[Alina tidak datang. Sidang berjalan lancar.] [Pengacaranya meminta agar segera dipermudah urusannya.] Fatih meletakkan ponselnya di meja. Masih terpampang jelas pesan dari Sahida. Tangannya menarik cangkir berisi coffelatte. Lalu, menyerutupnnya. Setelah itu, meraih kembali dan mengetika pesan balasan. [Permudah urusannya.] Tulisnya di sana. Ia menutup ponsel saat netra seseorang sedang berjalan ke arahnya. Seorang diri, tidak mengajak orang lain yang Fatih nanti-nantikan kedatangannya. ‘Apa dia ingkar janji?’ tanyanya dalam hati. Hatinya mendadak perih, apalagi melihat senyumannya seakan hujaman belati yang siap menguliti. “Mas, sudah lama menunggu?” Rey datang dengan senyuman. “Dia nggak ikut?” Fatih enggan berbasa-basi. Rasa-rasanya, ia ingin menangis sekuat tenaga ketika melihat Rey melenggang seorang diri. “Emm ....” Rey tak enak hati. Kedatangannya tanpa Alina membuat Fatih tak bisa menyembunyikan lara hatinya. “Oke, mau pesan apa? Aku yang traktir. Kata pengacaraku, di
Fatih menelusuri jalanan tanpa ada tujuan. Pulang ke apartemen, masih terlalu siang. Ia akan punya waktu menganggur terlalu banyak, sehingga pasti akan mengingat Alina kembali. Ke rumah, pastinya ingat baby boy dan juga ibunya. Satu-satunya orang terdekat adalah ibu tirinya. Itu juga tak mungkin ia datangi untuk saat ini, karena wanita itu tak henti-hentinya membahas Helena.Ia berhenti di depan toko bunga. Ingatannya tertaut lagi pada Alina.“Ya, Allah. Kenapa sangat berat untuk bisa menerima kenyataan kalau Alina tak mungkin bersamaku.”Ia menghentikan kendaraannya cukup lama di sana. Pandangannya tertuju pada pada sebuah kafe. Tiba-tiba ponselnya berdering.Sahida calling ....“Halo, kita harus ketemu,” ucap Sahida tanpa basa-basi.“Oke, Gue tunggu di kafe Batavia di depan toko bunga. Sekarang,” jawab Fatih.“Eh, jauh amat.”“Gue lagi di sini sekarang.”“Oke-oke. Tunggu satu jam, paling lama.”“Lama amat!” keluh Fatih. Ia membayangkan rasa bosannya harus menunggu selama itu.“Hala
Keringat masih bercucuran ketika ia duduk di bawah pohon. Sebuah kursi kayu memanjang sengaja ditempatkan di sana untuk melepas lelah bagi para pengunjung.“Satu set lagi,” teriak salah satu pemain futsal sambil mengangkat jari telunjuknya.“Capek Gue. Kalian lanjutkan.” Fatih mengelap keringat menggunakan handuk kecil. Nafas yang tadinya terengah-engah, perlahan mulai teratur. Ia membuka ponsel, sekadar melihat waktu. Ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab. Di dalam kontaknya tertulis 'Pak Omar'. Ia tersenyum kemudian mengirimkan pesan.[Saya ke sana nanti malam, Pak.]Setelah itu, ia membenahi barang bawaannya. Dengan menyandang tas punggung, Fatih mendekati teman-temannya untuk berpamitan. Seminggu sekali Fatih rutin di komunitas futsal. Waktu luang akhir-akhir ini membuatnya enggan menganggur. Ia lebih memilih menyibukkan diri daripada terus berkeluh kesah tentang kehidupan yang membuatnya lelah.Fatih meluncur membawa mobilnya. Ia sengaja mengendarai seorang diri, tanpa me
Pengalaman adalah guru terbaik yang mengajarkan banyak hal, sehingga seseorang tidak jatuh di lubang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Setidaknya, berusaha menjadi lebih baik melalui fase-fase kehidupan yang rumit.Kehidupan manusia tak terlepas dari berbagai peristiwa, tantangan, rintangan, kesempatan, dan pengalaman. Semua itu bisa dijadikan pelajaran setiap insan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Begitupula dengan Fatih, ia sudah melewati fase kehidupan tersulitnya, sehingga mampu mencapai masa pencapaian jati diri.Beberapa orang mungkin seperti dirinya. Pernah merasakan atau sedang menjalani fase kehidupan yang berat dan menyakitkan. Hidup seperti drama yang tak berkesudahan. Apalagi bagi mereka yang kurang bersyukur, pasti akan menganggap bahwa kehidupan ini sebagai sebuah kutukan berat.Namum, hidup tidak tergantung oleh orang lain. Berat atau pun ringan, pundak adalah tempat mengangkat beban. Sejatinya kehidupan sesungguhnya adalah mampu menjadi
Malam merangkak pasti. Jam dinding berdentang dua kali saat Fatih beringsut dari tempat tidurnya. Ia ke kamar mandi. Begitu sampai di dalam sana, mematung, bingung di depan kaca. Sama seperti satu jam yang lalu. Hal serupa ia lakukan guna meredam perasannya yang dihinggapi keresahan.Ia bergegas ke luar setelah mencuci wajahnya. Kembali lagi berbaring. Namun, bayang punggung si pengendara sepeda motor masih melekat di pelupuk mata. Ia meyakini bahwa seseorang yang hampir terjatuh karena kecerobohan supirnya itu adalah Alina.Terngiang lagi umpatan kecil yang sempat ia dengar. Ia terlonjak dari posisi tidur.“Benar. Aku yakin, kamu pasti Alina,” ucapnya pada diri sendiri. Ia mengingat benar nada ucapan wanita itu.Suara itu tidak bisa menipu. Suara seorang Alina yang khas, apalagi ketika membangunkan tidurnya dengan cara yang gilanya. Fatih akan dibuat geli oleh karena Alina berbisik di telinga sambil menggesekkan bibir ke daun telinganya. Dengan begitu, Fatih akan langsung terbangun,
Fatih berselancar di dunia maya. Mencari souvernir untuk pernikahan keduanya. Sudah beberapa hari ia disibukkan oleh pekerjaan, sehingga belum ada waktu untuk memilih mencari souvernir.Gadis itu tidak meminta banyak syarat. Termasuk jenis souvenir seperti apa dan bagaimana bentuknya. Semua diserahkan pada Fatih.“Kayaknya ini bagus. Kelihatan manis, simpel dan elegan.” Ia bergumam sendiri menelisik setiap gambar yang terpampang di layar ponselnya.Sebuah bros rajut dengan berbagai macam model menjadi pilihannya. Ia berpikir pasti Anisa menyukai pilihannya. Sebab, ia memilih sesuatu yang mewakili karakter gadis itu.Tak menunggu lama, ia mencari alamat rumah produksi souvenir itu.“Sebentar,” gumamnya lagi. “Nah, dapat. Kayaknya di sini tempatnya. Agak jauh, sih. Tapi nggak apa-apa, kan bisa via online,” gumamnya seorang diri.Ia menekan posisi persis rumah produksi itu. Seketika terbelalak.“Alina Souvernir.”Tak percaya dengan nama yang tertera. Ia memeriksa lagi alamat yang tertera
“Tante mau ke Bandung. Tante belum sepenuhnya yakin dengan keponakan yang menangani di sana, kok kayak ragu begitu, ya. Dia beda sama kamu, Al. Pergerakannya lambat.”“Maksud Tante, mau ninggalin Alina, begitu?”“Iya.”“Aduh, Tan. Jangan, dong. Di sini Alina sama siapa coba? Lagian, di sini sudah maju banget. Aku takut mengurusnya sendirin.”“Justru satu-satunya orang yang Tante percayai ya Cuma kamu. Lagian, sudah dua tahun kamu memegang kendali. Selama itu, Tante sengaja percayakan sama kamu supaya kalau sewaktu-waktu Tante sibuk, ada orang yang bisa diandalkan.”“Tapi ... nanti—““Bisa. Kamu pasti bisa. Besok kita meeting. Seluruh karyawan harus hadir. Tante mau bagi tugas baru. Khusus buat kamu, nggak usah ikut terjun. Cukup mengawasi saja dan kamu juga Tante tunjuk jadi pengganti untuk kasih materi ke satu yayasan yang sudah kita sepakati buat dikasih pelatihan.”“Tan—““Besok ikut Tante.”“Ke mana?”“Ke yayasan anak yatim ... entah tante lupa apa nama yayasannya. Kamu kan sering
Sepanjang perjalanan pulang, Fatih terus memegangi kepalanya. Rasa sakit yang berdenyut menambah beban pikirannya semakin berat. Ingin sekali menanggalkan semua kegelisahan. Hampir saja hal itu menjadi kenyataan andai saja Alina tidak menampakkan diri.Harapan tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Berkeinginan move on lebih cepat dengan syarat tanpa pernah melihat Alina adalah keinginan tersulit. Jika pada kenyataannya, hanya dengan menatap sekilas saja sudah membangkitkan rindu yang menyiksanya.“Pak, mau langsung pulang?” tanya Rohmat dengan hati-hati. Ia tahu, bahwa majikannya sedang memikirkan mantan istri. Bebrapa waktu yang lalu, Rohmat juga sempat memergoki Fatih membuka-buka album foto pernikahan. Dari itu, ia tidak berani bertanya lebih dalam tentang sosok Alina. Sepengetahuannya, mantan istri majikannya itu adalah orang yang sangat disayangi Fatih, bahkan hingga saat ini. Kabar itu ia dapatkan dari Jono, sekuriti kantor yang mendengar desas desus para karyawan.“Iya, Mang.
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant