Keadaannya masih lemah, sehingga masih membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat. Bekas operasi caesar menjadikan dirinya lemah. Alina menghindari interaksi dengan orang luar. Ia hanya butuh sendiri. Membuat hatinya kembali pada keadaan semula sangat sulit dilakukannya."Al ....""Ya Tante." Alina menoleh. Tampak Dian membawa satu nampan berisi makan siang."Gak perlu dibawa ke sini, Tan. Nanti aku turun saja.""Kamu nggak boleh naik turun tangga. Jadi, makanannya Tante antar. Oya, kamar dibawah sudah siap. Nanti kamu pindah saja. Biar Rey yang menempati kamar ini." Dian memberi saran."Tante ...." Ucapan Alina menggantung. Dua bulir benda bening lolos melewati pipi."Kenapa Sayang? Apa yang kamu keluhkan?" Dian menjajari Alina di ranjang. Wanita paruh baya itu khawatir dengan Alina yang tiba-tiba menangis. Jangan-jangan luka diperutnya bermasalah. "Maaf." Tangannya bergerak menyeka pipi. "Aku tak tau diri. Bukan siapa-siapa Tante, tapi menyusahkan seperti ini." Ia mulai terisa
Tak terlalu banyak pekerjaan yang Fatih lakukan di hari ini. Meski begitu, ia enggan pulang lebih cepat. Sebab, merasa tak ada yang menanti kepulangannya.Ia berjalan dengan kepala tertunduk, memikirkan kegiatan apalagi yang ia bisa lakukan agar tidak punya waktu kosong. Menganggur, membuatnya hanya akan mengingat Alina dan baby Boy.Fursal.Sepertinya ide yang bagus. Pikirnya. Pun sudah lama dirinya tidak berkumpul di komunitas yang pernah ia gemari. Tanpa pikir panjang, Fatih merogoh ponsel. Berniat menanyakan jadwal kepada seorang teman.“Mas!”Ia merasa ada yang memanggil. Lalu, mencari sumber suara.“Rey.”*Di sinilah ia saat ini. Duduk di hadapan Rey, pria yang ia hindari seminggu terakhir ini. Tak mungkin lagi bisa menghindari Rey yang mendadak mendatanginya. Kali ini, Fatih mengajaknya benar-benar berbicara dari hati ke hati sebagai seorang laki-laki.Rey dan Fatih sama-sama menyerutup coffelatte. Keduanya terdiam cukup lama. Membiarkan jeda menjadi ruang bagi masing-masing u
Meskipun dengan kecanggungan, Fatih mencoba untuk tenang. Menunggu sosok Alina ke hadapan, seperti menunggu bertemu mantan pacar yang sudah tidak bertemu sekian lama. Dadanya berdegup kencang. Ia mengeluarkan sebuah map dari balik jaketnya. Lalu, meletakkan di meja.“Malam.”Fatih mendongak. Sosok wanita yang seminggu ini hanya bayangan di pelupuk mata, kini menjelma nyata. Sayangnya, Fatih tidak bisa memeluk untuk sekadar menguraikan rindu.“Malam juga,” balasnya.Baju gamis berbahan satin membuat penampilan Alina tampak anggun malam ini. Diam-diam, Fatih lebih banyak melirik wanita berjilbab ungu di hadapannya kini. Penampilannya jauh lebih rapi, tampak anggun dan semampai karena Alina tidak lagi hamil.Wajahnya putih, sedikit pucat karena sengaja tidak mengoles bibirnya dengan lipstik. Ia ingin tampak sederhana di hadapan Fatih, ingin menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya pria itu di sisinya, Alina tetaplah Alina yang hadir dalam kesederhanaan.“Apa kabar?” Berada dalam kecanggun
“Aku langsung istirahat saja, Rey. Aku capek,” keluh Alina. Matanya sayu. Isakkan masih sesekali terdengar. “Oke. Kalau butuh apa-apa, telpon saja. Gue di kamar atas.” “Iya.” Alina menegakkan badan dengan kekuatan penuh. Meski begitu, tubuhnya sempoyongan memasuki kamar. Ia menutup rapat pintunya. Bersandar di sana, membiarkan tubuhnya luruh ke lantai. Kembali menyebut nama Fatih. Ia membiarkan air mata terkuras habis. Berharap setelah ini, takkan lagi menangisi keputusannya. ** Sejak keluar dari kediaman Reyhan, Rohmat tidak berani bertanya. Melihat kondisi Fatih yang terus memegangi kedua matanya, menahan air mata agar tak meluruh dari sana. Namun, isakannya terdengar oleh Rohmat. Seperti mengerti kesedihan majikannya, Rohmat membawa Fatih berputar di sekitara kota. Hampir tengah malam berada di sepanjang perjalanan tanpa tujuan, akhirnya Rohmat berhenti sejenak di sebuah masjid. “Pak, saya izin buang air kecil sebentar.” Tanpa menunggu ucapan Fatih, Rohmat segera turun dan
“Rey, Alina pergi.”“Pergi? Pergi bagaimana?”“Dia gak ada di kamarnya. Pembantu juga tak tau keberadaannya setelah mengobrol dengan kamu pagi tadi.”“Telepon, Ma?”“Ponselnya di kamar. Dia gak bawa apa-apa loh, Rey.”“Oke-oke. Mama tenang dulu. Rey coba cari.”Rey memutuskan sambungan. Kemudian menepikan kendaraannya. Ia mencoba menebak-nebak, ke mana kemungkinan pergi.“Kenapa pakai acara kabur sih, Al? Gue jadi bingung ‘kan.” Ia melaju kembali. Rasa lapar yang sebelumnya mendera lenyap dalam seketika.“Meli,” pikirnya. Ia segera pulang. Dipacunya kendaraan secepat mungkin agar segera sampai.Rey tidak memiliki nomor ponsel wanita itu, sehingga berinisiatif untuk mencari nomornya di ponsel milik Alina.Baru sampai setengah jalan menuju rumahnya, Rey teringat kalau ada mamanya yang bisa dimintai tolong.Rey kembali menelepon mamanya. Meminta agar mengirim nomor ponsel.“Tuh ‘kan, Al. Gue jadi bingung begini.”Tak berapa lama kemudian, ponsel berdering. Satu pesan masuk. Sebuah nomor
Keduanya tertawa. Lalu mendadak terdiam. Hening, seperti disengaja untuk memberi kesempatan pada suara ombak.“Bagaimana?” tanya wanita itu mengambang. Fatih menoleh, tersenyum pias. Lalu, mengenakan kacamatanya kembali.“Apanya?” jawab Fatih pura-pura bodoh.“Siap move on?”Fatih menghela nafas berat, kemudian mengembuskan perlahan. Sumpah demi apapun, dadanya sangat sakit.“Sudah.”“Lalu?”“Ayo kita mulai.”“Hahaha ...!” Wanita itu tertawa lebar, bahkan lebih keras terdengar dari suara deburan ombak.“Apa semiris itu Gue di mata Lo?” Fatih bertanya sambil melempar pandang ke lautan lepas.“Iya. Lebih miris saat Gue tinggal nikah. Lo terlihat biasa saja meski sakit hati, tapi sekarang, Lo seperti mayat hidup, berjalan tapi tak bernyawa.”“Sialan, Lo.”“Jadi, di mana pastinya ini? Keburu mau balik Gue.”“Kenapa mesti buru-buru?”“Gue punya bayi.”“Dio?”“Gundulmu! Anak Gue yang kedua umur tiga bulan dan masih ASI. Buruan, cari tempat atau tegak di sini saja?”“Sahida. Dari dulu gak pe
Bungkam. Rey terdiam. Mencari kata-kata yang cocok untuk memberikan penawaran, tatapi takut seperti semalam. Alina malah marah. Rey memilih diam dan menerima kemauan Alina, karena mereka baru saja berbaikan.“Lo benar-benar yakin?” tanya Rey meyakinkan Alina, juga ingin memantapkan niatnya.“Yakin,” jawab Alina.“Kita-““Nggak perlu tanya lagi, Rey.”“Gue Cuma mau matiin kalau ... kalau-““Gue Sayang Lo.”Rey tercekat. Malah garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.“Gue nggak lagi nembak Lo.”Kesal. Alina membawa amlop di tangannya. Ia menaiki tangga.“Hai!” Rey memanggil.“Apa?” jawab Alina ketus.“Kamar Lo di bawah.” Rey menunjuk pintu di sampingnya berdiri. Alina turun dari tangga yang baru beberapa langkah. Memutar, menghindari tatapan Rey terdengar jelas tertawa cekikikan.Blem! Pintu di tutup dengan cepat. Alina memaki dirinya sambil bersandar di belakang pintu.“Bodoh. Kenapa ngomong seperti itu. Jadinya, Rey pasti mikir macam-macam. Belum cerai, sudah kegatelan. Ya ampu
[Alina tidak datang. Sidang berjalan lancar.] [Pengacaranya meminta agar segera dipermudah urusannya.] Fatih meletakkan ponselnya di meja. Masih terpampang jelas pesan dari Sahida. Tangannya menarik cangkir berisi coffelatte. Lalu, menyerutupnnya. Setelah itu, meraih kembali dan mengetika pesan balasan. [Permudah urusannya.] Tulisnya di sana. Ia menutup ponsel saat netra seseorang sedang berjalan ke arahnya. Seorang diri, tidak mengajak orang lain yang Fatih nanti-nantikan kedatangannya. ‘Apa dia ingkar janji?’ tanyanya dalam hati. Hatinya mendadak perih, apalagi melihat senyumannya seakan hujaman belati yang siap menguliti. “Mas, sudah lama menunggu?” Rey datang dengan senyuman. “Dia nggak ikut?” Fatih enggan berbasa-basi. Rasa-rasanya, ia ingin menangis sekuat tenaga ketika melihat Rey melenggang seorang diri. “Emm ....” Rey tak enak hati. Kedatangannya tanpa Alina membuat Fatih tak bisa menyembunyikan lara hatinya. “Oke, mau pesan apa? Aku yang traktir. Kata pengacaraku, di
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant