Seorang warga akhirnya mengemudikan mobil Rey. Ia membawa Alina dan Rey ke rumah sakit terdekat. Rey tak henti-hentinya mendengungkan takbir dan istighfar di telinga Alina secara bergantian. Ia sangat panik karena sahabatnya itu tidak merespon. Darah yang mengalir membuatnya berada dalam ketakutan yang luar biasa.Baru kali ini Rey menghadapi peristiwa seperti ini di depan mata. Bagiamana tidak mungkin merasa dihinggapi kekhawatiran yang luar biasa, tak satupun panggilannya di respon Alina. Sementara bibirnya mulai pucat dan jemari tangannya sangat dingin.Berulang-ulang ponsel dalam sakunya berdering. Ia abaikan demi berusaha membangunkan Alina.Sepuluh menit kemudian, akhirnya sampai di rumah sakit. Hujan mulai reda, mempermudah gerak Rey dan beberapa tenaga medis langsung cekatan membawa Alina ke ruang UGD.Rey tidak memperdulikan tubuhnya yang menggigil kedinginan, jugapakaian yang basah seluruhnya. Ia mondar-mandir di depan pintu. Kembali ponselnya berdering. Ia ingat Fatih. Mung
“Maaf atas kebodohanku. Maaf.” Air mata masih mengalir, merasai sakitnya kenyataan yang menghantam rumah tangganya.“Mas,” panggil Rey dari samping. Rey berdiri dan terlihat lebih baik dari sebelumnya. Ia sempat masuk angin karena lama mengenakan pakaian basah.“Mas, cari makan dulu. Biar aku yang menunggu Alina.”Fatih menggeleng. “Terima kasih, aku akan menunggu sampai Alina bangun,” tolak Fatih.“Mas harus makan supaya bisa lebih lama menjaga Alina. Tak jauh dari sini ada kantin, nanti kalau Alina bangun, aku panggil,” ucap Rey meyakinkan.Fatih terdiam sejenak sebelum mengiyakan. “Oke, aku titip Alina sebentar.”Rey mengangguk bersamaan dengan gerak tubuh Fatih yang menjauhi kursi. Rey menempati posisi Fatih tadi. Ia memandangi wajah Alina dengan perasaan bersalah.“Seandainya Gue nggak berbohong ke Belanda, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Maafin Gue.”Ia merutuki kebodohanya. Alina tidak mungkin mendatangi Meli seandainya ia masih ada di sini. Alina pasti menghubunginya
Fatih menaburkan bunga di atasnya. Berdoa sejenak sebelum pergi meninggalkan nisan buah cintanya dengan Alina. Sejujurnya tak kuat membiarkan Boy sendirian di sana, tapi hidup harus dijalani. Ada banyak hal yang mesti ia selesaikan. Terutama masalahnya dengan Alina.Merintis jalan yang pernah ia lalui bersama Alina tidak bisa dianggap mudah. Kesalahan demi kesalahan yang terjadi berawal karena Fatih tak menyadari betapa sesuatu harus dipertahankan dalam setiap kondisi apapun.Perjalanan bersama Alina yang sempat kandas, kemudian bersemi kembali membuatnya merasa menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Kehilangan dalam dua waktu yang berbeda membuatnya menyadari bahwa hanya Alina yang bisa membuat hatinya hidup.Dalam hati tetap berontak, kenapa di saat ia mulai terbiasa dengan kenyamanan bersama Alina, ada saja badai yang menghantam biduk rumah tangganya. Ia sendiri tetap berpegang teguh pada hati yang sudah terlanjur berlabuh pada sosok Alina. Tak ingin mengganti dengan yang lain
"Mas tak ada alasan untuk tidak melepasku.""Al!""Harapanmu sudah tidak ada. Boy sudah pergi bersama kepercayaanku."Fatih melepaskan genggamannya seketika setelah mendengar Alina berucap dengan tegas."Aku sudah berusaha berubah. Maaf jika perubahanku tidak seperti keinginanmu. Aku ingin tetap bersamamu, Al." Fatih berucap, lebih tepatnya mengiba. Menjadikan Alina satu-satunya adalah sebuah tujuan hidupnya. Ia tak menyangka, jika akan ada sesuatu hal yang menjadikan tujuannya mengabur di mata Alina."Aku tidak sedang berbohong, Al. Apa pun yang kulakukan setelah peristiwa rujuk itu, hanya punya tujuan satu, yaitu kamu." Fatih masih berusaha menjelaskan. Namun tampaknya, Alina memang tak perduli lagi.Pipi yang masih basah dan tangan tak henti-hentinya beradu usap dengan pipinya. Entah kenapa ucapan demi ucapan Fatih malah seperti membawa sayatan-sayatan kecil. Disaat kejujuran seorang Fatih harus dipertaruhkan, justru Alina menginginkan pria itu berhenti berjuang. Dengan begitu,
Rey menunggu hingga air mata itu berhenti menetes dan isaknya tak lagi terdengar. Beberapa saat, ia hanya mendiamkan Alina. Kali ini, ia tak bisa membenarkan tindakan Alina. Sebab, dirinya sendiri tidak ingin melukai Fatih dan mamanya. Biarlah Alina saja yang kecewa, pikir Rey. Dari pada Fatih berpikir negatif padanya, pun mamanya sendiri akan tersinggung jika sampai Rey mau mengabulkan permintaan Alina untuk tetap di berdiam di sana, menemaninya."Besok Gue ke sini. Sekarang, Lo istirahat. Gue balik dulu."Rey menepuk pelan lengan Alina sebelum pergi."Mas," panggil Rey saat berada di luar. Fatih sedang berbincang dengan mamanya. "Aku pamit pulang dulu.""Iya hati-hati. Hati-hati, Tante," balas Fatih."Iya, jaga Alina, ya?" Mama Rey berpesan, lalu mengajak Rey segera pergi.Fatih sendiri langsung memasuki ruangan. Mendapati Alina menatap ke luar jendela. Di mana terlihat rintik hujan yang perlahan cipratannya membasahi kaca. Fatih bergerak mendekati jendela, menutupnya dengan tetap
Keadaannya masih lemah, sehingga masih membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat. Bekas operasi caesar menjadikan dirinya lemah. Alina menghindari interaksi dengan orang luar. Ia hanya butuh sendiri. Membuat hatinya kembali pada keadaan semula sangat sulit dilakukannya."Al ....""Ya Tante." Alina menoleh. Tampak Dian membawa satu nampan berisi makan siang."Gak perlu dibawa ke sini, Tan. Nanti aku turun saja.""Kamu nggak boleh naik turun tangga. Jadi, makanannya Tante antar. Oya, kamar dibawah sudah siap. Nanti kamu pindah saja. Biar Rey yang menempati kamar ini." Dian memberi saran."Tante ...." Ucapan Alina menggantung. Dua bulir benda bening lolos melewati pipi."Kenapa Sayang? Apa yang kamu keluhkan?" Dian menjajari Alina di ranjang. Wanita paruh baya itu khawatir dengan Alina yang tiba-tiba menangis. Jangan-jangan luka diperutnya bermasalah. "Maaf." Tangannya bergerak menyeka pipi. "Aku tak tau diri. Bukan siapa-siapa Tante, tapi menyusahkan seperti ini." Ia mulai terisa
Tak terlalu banyak pekerjaan yang Fatih lakukan di hari ini. Meski begitu, ia enggan pulang lebih cepat. Sebab, merasa tak ada yang menanti kepulangannya.Ia berjalan dengan kepala tertunduk, memikirkan kegiatan apalagi yang ia bisa lakukan agar tidak punya waktu kosong. Menganggur, membuatnya hanya akan mengingat Alina dan baby Boy.Fursal.Sepertinya ide yang bagus. Pikirnya. Pun sudah lama dirinya tidak berkumpul di komunitas yang pernah ia gemari. Tanpa pikir panjang, Fatih merogoh ponsel. Berniat menanyakan jadwal kepada seorang teman.“Mas!”Ia merasa ada yang memanggil. Lalu, mencari sumber suara.“Rey.”*Di sinilah ia saat ini. Duduk di hadapan Rey, pria yang ia hindari seminggu terakhir ini. Tak mungkin lagi bisa menghindari Rey yang mendadak mendatanginya. Kali ini, Fatih mengajaknya benar-benar berbicara dari hati ke hati sebagai seorang laki-laki.Rey dan Fatih sama-sama menyerutup coffelatte. Keduanya terdiam cukup lama. Membiarkan jeda menjadi ruang bagi masing-masing u
Meskipun dengan kecanggungan, Fatih mencoba untuk tenang. Menunggu sosok Alina ke hadapan, seperti menunggu bertemu mantan pacar yang sudah tidak bertemu sekian lama. Dadanya berdegup kencang. Ia mengeluarkan sebuah map dari balik jaketnya. Lalu, meletakkan di meja.“Malam.”Fatih mendongak. Sosok wanita yang seminggu ini hanya bayangan di pelupuk mata, kini menjelma nyata. Sayangnya, Fatih tidak bisa memeluk untuk sekadar menguraikan rindu.“Malam juga,” balasnya.Baju gamis berbahan satin membuat penampilan Alina tampak anggun malam ini. Diam-diam, Fatih lebih banyak melirik wanita berjilbab ungu di hadapannya kini. Penampilannya jauh lebih rapi, tampak anggun dan semampai karena Alina tidak lagi hamil.Wajahnya putih, sedikit pucat karena sengaja tidak mengoles bibirnya dengan lipstik. Ia ingin tampak sederhana di hadapan Fatih, ingin menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya pria itu di sisinya, Alina tetaplah Alina yang hadir dalam kesederhanaan.“Apa kabar?” Berada dalam kecanggun
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant