“Diblokir itu mah, Yah,” sahut Musa.Rupanya dia kembali keluar kamar. Aku bahkan tak menyadari keberadaannya, karena terlalu sibuk memikirkan tingkah keluargaku yang ternyata begitu kejam dan serakah terhadap uang. Mereka bahkan tak punya belas kasihan. Sungguh, sekarang aku benar-benar merasa hanya dijadikan tak ubahnya seperti sapi perah oleh mereka.“Ini buktinya aku bisa kirim pesan ke nenek.”Musa menunjukkan layer ponselnya yang baru saja mengirimkan pesan singkat pada nomor ibu dan memang terkirim. Bahkan, di sana foto profilenya juga masih terlihat. Berbeda denganku yang masih putih. Namun, saat itu tak menunggu lama, rupanya nomor Musa juga diblokir setelah pesan itu dibaca ibu.“Astaghfirrullah, keterlaluan banget mereka ini. Giliran butuh apa-apa aja nelepon.”“Sekarang ayah tahu sendiri ‘kan bagaimana perlakuan nenek ke Bunda. Semua yang diucapin Bunda itu nyata, tapi Ayahnya aja yang enggak pernah percaya. Kasihan, ‘kan Bunda selalu jadi korban fitnah. Padahal, jelas-jel
“Tapi, kalau berangkat malam aturan pagi udah sampai rumah saya. Orang Sukabumi ke Bogor ‘kan enggak terlalu jauh Bu, saya juga berangkatnya agak siang kok.”“Aduh saya kurang tahu kalau masalah itu. Soalnya pas saya tanya, Bu Sukma jawabnya gitu, mau silaturahmi ke rumah Kang Jimy.”Ya Tuhan, drama apa lagi yang dilakukan mereka. Setelah berhasil menjual angkotku sekarang mereka malah mau melarikan diri. Sungguh keterlaluan.“Kalau begitu saya permisi, Kang.”“Iya, Bu Neneng makasih banyak ya, buat informasinya.”Sekarang aku bahkan tak tahu bagaimana cara membuka gembok dan rumahnya. Saat itu tampak hanya ada satu mobil angkot yang terparikir di grasi. Sungguh, begitu melihatnya emosiku menjadi memuncak seketika. Tanpa sadar, karena rasa lelah, lapar dan emosi yang bercampur menjadi satu, tanpa sadar aku menendang pagar rumah ibu dengan begitu kerasnya. Sampai-sampai hal itu membuat Sean dan A
Di tengah kebingungan saat itu Arfan malah menghampiriku.“Ayah itu Sean muntah!”Saat itu aku yang khawatir langsung menuju ke ruang tamu untuk mengeceknya. Namun, begitu sampai sana benar saja keadaan Sean sudah sangat memprihatinkan. Suhunya bahkan kembali meningkat. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terus menerus. Tanpa pikir panjang aku membawa anak itu pergi ke dokter.Saking tinggi demamnya, gigi Sean bahkan sampai terdengar gemelatuk. Aku jadi teringat akan perkataan Lara yang bilang kalau daya tahan tubuh Sean tidak sekuat anak-anak yang lain. Apakah sekarang semua yang terjadi adalah dampak dari stunting yang dideritaya? Ya Tuhan, semoga saja itu tidak akan separah yang ada dalam pikiranku.Ketika bertemu dengan Dokter pun, aku malah disalahkan ketika melihat Sean untuk pertama kali. Ia langsung mempertanyakan kondisi tubuhnya yang memang lebih kecil dari anak seusianya. Namun, rasanya aku sangat malu untuk mengatakan
“Memang warga sekitar enggak ada yang lihat Bundanya ke mana?”“Enggak ada. Itu katanya motor, tiba-tiba ada di pinggir jalan. Makanya di bawa ke balai desa.”“Aduh, tapi ini Sean masih demam. Enggak ada yang jaga di rumah juga. Kamu pulang aja dulu, Mus! Nanti biar Ayah yang urus di luar.”“Sean masih demam, ya!”“Tadi udah turun, tapi mungkin kecapean di jalan, jadi drop lagi.”“Ya sudah Musa pulang sekarang!”Butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dari tempat sepeda motor Lara ditemukan ke rumahku. Bagaimana mungkin Lara bisa pergi sejauh itu di malam hari.“Ya Allah Ra, kamu baik-baik aja ‘kan Sayang? Kamu boleh marah, boleh kecewa sama Akang, tapi enggak sampai nyakiti diri sendiri juga dong Ra. Kalau ada apa-apa sama kamu, anak-anak pasti bakal sedih banget. Apa lagi Akang, bisa apa aku tanpa kamu. Bahkan mengurus Sean yang demam saja aku tidak bis
“Kok bisa? Tapi, istri saya belum pulang ke rumah kok.”“Maaf Pak, kalau soal itu saya kurang tahu. Mungkin Bapak bisa hubungi yang bersangkutan buat memastikannya.”“Haduh, istri saya aja hpnya ditinggal di rumah. Bagaimana mau dihubungi.”“Sabar dulu Pak, mungkin saja sekarang Mbak Laranya sudah ada di rumah,” ucap Pal Zul yang mencoba menenangkanku.“Tadi saya baru aja teleponan sama Musa. Dia aja nitipin Lara ke saya. Sekarang di mana coba.”“Coba Kang Jimy ingat-ingat Mbak Lara punya teman yang tinggal di sekitar sini enggak? Siapa tahu aja Mbak Lara mampir ke sana.”“Aduh saya enggak tahu kalau soal itu. Lara emang jarang keluar.”Bagaimana dia akan keluar, bahkan belanja saja seringnya aku yang membelikannya.“Tapi, keadaan pasiennya bagaimana ya Sus? Apa dia baik-baik saja? Maksudnya kandungannya bagaimana? Bayinya selamat &l
“Kamu kok sekarang jadi tambah berani? Syifa ya, yang ngajarin kamu buat pisah? Pasti dia ‘kan, yang mempengaruhi kamu, biar berani melawan sama suami? Makanya Akang enggak pernah suka kamu bergaul dengan perempuan itu. Dia itu cuma bawa pengaruh buruk buat kamu. Sekarang lihat! Kamu bahkan dibuat begini!”“Apa sih Kang, jelas-jelas salah Akang sendiri yang enggak bertanggung jawab sama anak istri. Kalau, Akang enggak salah apa-apa kenapa juga aku minta pisah. Mana lagi hamil besar, aku juga malu kali sama orang-orang. Anak banyak, posisi hamil besar, tapi mau bagaimana lagi. Harta Akang abisaja masih bisa santai. Percuma Akang pulang kampung, mending enggak usah pulang. Doain aja semoga aja mereka bahagia sudah bawa kabur harta yang selama ini Akang banggakan itu.”Saat itu Lara malah membalikkan badannya dan bersiap pergi. Padahal, aku masih ingin bicara banyak hal dengannya. Namun, saat itu juga aku baru tahu kalau cara jalan Lara
“Laki-laki itu yang dipegang ucapannya! Aku cukup tahu diriku kok, meski aku miskin. Aku tidak akan pernah serakah mengambil rumah yang bukan hakku. Sudahlah, enggak perlu buang-buang waktu. Aku tahu pada akhirnya Akang enggak akan pernah tega buat tegas ke mereka.”“Siapa bilang Akang bisa tegas? Biar Akang yang pergi dari rumah.”Saat itu tanpa pikir panjang aku menumpahkan semua pakaian Lara yang sudah ia tata sedemikian rapinya ke dalam koper. Aku memang terlanjur emosi. Mau bagaimana pun lebih baik aku yang keluar dari pada anak-anak. Setidaknya aku tidak perlu bingung mencari mereka. Jika, Lara sudah senekat ini, aku hanya takut jika ia malah membawa anak-anak pergi jauh dariku.Mungkin saja aku juga tidak akan diizinkan bertemu mereka, terlebih ia juga sedang hamil. Aku hanya memikirkan bagaimana ia akan mengurus semuanya sendirian. Setidaknya dengan di rumah, ia akan merasa lebih nyaman.Sifat Lara benar-benar berubah, aku
Anak-anak bahkan tak ada yang peduli padaku. Termasuk Sean dan Arfan yang malah mengabaikanku dan memilih mengikuti Lara masuk ke dalam kamar. Sungguh sekarang aku benar-benar merasa perkataan Musa tidak sepenuhnya salah. Dibandingkan mereka yang butuh, justru sebaliknya akulah yang sebenarnya membutuhkan mereka. Aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai hidup tanpa mereka.Sedangkan, mereka bahkan tanpa dukungan keuangan dariku pun bukan lagi masalah besar. Ya Tuhan bagaimana bisa rumah tanggaku jadi berantakan seperti ini. Aku hanya ingin tetap menjalankan kewajibanku sebagai anak pada orang tuaku. Namun, kenapa harga yang harus dibayar begitu mahal. Aku bahkan harus merelakan rumah tanggaku hancur berantakan. Lara menyerah dan aku bahkan tako lagi mendapatkan rasa hormat dari anak-anakku. Terutama Musa.Dia bahkan lebih rela bertarung di jalanan, dari pada meminta uang padaku.Ya Tuhan ayah macam apa aku?Melihat mereka yang sepertinya tak peduli dengan
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar