POV Silvi[Silvi, kembalilah pada Dio!] [Dia mencintaimu.] [Aku berjanji akan membuatnya berlaku adil padamu!] Aku memilih mengabaikan isi pesan tersebut, tak menganggapnya pernah ada, walau sebenarnya semua itu telah membuat moodku hancur seketika.Entah apa yang diinginkan wanita itu, padahal aku telah memilih mundur agar ia bisa bebas melenggang bersama suamiku. Itu kan yang mereka inginkan sehingga memilih menikah diam-diam di belakangku? Tak cukupkah hal itu bagi Arni dan Mas Dio sehingga mereka masih ingin mengganggu ketenanganku?"Silvi ..." Kak Gema memanggil namaku dari luar kamar. "Are you oke?" tanyanya lagi memastikan."Iya, Kak ..., aku oke!" teriakku berharap ia segera pergi dan meninggalkan aku sendirian yang sedang mood swing ini."Beneran? Apa barusan aku dan Abi menyinggungmu?""Engga kok, kak. Aku hanya tiba-tiba-tiba ga enak badan aja!" Terpaksa aku berbohong padanya."Ga enak badan? Kenapa demam? Pusing? Apa perlu aku antar ke dokter?" "Engga kak ... aku hanya
[Maaf, kamu fikir kamu siapa sehingga bisa mengatur aku seenaknya?] [Kamu memang bisa merebut Mas Dio dariku. Membujuk dan merayunya hingga mau menikahimu. Tapi kau tak akan pernah bisa melakukan itu padaku! Aku bukan orang yang bisa kau atur, Arnita![Lagipula seharusnya 'kan kamu senang karena aku pergi dan kamu bisa memiliki Mas Dio seutuhnya?]Akhirnya aku pun membalasnya. Kesal juga karena ia dengan seenaknya malah mencoba mengaturku. Bersikap seakan memberikan madu, padahal ia telah lebih dulu menebar racun.[Aku tidak mengajak mu untuk berkonfrontasi, Silvi! Aku serius memintamu kembali pada Dio!][Kenapa aku harus kembali dengan Mas Dio? Aku sudah melepasnya tak sudi bersama lelaki yang pernah mengkhianatiku!][Apa tak cukup untuk kamu memiliki Mas Dio seorang diri? Kamu punya kelainan ya, suka dengan lelaki beristri? Senang dijadikan yang kedua?][Enak saja! Aku bukan wanita seperti itu!] Jawabnya singkat [Lalu wanita macam apa yang rela merayu suami orang, sampai rela meng
"Kamu mau kan menerima tawaranku, tetap menjadi istri Dio, dan merelakan aku menjadi istri keduanya? Aku berjanji akan menjamin hidupmu dan memberikan semua yang kamu inginkan!" tanyanya lagi memastikan.Aku menghela nafas kasar. Mencoba memberikan oksigen pada jantung dan otakku yang seprtinya makin mengebul karena emosi."Kau tahu, Arnita Rahmania, DE-RI-TA-LO!" makiku dengan kasar. "Itu semua bukan urusanku! Mas Dio mau menceraikanmu, atau kalian mau hidup bahagia berdua, bukan lagi urusanku! Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mas Dio, dan tak ada yang bisa merubah keputusanku itu. Walaupun kamu memberikan semua hartamu sekalipun aku tak akan pernah sudi kembali bersama Mas Dio, apalagi menerimamu sebagai maduku!""Kau tak akan bisa membeliku seperti kau membeli Mas Dio dan keluarganya! Rumah, kenadaraan, dan penghasilan bulanan aku juga memilikinya meski tak seberapa dan hanya milik orang tuaku! Aku bahagia hidup bersama Dita dalam keterbatasanku ini!Tak semua masalah bi
"I-ini, Pak!" Ragu-ragu aku memberikan berkas dari Ica tadi. "Ica memintaku memberikannya pada Pak Abi." terangku tanpa diminta.Lelaki itu segera mengambil berkas dari tanganku dan langsung membukanya di hadapanku. Ekspresi wajahnya tak bisa digambarkan. Yang pasti sangat mengerikan bagiku. Pak Abi menghela nafas berat. Ia lalu menutup berkas tersebut dengan kasar."Apa yang sedang kamu kerjakan sekarang, Silvi?" tanya Pak Abi tiba-tiba. Membuatku mengerutkan dahi akan pertanyaannya. Apa ia sedang melakukan penilaian terhadapku?"A-aku sedang menagih pembayaran yang macet pada beberapa klien," jawabku."Baguslah ..., yang lain bagaimana? Apa yang mereka kerjakan?" tanyanya lagi."Yang lain ... ya begitulah ...," jawabku sekenannya. Bingung juga mau menjawab apa, karena jika jujur bahwa teman-teman banyak yang sedang menganggur aku takut disalahkan mereka, sedang jika berbohong aku berdosa."Kamu mendengar pembicaraanku tadi di telepon?" selidiknya seolah menghakimiku."Eh ..., ti-t
"Kau lihat, Silvi, aku bisa melakukan apapun yang aku mau dan membuatmu menyesal! Jangan lupa, aku sudah memperingatkan padamu sebelumnya, kan?" Wanita licik itu pun kemudian berlalu pergi begitu saja dengan angkuhnya. Membiarkan seluruh mata menatap aku dan dia keheranan.Apa yang telah dia lakukan? Apa dia sengaja membeli pabrik ini untuk membuat aku menyesal atas pilihanku? Apa dia ingin menunjukkan seberapa besar kuasa yang dimilikinya? Tak pernah terpikirkan semuanya akan menjadi begini. Entah wanita seperti apa yang sedang aku hadapi. Hanya karena masalah cintanya dia bahkan rela melakukan hal-hal licik seperti ini. Tiba-tiba saja aku tersadar, apa ini juga berarti secara tidak langsung akulah yang menjadi penyebab seluruh karyawan pabrik ini kehilangan pekerjaannya?"Silvi ..., apa maksud wanita itu?" Ica salah satu teman yang satu bagian denganku seketika menghampiri."Apa hubunganmu dengan wanita itu, Silvi? Kenapa kamu mengenalnya? Apa kamu ada hubungannya dengan pembelian
Pukul 14.00 setelah menyelesaikan benerapa berkas terkait PHK, aku bersama Bapak pulang ke rumah. Cukup sedih juga menyadari bahwa besok kami tak akan lagi berangkat kerja. "Silvi, uang pesangon yang Bapak dapat nanti kita pakai saja untuk buka warung, ya?" ujar Bapak setelah berada di rumah. Sepertinya ia berpikir keras bagaimana melanjutkan hidup sementara ada aku dan Dita kini di rumahnya. "Mencari kerja tak mudah sekarang! Lagi pula siapa yang mau memperkerjakan bapak yang sudah tua begini?" lanjutnya lagi.Kebetulan Bapak yang memang sudah lama bekerja mendapatkan pesangon dengan jumlah yang lumayan. Sedangkan aku yang memang baru satu bulan bekerja tidak mendapat apa pun selain gaji bulanan saja."Iya, Pak! Terserah baiknya saja menurut Bapak!" jawabku sekenanya. "Tapi mungkin Silvi akan tetap berusaha cari kerja ya, Pak. Mudah-mudahan aja dapat yang cocok!" ungkapku. Rasanya tak mungkin jika aku harus berdiri dengan bantuan bapak terus seperti ini. Maka aku harus kuat dan m
Pov Dio"Silvi ..., ka-kamu pulang?" pekikku ketika melihat sosok yang sangat aku rindukan setengah mati itu tengah berdiri mematung di pintu. Wanita itu hanya diam menatapku dengan tatapan yang tak bisa kugambarkan. Melihatnya lagi berada di rumah ini seketika membuat rasa rindu itu makin membuncah. Aku tak bisa menahan diri lagi, betapa ingin memeluknya dan memastikan wanita yang amat kucintai itu tak akan pernah pergi lagi. Gegas kulangkahkan kaki turun dari kasur dan segera menghampiri dia yang tampak begitu anggun meski tanpa polesan make up di wajahnya itu. Bodohnya aku telah menyia-nyiakannya karena keputusan yang tak kupikirkan panjang.Tapi, tiba-tiba si lelaki sial*n yang selalu ikutt campur urusanku dan Silvi itu menghalangi langkahku. Gema berdiri tepat di hadapan Silvi, menghadang pergerakanku. "Apa yang mau kamu lakukan, Dio?" tanyanya dengan tegas, seakan ia body guard Silvi. Padahal dia hanya kakak angkat yang ku tahu sedang mencari perhatian di depan Silvi-ku."Ta
"Dio ...., Dio ..., Gawat Dio! Bangun! Cepat bangun! Kenapa kamu malah tertidur di lantai seperti ini, Dio?" Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggil, diiringi guncangan di tubuhku yang begitu keras hingga aku kesakitan. Perlahan kucoba membuka mata, melihat sekeliling dan tersadar. Ternyata benar bahwa kini aku tengah berbaring di lantai yang penuh debu.Kucoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya hingga bisa seperti ini. Ah... iya aku ingat, aku terus menangis setelah kepergian Silvi pagi tadi hingga sepertinya membuat aku terlelap di lantai seperti ini."Dio, ayo cepat bangun! Ada hal gawat, Dio!"" cetus Ibu sambil berdiri dan menarikku agar segera bangun."Apaan sih, Bu? Hal gawat apa memang?" Ketusku kesal seraya bangkit, duduk di sofaLagi pula, apa lagi yang bisa lebih gawat dari hidupku dibanding kepergian Silvi? Hidupku sudah hancur berantakan tanpanya."Gawat Dio ..., ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu begitu bodohnya? Aku melahirkanmu agar bisa menjadi lebih pintar d
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper
POV DioApa yang selama ini kutakutkan terjadi, bahkan lebih cepat dari dugaanku sendiri. Akhirnya hari itu datang juga, kami tak lagi dapat mengandalkan Arni lagi sama sekali.Hari itu Arni datang dengan kondisi mengenaskan, menangis tersedu-sedu. "Aku bangkrut, Kak!" lirihnya."Kak ..., apa kakak masih mau nerima aku? Aku miskin sekarang!" lanjutnya lagi, sambil terdiam di ujung gerbang menatapku dengan tatapan sendu.Ada rasa iba di hati melihat kondisinya yang mengenaskan. Tak ada lagi Arni yang dulu kini, wajahnya pucat tanpa make up dan baju seadanya. Ia datang dengan membawa dua koper baju yang tidak seberapa besar."Kak Dio ...!"Tiba-tiba saja Arni terduduk lemas, isakannya pun berubah jadi raungan keras.Dengan perlahan aku pun menghampirinya. Berjongkok untuk menyamakan posisi, lalu memberikan sedikit pelukan agar dia lebih tenang. Walau bagaimana pun dia masih istriku. Kuenyahkan seluruh rasa kesal yang bersemayam padanya. Memberikannya sedikit sentuhan lembut.*****"Tida
Setelah pertemuan itu, memang sesekali Pak Roni menghubungiku. Sempat ia mengonfirmasi juga hubungan Arni dan Dio padaku, sepertinya ia mencari tahu sendiri soal itu."Jika kamu tak memberitahukan kebohongan Dio, aku tak akan tahu kebobrokan-kebobrokan lain yang Arni lakukan. Terima kasih, karena kamu perusahaan masih bisa aku selamatkan!" ujarnya suatu hari.Dari berita yang kudengar, Dio dan juga Arni kini sudah tidak bekerja lagi di Granita Group. Dio kembali menjadi tukang ojeg saat ini sedang Arni membantu ibu menjual kue-kue jajanan pasar.Hal itu juga lah yang membuatku mudah mendapatkan hak asuh Dita saat persidangan cerai kemarin. Awalnya kukira Dio akan menjadikan kekayaannya sebagai senjata. Tapi ... kenyataan berkata lain, karena sebelum sidang berlangsung, mereka sudah dinyatakan bangkrut.*****"Nadya, ini ada agen baru dari kota Palu, dia memesan sebesar 20 juta, tolong kau follow up, ya!" ucapku pada Nadya, bagian admin kantor.Ya, Setelah menitipkan Dita di rumah Bu
POV SilviAku menatap langit-langit kamar, meresapi semua yang telah terjadi selama empat bulan ini. Bagaimana pahit getirnya jalan perjuanganku untuk mendapatkan Dita kembali ke pelukan.Semua terbayar sudah, aku kembali bisa bernafas lega kini. Hak asuh Dita sudah resmi ada padaku. Kini aku bisa puas memeluk dan memandangi wajah mungil Dita yang tengah terlelap di samping.Menurut Pak Abi jika aku ingin mendapatkan Dita kembali aku harus dapat segera berjalan dan memiliki penghasilan. Karena kondisi itulah yang akan menjadikan alasan Dio untuk merebut hak asuh Dita.Maka dari itu Pak Abi dan Kak Gema, mengajak aku untuk mengelola sebuah toko sepatu dan tas yang berbasis online milik mereka. Tidak hanya aku, mereka juga melibatkan beberapa karyawan dari pabrik sebelumnya. Ternyata Pak Abi dan Kak Gema memang sudah menyiapkan semua ini jauh hari sebelumnya. Setelah pabrik yang tutup mereka ingin dapat kembali merangkul orang-orang dengan potensi tinggi di sebuah bisnis baru. Tak disa