“Kok bisa? Tapi, istri saya belum pulang ke rumah kok.”
“Maaf Pak, kalau soal itu saya kurang tahu. Mungkin Bapak bisa hubungi yang bersangkutan buat memastikannya.”
“Haduh, istri saya aja hpnya ditinggal di rumah. Bagaimana mau dihubungi.”
“Sabar dulu Pak, mungkin saja sekarang Mbak Laranya sudah ada di rumah,” ucap Pal Zul yang mencoba menenangkanku.
“Tadi saya baru aja teleponan sama Musa. Dia aja nitipin Lara ke saya. Sekarang di mana coba.”
“Coba Kang Jimy ingat-ingat Mbak Lara punya teman yang tinggal di sekitar sini enggak? Siapa tahu aja Mbak Lara mampir ke sana.”
“Aduh saya enggak tahu kalau soal itu. Lara emang jarang keluar.”
Bagaimana dia akan keluar, bahkan belanja saja seringnya aku yang membelikannya.
“Tapi, keadaan pasiennya bagaimana ya Sus? Apa dia baik-baik saja? Maksudnya kandungannya bagaimana? Bayinya selamat &l
“Kamu kok sekarang jadi tambah berani? Syifa ya, yang ngajarin kamu buat pisah? Pasti dia ‘kan, yang mempengaruhi kamu, biar berani melawan sama suami? Makanya Akang enggak pernah suka kamu bergaul dengan perempuan itu. Dia itu cuma bawa pengaruh buruk buat kamu. Sekarang lihat! Kamu bahkan dibuat begini!”“Apa sih Kang, jelas-jelas salah Akang sendiri yang enggak bertanggung jawab sama anak istri. Kalau, Akang enggak salah apa-apa kenapa juga aku minta pisah. Mana lagi hamil besar, aku juga malu kali sama orang-orang. Anak banyak, posisi hamil besar, tapi mau bagaimana lagi. Harta Akang abisaja masih bisa santai. Percuma Akang pulang kampung, mending enggak usah pulang. Doain aja semoga aja mereka bahagia sudah bawa kabur harta yang selama ini Akang banggakan itu.”Saat itu Lara malah membalikkan badannya dan bersiap pergi. Padahal, aku masih ingin bicara banyak hal dengannya. Namun, saat itu juga aku baru tahu kalau cara jalan Lara
“Laki-laki itu yang dipegang ucapannya! Aku cukup tahu diriku kok, meski aku miskin. Aku tidak akan pernah serakah mengambil rumah yang bukan hakku. Sudahlah, enggak perlu buang-buang waktu. Aku tahu pada akhirnya Akang enggak akan pernah tega buat tegas ke mereka.”“Siapa bilang Akang bisa tegas? Biar Akang yang pergi dari rumah.”Saat itu tanpa pikir panjang aku menumpahkan semua pakaian Lara yang sudah ia tata sedemikian rapinya ke dalam koper. Aku memang terlanjur emosi. Mau bagaimana pun lebih baik aku yang keluar dari pada anak-anak. Setidaknya aku tidak perlu bingung mencari mereka. Jika, Lara sudah senekat ini, aku hanya takut jika ia malah membawa anak-anak pergi jauh dariku.Mungkin saja aku juga tidak akan diizinkan bertemu mereka, terlebih ia juga sedang hamil. Aku hanya memikirkan bagaimana ia akan mengurus semuanya sendirian. Setidaknya dengan di rumah, ia akan merasa lebih nyaman.Sifat Lara benar-benar berubah, aku
Anak-anak bahkan tak ada yang peduli padaku. Termasuk Sean dan Arfan yang malah mengabaikanku dan memilih mengikuti Lara masuk ke dalam kamar. Sungguh sekarang aku benar-benar merasa perkataan Musa tidak sepenuhnya salah. Dibandingkan mereka yang butuh, justru sebaliknya akulah yang sebenarnya membutuhkan mereka. Aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai hidup tanpa mereka.Sedangkan, mereka bahkan tanpa dukungan keuangan dariku pun bukan lagi masalah besar. Ya Tuhan bagaimana bisa rumah tanggaku jadi berantakan seperti ini. Aku hanya ingin tetap menjalankan kewajibanku sebagai anak pada orang tuaku. Namun, kenapa harga yang harus dibayar begitu mahal. Aku bahkan harus merelakan rumah tanggaku hancur berantakan. Lara menyerah dan aku bahkan tako lagi mendapatkan rasa hormat dari anak-anakku. Terutama Musa.Dia bahkan lebih rela bertarung di jalanan, dari pada meminta uang padaku.Ya Tuhan ayah macam apa aku?Melihat mereka yang sepertinya tak peduli dengan
“Terus sekarang anak-anaknya di mana Bu?” “Ya ada di rumah saya! Musa yang nemeinin Lara di rumah sakit.” “Hm, sa-saya ke rumah sakit dulu, nanti biar Musa yang ambil anak-anak, di rumah ya!” “Ya sudah buruan kalau mau ke Rumah sakit, takut kenapa-kenapa sama ibu dan bayinya.” Bu Yeni yang terbiasa bicara dengan lembut saja sampai mendadak mengeraskan suaranya. Saking paniknya. Melihat dari darah yang masih cair. Bisa dipastikan kejadiannya masih belum lama. Jadi, tanpa pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit untuk memastikan keadaan istri dan anakku. Di sana ternyata Lara sedang ditangani. Musa yang tak diperkenankan masuk, hanya bisa menunggunya dilorong rumah sakit. Melihatku datang anak itu bahkan terlihat biasa saja. Dari pada merasa senang, karena ada yang membantunya Musa malah tampak kesal melihatku. “Ngapain ke sini sih?” “Ya, Ayah ke sini khawatir sama Bunda. Salah?” “Yang bikin Bunda harus melahir
"Oh ya udah Bu, terima kasih untuk informasinya. Nanti saya secepatnya ke sana."Jika, aku tidak salah ingat Cirebon adalah kota di mana istri Kang Yana berasal. Bisa-bisanya aku tidak terpikir untuk mencari sampai ke sana."Kamu mau pergi?"Saat itu suara lirih terdengar dari arah belakang. Itu artinya berasal dari ranjang tempat Lara berbaring. Benar saja begitu aku melihatnya, Lara sudah terjaga. Wanita itu, lantas menatapku dengan pandangan yang sayu."Alhamdulillah kamu udah sadar, Dek. Ya Allah akang bersyukur banget kamu bisa sadar. Akang pikir kamu nggak bakal bangun lagi."Entah kenapa aku begitu emosional ketika melihat mata larang yang terbuka. Mendengar suaranya saja sudah membuatku bahagia bukan main. Rasanya seperti dihidupkan kembali.Ya Tuhan, aku tidak pernah merasakan setakut ini kehilangan seseorang. Tanpa peduli Lara akan berpikir apa, aku sudah tidak bisa mengendalikan perasaan yang mendadak begitu emosional."Jad
Aku tidak percaya bagaimana bisa Lara melemparkan cincinnya begitu saja, padahal aku bersusah payah mendapatkan cincin itu? Entah kenapa sikapnya menjadi sangat kasar. Laraku tak pernah begini sebelumnya. Aku bahkan sampai tak bisa berkata-kata melihatnya sampai semarah ini."Kenapa masih di sini! Sana pergi!"Saat itu aku memilih untuk tetap diam bukan, karena aku merasa kalah, tetapi aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Terbukti, setelah meluapkan emosinya Lara malah menangis sejadi-jadinya. Seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, Ia menangis bahkan sampai tersedu-sedu."Aku nggak mau makan, aku juga gak mau lihat muka kamu! Kenapa nggak pergi aja sih? Biarin Musa yang di sini, aku nggak butuh kamu!"Dari pada mendengarkan Lara yang terus-menerus meluapkan kemarahannya, aku memilih untuk mencari cincin pernikahan kami yang dilemparkan entah ke mana. Lagi pula menanggapi ucapan Lara juga bukan sebuah solusi yang baik. Jika wanita sedang
Saat itu tanpa peduli aku memohon padanya Lara malah memilih untuk meraih ponselnya yang saat itu terletak di atas nakas. Entah apa yang dia ketikan di sana. Aku yang saat itu sangat penasaran pun langsung merebutnya. Ternyata dia malah mengirim pesan pada Musa agar anak itu segera datang ke rumah sakit.“Kamu bener-bener enggak mau ditemani aku, Ra?”Lihat saja sekarang ia bahkan bukan sekedar tak ingin melihatku, wanita ini juga tak mau menjawab saat aku mengajaknya bicara.“Oke, Akang pergi. Akang yang jaga anak-anak aja! Kamu ingin harta itu bukan? Akang akan mengurusnya secepatnya. Kamu tunggu saja!”Aku tidak tahu kenapa kamu bisa sampai semarah itu padaku. Ia bahkan masih saja memunggungiku. Bahkan, ketika aku mengajaknya bersalaman pun ia juga hanya diam saja. Kalau sudah begini aku bisa apa? Bahkan, rasanya jika aku memohon sebagaimana pun ketika ia sudah diam tak mau merespons seperti sekarang, semua yang aku lakukan akan
“Kalau rumah di kampung dijual terus ibu mau tinggal di mana, Jimy? Tega kamu bikin ibu jadi gelandangan, hiks.”Lagi-lagi ibu terisak, bahkan sekarang terdengar sangat memilukan. Ia memang paling pandai menarik simpati orang lain. Mungkin saja sekarang baik Hamzah maupun polisi menjadi kasihan.“Mereka yang minta ibu buat jual angkot, Jim. Ibu juga tadinya mah enggak mau.”“Ibu ‘kan orang tua, bukan anak kecil. Mereka juga anak-anak ibu. Ibu harusnya bisa nolak, kalau butuh uang kenapa enggak jual emas atau rumah aja sekalian? Kenapa malah jual barang-barang punya aku?”Entahlah aku bahkan tidak bisa mempercayainya lagi. Tak peduli dia berkata jujur atau tidak aku akan tetap meminta ganti rugi apa-apa yang telah mereka ambil. Setidaknya meski mereka juga tak akan menggantinya secara utuh, minimal ini akan jadi teguran keras agar kedepannya mereka tidak sembarangan merampas hak orang lain. Apa lagi hanya kar
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar