bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka.“Ayah itu begini juga buat kalian?”“Apanya yang buat kami? Buat keluarga ayah doang kok.”“Ya, ‘kan Ayah juga harus mikirin sekolah adik-adik kamu. Biaya lahirran Bunda juga, terus kuliah kamu. Itu butuh biaya yang enggak sedikit.”“Ayah enggak salah ngomong gi
“Ya, kenapa angkot? ‘Kan itu bisa jadi sumber penghasilan buat kita?”“Kita?”“Ya, ‘kan itu uangnya ditabung. Sama aja ujungnya buat kita juga nanti.”“Emangnya Akang yakin kita bakal terus sama-sama?”“Kenapa kamu ngomong gitu?”“Enggak apa-apa.”Sejenak kami saling pandang, tetapi beberapa detik kemudian, Lara langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Aku sibuk, kasihan Musa nyuci sendirian.”“Aku enggak bisa kalau jual angkot Ra, ‘kan lumayan. Bisa buat tambahan, kalau dijual semua. Emangnya mau kalau kita enggak ada pemasukan lain.”“Ada atau enggak ada pemasukan, emang aku peduli?”“Ya, harus peduli dong Ra. Itu juga harta kita.”“Kalau harta kita, harusnya aku ikut menikmati ‘kan? Ini aku lagi hamil besar aja, masi harus nyuci pakaian tetangga. Apa untungnya buat aku punya atau enggak punya mobil angkot, buat aku sama aja. Kalau enggak kerja, ya enggak akan kenyang.”“Oke, mulai sekarang penghasilan angkot biar kamu yang pegang.”“Penghasilan apa? Bukannya selama ini penghasi
“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.“Kamu enggak salat?”“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”“Ka
“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku. “Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!” “Kamu udah enggak sakit kakinya?” “Kalau sakit, memangnya kenapa?” “Ya, Akang mau pijitin.” “Enggak usah! Haram!” “Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.” “Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.” “Enggak usah.” “Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.” Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan. “Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?” “Sudah.” “Siapa yang belikan?” “Di kasih Bu Aisyah?” “Di kasih bekasan?” “Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?” Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku te
“Kamu enggak inget ya, sampai kapan pun, enggak peduli kamu mau bilang pisah berapa kali lagi, talak itu hanya jatuh saat diucapkan suami. Aku enggak suka ya Ra, kamu bicara sembarangan begini. Kamu tahu enggak istri yang gampang mengucap cerai, itu enggak akan mencium wangi surga?” Entahlah baru kali ini aku melihat Lara seberani ini. Aku tidak menyangka bisa-bisanya dia punya pikiran sejauh itu. “Lalu, bagaimana hukumnya suami yang enggak bertanggungjawab? Membiarkan anak-anaknya kelaparan, bahkan sampai malnutrisi. Akang pikir rumah tangga ini hanya tentang rumah, kendaraan dan tabungan aja? Akang itu terlalu sombong, Akang yakin banget bakal hidup sampai tua nanti, kalau enggak siapa yang kelak nikmatin kerja kerasmu? Akang terlalu memikirkan masa depan, padahal kita hidup di masa sekarang. Akang membiarkan kami sedemikian berhematnya, sampai aku muak.” “Akang minta maaf. Kemarin itu benar-benar lupa. Lagi pula kenapa kamu enggak menghubungi Akang coba?‘Kan bisa kamu telepon Ak
“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar