Sampai siang, Alina hanya rebahan tanpa melakukan aktivitas apa-apa. Mendadak tubuhnya sangat letih dan kepala tidak mau ditegakkan lama-lama.“Mas sudah pesan pakaian untukmu.” Fatih meletakkan handphone setelah mengutak-atik beberapa saat lalu.“Online shop biasanya gak sesuai keinginan.” Alina menimpali.“Bisa dikembalikan. Kebetulan online shopnya punya teman. Langsung dari butiknya.”“Oh.”“Itu kayakny, deh. “Fatih beranjak menuju pintu luar. Memastikan jika perkiraannya benar.Benar saja. Seorang ojek online membawa pesanan milik Fatih.“Sampai juga akhirnya.”Alina menoleh ketika Fatih menenteng dua paper bag ukuran besar. Satu diulurkan pada Alina.“Itu milikmu.”Alina membukanya, “daster?”“Iya, daster, tapi bukan daster rumahan. Itu bisa kamu kenakan saat kerja. Coba dulu.”“Kayaknya sudah pas kok.”“Mau komplain warnanya? Nanti ditukar kalau gak cocok.”“Gak usah. Suka warnanya.”“Oke.”“Jadi ... berapa harganya?”Fatih tercekat, geram juga tersinggung dengan pertanyaan Al
Alina tidak perduli dengan ucapan Fatih. Akhirnya Fatih melepas pelukannya, bukan karena kalah kuat dari tenaga Alina, tetapi karena kasihan pada Alina yang terus meronta.Alina mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh. Terutama bagian dada yang melebar ke mana-mana. Akhirnya ia mendapati daster yang baru dibelikan Fatih. Ia menyambar dan menggunakannya untuk menutupi dada.Fatih tertawa dan terus tertawa melihat tingkah Alina yang konyol.Alina melotot sebagai bentuk kecaman.“Untuk apa ditutup-tutupi. Toh aku sudah melihatnya berkali-kali.”Alina tertunduk, malu juga merasa risih karena tidak nyaman mengenakan lingerie yang super tipis.“Kalau suka, nanti aku belikan lebih banyak lagi, dengan berbeda model.”“Nggak. Nggak usah!” Alina langsung menjawab, “ini saja nanti juga gak kepakai, kok.” Alina berdiri, mencari pakaian yang ia kenakan sebelumnya.“Kenapa nggak dikenakan? Gak suka? Malu atau—““Mas ...!”Fatih tersentak dengan suara lantang Alina.“Aku merujukmu
Alina mematut dirinya di depan cermin. Ia memutar badan, memastikan jika baju yang baru ia kenakan cocok di badan.“Ini aja, deh.” Ia mengembalikan dua di antaranya yang tergeletak di kasur ke dalam lemari. Kemudian memilih jilbab yang sesuai dengan warna bajunya, warna peach.“Al, cepetan.” Fatih berdiri di ambang pintu.“Duluan aja.”“Itu sudah cocok. Ayo, buruan!”Alina menoleh. Tumben kali ini Fatih mengomentari masalah dandannya, biasanya tak pernah berkomentar apapun.Alina memasang jarum untuk pengait kemudian segera berlalu dari depan cermin.“Kita berangkat barengan.”Fatih membuka pintu mobil, mempersilahkan Alina untuk menduduki jok di sampingnya.Alina menggeleng.“Buruan.”“Pakai motor aja.”“Barengan aja.”“Nanti orang sekantor heboh melihat kita barengan. Aku nggak mau.”“Aku akan memperkenalkan kamu pada mereka.”“Sebagai istrimu, begitu? Lalu mereka bakal mengejekku.”“Sebagai sekretarisku.”“Sudahlah. Lagian aku nanti mau pergi sama Rey.”Fatih tersentak mendengar nam
Fatih menutup agenda siang ini dengan menikmati secangkir kopi dan menu ringan di kafe samping kantornya. Makan siang sering ia habiskan di tempat ini karena tidak jauh dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki, juga menu yang disediakan cukup menggugah seleranya.“Belum selesai ‘kan? Aku boleh duduk.” Fatih menoleh ke sumber suara. Anita tersenyum pias ke arahnya.“Silahkan.”Anita meletakkan bokongnya tepat di kursi, berseberangan dengan Fatih.“Mbak,” panggil Anita pada seorang waiters, “saya mau coffelatte.”Fatih menyesap kopinya, lalu memandang Anita.“Selamat ulang tahun,” gumam Fatih. Anita yang semula memandang sekeliling, bergerak menatap Fatih, kemudian tertunduk.“Maaf untuk semua janji yang tidak bisa aku tunaikan.”“Nggak usah dibahas. Aku sedang berjuang untuk tidak menuntut itu darimu. Padahal kalau kamu berniat, kita bisa menggapainya bersama-sama.”“Satu-satunya keinginan yang tidak bisa aku capai adalah satu itu. Aku tidak ingin meninggalkan jejak masa lalu yang akan
Keduanya terdiam sejenak, menikmati sup buah dengan duduk santai mengawasi lalu lalang karyawan yang sedang menikmati makan siang di kantin itu. Suasana seperti ini, berlangsung tanpa kecanggungan.“Besok jadwal USG. Pulang kerja, Mas antarkan kamu.”Alina hendak protes, tetapi Fatih segera menggoyang-goyangkan telunjuk tanda tak ingin bantah.“Besok jadwal ke psikiater. Aku sudah tiga kali nggak datang konsultasi. Mumpung Rey lagi ada di sini.”“USG lebih penting. Kalau masih ada waktu, nanti mas antarkan ke psikiater.”“Rey—““Ketemu Rey ‘kan bisa kapan-kapan.”Alina tak menjawab. Ingin mengajukan protes, tetapi Faris tampak terburu-buru. “Habiskan, Mas duluan. Ada janji ketemuan sama klien di luar.” Fatih meninggalkan Alina.Alina menghabiskan seluruh sup buah tanpa sisa, lalu menyusul langkah Fatih dengan berbeda arah tentunya. Ia menuju ruangan yang sudah tujuh bulan lamanya ia tempati.Waktu selama itu, membuat hubungan keduanya mulai membaik. Fatih tak lagi menuntut Alina untu
“Kalau Gue serius ngajak Lo ke Belanda, bagaimana?”Alina meletakkan bungkusan rujak ke kursi tempatnya duduk. Posisi Rey yang sedang berdiri di hadapan Alina menatap wanita yang sedang gugup itu dengan leluasa.“Lo ngomong apa, sih!”“Ngomongin kitalah! Lo bakal pisahan sama mas Fatih kan, Al?”Alina tidak berani lagi memandang Rey yang entah sejak kapan tidak bisa diajak berbasa-basi.“Gue serius nanya.”“Gak lucu, ah!” Alina menyembunyikannya kegamangan di balik tawaan, “Lo memang juaranya kalau disuruh akting.” Alina mencocol pepaya pada sambal rujak.“Ya ... ya ... ya! Gue memang rajanya akting. Sampai-sampai Serius pun gak bisa dibedakan.”Rey mendesah kesal. Seserius apapun ucapannya, Alina tidak pernah menanggapi. Wanita itu memiliki bakat menetralkan perasaan yang mumpuni.Contohnya, ketika Rey mengajaknya berbicara serius tentang rasa rindu, Alina akan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lainnya. Padahal saat itu, Rey ingin mengetahui seberapa berartinya dia di kehidupan w
Alina menikmati setiap perlakuan manja dari sang suami. Tidak hanya perhatian pada anak dalam kandungannya, tetapi pada hal-hal detail tentang pekerjaan rumah. Fatih akan membantu Alina menyelesaikannya.“Hei, Boy, mau makan apa malam ini” tangannya tidak berhenti mengelus perut Alina. Wanita itu sedang menjalankan aktivitas rutinnya menjelang malam, merajut pesanan tas.“Kan sudah makan?”“Wanti-wanti aja, mana tau pas tengah malam minta ini itu kayak kemarin malam.”“Hihihi, iya sih.” Alina meletakkan benang dan jarum di atas meja. Lalu berdiri dan menyambar sweeter.“Ayo!” ajaknya.Fatih yang berbaring dengan memainkan ponsel beralih perhatian.“Lah, mau ke mana?” Fatih bangkit dari posisi tidurnya.“Katanya nawarin makan.” Alina memasang wajah masam mendengar pertanyaan Fatih.“Oh, oke-oke.” Ia bangkit lalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Tak lama kemudian, Fatih membuka lemari dan mengambil jaket.“Kirain, mau pesen G- food aja tadi.”“Jadi ... gak niat, nih!”“Bukan. Kok jad
Sementara itu, Alina segara mengambil nampan dan mulai berkeliling mencari roti dan keinginannya. Ada banyak jenis roti yang terpampang di dalam lemari kaca. Ternyata tidak hanya roti, tetapi ada juga jajaran makanan tradisional. Alina sudah memenuhi nampannya dengan kue yang didominasi bercitarasa manis. Belum puas di situ, ia menuju lemari di tempat diletakkan aneka roti. Ia mengambil tiga buah sebagai pelengkap. Puas berkeliling toko dan dirasa sudah terpenuhi keinginannya, Alina menuju meja kasir dan mengantri di sana. Ia menentang satu paper bag. Berdiri di depan toko sambil mengedarkan pandangan ke area parkir. Mencari mobil dan pemiliknya, Fatih. Kakinya terasa pegal, ia menuruni tangga untuk duduk di kursi depan toko. Ia mengangkat ponsel tepat saat sebuah panggilan masuk. Fatih. “Halo Sayang, masih di toko roti, kan?” “Iya, aku tunggu di luar.” “Sudah selesai?” “Sudah. Mas di mana?” “Lagi jalan ini, sebentar lagi nyampe.” “Jangan lama-lama.” “Oke. Sebentar lagi Ma
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant