Tangan kanannya meraih lenganku, kemudian menuntunku supaya duduk di dalam kamar belakang. Jantungku rasanya berpacu lebih cepat dari biasanya."Duduk dulu sini ya, biar enak ngobrolnya," ucapnya setelah aku menyerahkan bobot tubuh ini pada dipan di kamar belakang."Ya udah tanya aja, Mas, nanti kujawab, kalau bisa."Aku menghela napas beberapa kali,menetralkan detak jantung yang masih berkejaran sebab sapaan suamiku yang tiba-tiba."Jawab beneran ya, yang ikhlas jawabnya," pintanya setelah aku duduk mengikuti inginnya."Wih, udah kayak sedekah aja, Mas, musti ikhlas.""Apaan sih, Dek, jangan ngelantur deh."Mas Ari membuang pandang, terlihat sedang mengatur napas dan kata sebelum mulai membuka suara."Jadi gini," ia menjeda kalimatnya. "Mas lagi nyari sesuatu, barangkali kamu lihat atau nemu gitu," ujarnya dengan sedikit menaikkan kedua alisnya."Nyari apaan Mas? Barangkali tuh batu, kerikil, pasir, it
Semilir angin malam menerobos celah jendela kamar. Anak rambut yang tak terikat sempurna bergerak-gerak mengikuti hembusannya. Dalam buaian hawa dingin yang menerpa wajah, aku termenung untuk beberapa waktu lamanya. Masih berusaha mencerna kejadian demi kejadian antara aku dan suami, serta kata demi kata yang tak bisa kupahami.Kesunyian mengelilingi kami berdua karena sibuk dengan pikiran masing-masing."Jadi kamu lebih memilih memberikan uangmu untuk Mama, Mas?" tanyaku setelah berusaha menenangkan diri."Iya, Dek. Mama lebih butuh uang Mas, jadi kalau nanti uangnya ketemu, mau Mas berikan untuk Mama."Ia masih terlihat gelisah, tapi setiap kata yang keluar terdengar lancar, seperti laju kendaraan di jalan tol."Apa menurutmu, aku dan anak-anak tidak butuh uangmu hingga kau berikan penghasilan kamu untuk Mama?" tanyaku ingin tau.Kutatap wajah lelaki yang pernah membuatku membumbung tinggi. Mencoba mencari k
Aku beranjak dari duduk. Gegas melangkahkan kaki ke kamar di mana anak-anak sedang terlelap. Membuka lemari yang ada di sana, kemudian meraih amplop putih yang isinya tinggal beberapa lembar lagi."Ini Mas, yang kamu cari."Kuulurkan amplop putih yang tak lagi tebal itu. Kedua mata Mas Ari membola melihat benda di tanganku. Ragu, ia ambil dan ia buka.Ia mulia menghitung lembaran biru yang tersisa di sana."Cuma segini, Dek?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis."Iya, Mas," jawabku singkat."Ini bahkan tak ada sepuluh persen dari keseluruhan isinya, Dek."Ia mengusap wajah dengan tangan kanannya. Ia terlihat kacau saat ini."Maaf ya, Mas. Biar kuberitahu ke mana larinya uang dalam amplop itu."Aku berhenti sejenak. Kuatir napas supaya trap tenang saat bicara."Kamu benar bahwa jumlahnya tak sampai sepuluh persen, itu karena aku telah menggunakan sebagian besar isinya," jelasku.
"Kamu gimana, sih, minta uang dia kan bisa Ri. Kalau cuma segini ya kurang banyak, dong. Percuma Mama punya anak dan menantu yang bekerja tapi nggak bisa membantu keuangan Mama.""Mama tenang saja, nanti Ari usahakan minta uang Lisa. Sekarang ini Ari yakin tabungan dia banyak, soalnya catering dia jalan terus. Tapi Minggu ini Ari nggak lihat dia sibuk di dapur bikin pesanan.""Bagus, minta sebanyak-banyaknya, pokoknya minta ganti semua yang pernah kamu keluarkan untuk dia."Detak jantungku rasanya bertalu-talu mendengar kalimat demi kalimat yang melewati gendang telinga. Tak pernah menyangka sama sekali, kalau ada seorang Ibu yang tak rela anak lelakinya menafkahi istri dan anaknya hingga minta ganti. Jadi untuk apa anaknya dinikahkan kalau tak boleh menafkahi pasangan dan keturunannya?"Mama masih memikirkan cara supaya anak-anak kamu bisa tinggal di sini. Kalau perlu kalian berempat di sini lagi, biar lebih mudah Mama atur ke
Senyum manis kupersembahkan pada dua orang di hadapanku. Terserah mereka mau berkomentar apa padaku. Aku sudah lelah dengan semua ini."Dek!"Mata Mas Ari sedikit membesar. Mungkin tak menyangka aku berani berkata seperti itu."Apa maksud kamu, Sa? Ari anak Mama bukan barang, kok dikembalikan?"Wajah Mama terlihat bingung. Ia melihat aku serta Mas Ari bergantian, seakan meminta penjelasan."Maaf, aku mundur Mas. Berbaktilah pada Mama, tanpa dzolim pada anak dan istri. Bukankah ini jauh lebih baik, saat kamu bersama Mama di sini?"Kukatupkan kedua tangan di depan dada."Apa maksudmu mundur, Dek? Jangan bercanda kamu?!"Ia merangsek maju, menyisakan jarak satu langkah kaki di depanku. Inilah saatnya kusampaikan apa yang telah kupikirkan beberapa waktu belakangan ini."Aku menyerah jadi istrimu Mas, untuk apa lagi aku bertahan jika Mama tetap kau utamakan, sedangkan aku kau sebut sebagai pencuri hanya kare
Ponselku berpendar untuk kesekian kalinya. Namun, aku tak berniat menerima panggilan maupun membuka pesan yang masuk ke sana.Kedua bocah kecilku telah terlelap sejak tadi. Nampaknya mereka kelelahan setelah puas naik turun tangga dan melompat-lompat di kasur menjelang tidur. Malam pertama kami di sini, di ruko ini, kami lalui dengan tawa dan canda meski tanpa kehadiran Mas Ari. Keduanya nampak baik meski beberapa kali bertanya kenapa ayahnya tak ikut di sini.Kualihkan pandang ke luar jendela ruko. Lalu lalang kendaraan masih ramai meski malam telah mulai larut. Bintang gemintang memenuhi langit malam ini, menambah indah cuaca cerah yang dipersembahkan Sang Pencipta. Tanpa sadar lisanku mengucap kalimat tasbih berkali-kali.Hatiku menghangat seiring munculnya bulan separuh yang tadi tertutup awan. Alam seakan mengerti, bahwa hatiku pun kini tinggal separuh, setelah kuputuskan untuk memulangkan suamiku pada Mama mertua. Biarla
Genderang kembali ditabuh di dalam hati begitu aku selesai mendengar pesan ini. Tak pernah menyangka sama sekali dengan semua yang terjadi padaku selama ini.Tanpa terasa butiran-butiran kristal meluncur dari kedua sudut mata tanpa bisa kucegah."Kenapa baru sekarang kamu kirim video ini, Mas?" ujarku seorang diri di sela isakan.***"Jadi begini kelakuan kamu? Pantas saja kau tinggalkan anakku, ternyata demi lelaki ini?"Bibir Mama tersenyum miring saat bertemu mata denganku. Aku tak menyadari kehadirannya, tiba-tiba saja beliau sudah berdiri di depanku.Aku sedang berada di sebuah restoran untuk makan siang yang terlambat bersama Putri dan Arlan. Kenapa terlambat? Karena sekarang jam dua siang, dan kami baru menerima hidangan yang kami pesan. Putri pamit ke toilet sepuluh menit yang lalu saat Mama datang dan berkata tak menyenangkan. Aku merasa tak enak hati dengan Arlan yang melihatku dengan pandangan penuh tanya.
"Aku nggak tau mesti sedih apa senang, yang jelas aku lega, Sa."Putri memelukku erat, seakan menyalurkan kekuatan padaku. "Kamu kuat ya, sama anak-anak. Pokoknya panggil aku jangan sungkan kalau butuh. Kamu nggak sendirian, ingat itu," ujarnya menegaskan."Iya, makasih ya, tuan Putri."Kami menangis haru bersama. Hampir tiga bulan menjalani proses sidang yang alot karena Mas Ari menolak. Namun begitu rekaman perbincangan mereka kujadikan bukti dan sebab pengajuan cerai, akhirnya hakim memutuskan menyetujui gugatanku. Ditambah lagi dengan video kiriman Mas Imam, semakin memuluskan permohonanku.Hak asuh anak jatuh ke tanganku. Mas Ari meradang, begitu juga dengan Mama.Selama tiga bulan pula Mas Ari tak henti memohon supaya aku berubah pikiran."Pikirkan anak-anak yang akan tumbuh tanpa orang tua yang lengkap, Dek," ujarnya memohon.Bukan aku tak memikirkan hal itu. Namun anak-anak butu
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene