Sementara itu, Alina segara mengambil nampan dan mulai berkeliling mencari roti dan keinginannya. Ada banyak jenis roti yang terpampang di dalam lemari kaca. Ternyata tidak hanya roti, tetapi ada juga jajaran makanan tradisional. Alina sudah memenuhi nampannya dengan kue yang didominasi bercitarasa manis. Belum puas di situ, ia menuju lemari di tempat diletakkan aneka roti. Ia mengambil tiga buah sebagai pelengkap. Puas berkeliling toko dan dirasa sudah terpenuhi keinginannya, Alina menuju meja kasir dan mengantri di sana. Ia menentang satu paper bag. Berdiri di depan toko sambil mengedarkan pandangan ke area parkir. Mencari mobil dan pemiliknya, Fatih. Kakinya terasa pegal, ia menuruni tangga untuk duduk di kursi depan toko. Ia mengangkat ponsel tepat saat sebuah panggilan masuk. Fatih. “Halo Sayang, masih di toko roti, kan?” “Iya, aku tunggu di luar.” “Sudah selesai?” “Sudah. Mas di mana?” “Lagi jalan ini, sebentar lagi nyampe.” “Jangan lama-lama.” “Oke. Sebentar lagi Ma
Alina langsung menuruni mobil begitu sampai di rumah. Ia langsung membuka pintu dan menuju dapur. Menyimpan makanan ke dalam kulkas, lalu beranjak ke kamar tidur.Fatih memandang setiap gerak tubuh Alina. Tampak sekali kemarahan itu di lampiaskan dengan membisu. Biasanya ia akan mengoceh jika mendapat sesuatu dari Fatih.“Ciloknya kurang kecap, kurang gurih juga ... kurang banyak.” Gumamnya ketika Fatih berhasil membawakan pesanannya.Meskipun begitu, Fatih tak pernah marah atau pun kesal. Ia malah senang mendengar Alina mengoceh, dari pada terdiam. Seperti saat ini.Ia menyusul ke kamar dan mendapati Alina sedang melanjutkan rajutannya.Fatih membuka jaketnya menyimpan dalam lemari gantung, kemudian berdiri di hadapan Alina. Ia merendahkan posisinya hingga berjongkok, tangannya menyentuh rajutan yang sedang digarap Alina. Meraihnya dan meletakkan di sebelah duduknya.“Helena bukan siapa-siapa.” Fatih mulai menjelaskan. Ia meraih jemari sang istri, membawanya dalam genggaman. Sementar
Alina bangun dengan malas. Pinggangnya mulai terasa pegal akhir-akhir ini. Usai solat Subuh tadi, ia berbaring lagi untuk menyamankan pinggangnya.Sementara Fatih tak tampak dari sejam yang lalu, padahal Alina ingin memintanya menggosokkan minyak angin ke punggung.“Mas Fatih mana, sih?” Alina menuruni ranjang. Berjalan ke luar kamar. Aroma masakan menguar menuntunnya melangkah ke dapur. Ia mendapati Fatih sedang memindahkan masakan ke piring. Fatih memang sering memasak di pagi hari.Alina langsung mengambil tempat duduk di kursi, di depan sebuah piring saji yang berisi irisan timun dan tomat. Satu piring lagi berisi ayam goreng.“Pagi, Boy,” suara tegas Fatih memecah kesunyian pagi bersamaan dengan segelas susu putih yang ia letakkan di hadapan Alina. Ia berbalik menuju kompor dan mengangkat dua piring dari sana.“Nasi goreng ayam suwir,” ucapnya. Alis Alina saling bertautan mendengar nama aneh untuk nasi goreng di hadapannya.“Baru denger namanya, kan? Ini spesial untuk Baby boy. C
Alina menutup map di hadapannya. Selesai memeriksa hasil kerjanya, ia beranjak ke luar ruangan.“Mel, Gue duluan, ya?”Meli mengangkat wajah, “oke, hati-hati!” balasnya.Alina berjalan dengan menenteng tas kecilnya. Menuju lift ke lantai bawah.[Gue sudah di lobi.] Sebuah pesan ia buka.“[Tunggu di situ.]Sent. Terkirim ke Rey. Alina mengarahkan pandangannya mencari sosok Rey begitu sampai di lobi.Rey langsung melambai begitu melihat Alina, senyumnya terus mengembang. Alina buru-buru mendekat, tetapi langkahnya perlahan berkurang dan akhirnya terhenti karena melihat sosok orang lain yang ada di lobi itu juga. Fatih sedang berbicara dengan seorang wanita yang gelagatnya sudah terekam dalam otaknya, Helena.“Al!” Rey memanggil. Karena panggilannya cukup keras, membuat Fatih dan Helena menoleh. Mereka bertiga saling menatap satu sama lain. Sedangkan Rey yang tidak mengetahui keberadaan Fatih dan Helena, terus menunjukkan ekspresi bahagianya melihat sosok Alina.Alina berjalan kembali se
Malam merambat perlahan. Angin bertiup pelan menerpa dedaunan bersamaan dengan gerimis yang turun meninggalkan bekas basah.Alina sengaja tidak menutup tirai jendela depan. Ia duduk di sofa ruang tamu sambil memangku rajutan. Sesekali pandangannya mengarah ke jendela. Berharap ada sosok yang terlihat di baliknya.Fatih belum juga pulang hingga malam. Ponselnya tidak aktif, padahal Alina sudah menyiapkan makan malam spesial. Usai pulang dari kantor, ia sengaja mampir ke pasar tradisional. Membeli bahan mentah yang kini sudah berubah menjadi menu istimewa di meja makan.Alina meletakkan rajutan di pangkuan, kemudian berganti meraih ponsel. Nomor Fatih masih tidak aktif.Ia lelah, akhirnya memutuskan menunggu di kamar sambil berbaring. Baru hendak menutup tirai, sorot lampu mobil tampak memasuki halaman.Alina segera membuka kunci dan memutar hendel pintu. Fatih tampak menyunggingkan senyum. Raut wajahnya terlihat sangat lelah. Ia sudah membuka jasnya, dengan lengan baju di gulung sampa
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah keramaian dan padatnya jalur lalu lintas. Di depan sebuah mini market, pemiliknya berhenti dan membeli beberapa barang. Tak lama kemudian, mobil itu melaju lagi dengan santai.“Mau apa lagi?” tanya Fatih. Wanita disampingnya belum juga menjawab. Mulutnya penuh dengan Es krim yang baru saja dinikmati dalam mulutnya.“Cukup,” jawabnya, “Baby boy Cuma minta es krim, kok,” sambungnya dengan mengelus perut.“Yakin, makan siangnya cukup itu saja?“Makan di rumah saja. Mubazir masakan pagi tadi masih utuh.”“Mas langsung balik lagi ke kantor, ya?”“Hu’um.”Fatih mempercepat laju kendaraan. Ia hanya mengantarkan si pemilik baby boy pulang. Fatih memutuskan membayar denda kontrak kerja, tanpa penolakan Alina menyetujui saja. Toh memang sudah saatnya ia fokus pada persiapan kelahiran bayinya.Kini, ia sudah resign dari kantor. Tempatnya menghabiskan waktu menempa diri menjadi lebih kuat. Tempat mengenali karakter banyak orang. Sekaligus tempat yang
“Aku meluruskan ucapan tante Meri. Kalau nggak percaya, lihat ini.” Helena mengeluarkan ponsel dan menyodorkan sebuah foto ke hadapan Alina.“Nggak mungkin. “ Alina melihat foto Fatih terpampang jelas. Ia sedang menandatangani sebuah kertas di atas sebuah map. Di hadapan Fatih, Wardana sedang duduk di kursi roda.“Papa sudah berhasil membujuk Fatih untuk mengurus harta kami. Untuk itu, Fatih disuruh menikahiku secara siri dulu karena Fatih tidak ingin menyakiti hatimu. Fatih terlalu lamban, jadi aku yang mengambil alih kejujuran ini.”“Bohong.” Alina mulai terisak, matanya sudah menggenang.“Untuk apa aku bohong.”“Bilang kalau semua ini nggak benar, Bu.” Alina memandang ibu mertuanya.“Sayangnya semua yang diucapkan Helena benar, Al. Mama Cuma membantu Helen untuk membicarakan hal ini padamu. Kamu nggak harus berpisah kok. Fatih akan tetap menjadi suamimu. Hanya saja, mungkin nanti akan membagi waktu untukmu dan untuk Helena.”“Aku nggak percaya kalian.”“Kamu nggak harus percaya pad
Alina membalas tatapan Fatih. Ia menyeka air mata, tanpa memperdulikan tangan Fatih yang masih membingkai wajahnya.“Sayangnya, aku tidak percaya lagi. Kamu sudah menyembunyikan banyak hal diriku tanpa mau berterus terang. Kamu membohongi seakan-akan aku ini orang lain.”“Al—““Sekarang, aku loloskan keinginanmu Sekalian jadikan aku orang lain, Mas, agar aku tidak sakit hati karena menghadapi kenyataan sepahit ini.”“Alina Sayang—““Kamu menyembunyikan Helena dan hubungan kalian.”“Aku tak punya hubungan apa-apa de—““Kamu menyembunyikan perjanjian dengan pak Wardana. Kamu menyembunyikan banyak hal—““Dengarkan aku dulu, Al—““Kamu mau menikahinya di belakangku.”“Itu nggak benar.”“Kamu menghianatiku dua kali dengan goresan yang sama dan di tempat yang sama. Apa kamu pikir aku tidak punya rasa sakit, hah?”“Al—““Kamu juga menyembunyikan Mbak Nita.”“Tuduhan apa lagi ini?”“Kamu berhianat di belakangku, Mas!”“Hubunganku sudah selesai dengan Anita.”“Tapi kamu masih melindunginya. Ka
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant