Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, gegas aku meminta Kak Gema untuk segera beranjak pulang. Tak ingin lebih lama lagi berada di rumah yang kini terasa menyakitkan itu."Ayo, Kak Gema, kita pergi dari sini! Aku tak ada lagi urusan di rumah ini!" tegasku. Sambil membuang muka, tak sudi lagi melihat sosok paling kubunci saat ini.Entah drama apa lagi yang sedang Mas Dio lakukan? Buat apa dia tinggal di rumah itu lagi, dan menemuiku dengan kondisi kacaunya? Ingin membuat aku bersimpati dan kembali padanya?No! Aku tak akan goyah. Apa pun yang terjadi padanya, aku tak akan pernah kembali dengan orang yang telah melakukan pengkhianatan, dan menyakitiku bertubi-tubi itu. Hati yang sudah terluka tak akan sama lagi, mau seperti apa pun ia diobati.Gegas aku memasuki mobil Kak Gema dan duduk di kursi penumpang sambil melipat kedua tangan di dada. Tak berapa lama Kak Gema pun datang dan ikut duduk di balik kemudinya."Sayang sekali tadi kamu tak memberikan aku kesempatan untuk menghajarn
"Silvi ..., sedang apa kamu di sini?" tanya Pak Abi setelah berhasil menyebrangi jalan. Lelaki itu tampak tampan dengan memakai jaket jeans dan celana jeans yang senada."Aku sedang menunggu angkot, mau pergi ke pasar malam, Pak!" terangku. "Bapak ada perlu apa, ya?" tanyaku balik karena merasa aneh yang mau repot-repot menyusulku."Oh, tidak. Ta-tadi aku hanya kebetulan melihatmu saja!" ucapnya sambil menggaruk tengkuknya seperti salah tingkah."Mau ku antar?" tanyanya tiba-tiba."Tidak usah, Pak! Kami mau naik angkot saja." jawabku segan."Angkotnya dari tadi gak datang-datang tapi!" timpal Dita tiba-tiba sambil merenggut kesal. Membuatku merasa malu karena ucapannya yang seenaknya itu."Sudah berapa lama kamu tunggu di sini, Dita?" tanya Pak Abi pada Dita seraya menyunggingkan senyuman manis dan menunduk untuk mensejajarinya. "Dari tadi Om, udah lama banget aku sampai bosan!" rungutnya sambil kembali memonyongkan bibirnya."Om antar, ya! Mau?""Tidak usah, Pak. Nanti malah merepo
"Tak mungkin kalau hanya karena searah, silvi. Mereka masih muda, untuk apa mau berlama-lama menunggu kita yang mengendari motor dengan lelet ini?" jelas Bapak sambil mulai sedikit mempercepat laju motornya kini.Benar juga yang Bapak katakan. Normalnya orang-orang akan menyalip kami karena mengendarai motor dengan sangat perlahan. Tapi mereka sedari tadi tetap berada di belakang kami dengan jarak dan kecepatan yang sama."Pegangan Silvi! Semoga saja motor ini bisa maju dengan lebih cepat, dan kita bisa segera sampai ke rumah!" ucap Bapak seraya mulai menambah kecepatan lagi. Jantungku seketika berdebar kencang seiring laju motor yang juga makin cepat. Tapi, walau sudah berusaha, tetap saja motor ini tak bisa melaju secepat motor biasanya.Sesekali aku mencoba melihat kebelakang, mencari tahu apa motor tersebut masih mengikuti atau tidak. Dan ternyata benar, motor itu masih mengikuti kami, bahkan kini jarak mereka lebih dekat lagi dengan kami.Suasana terasa makin mencekam kini. Aku
Sakit. Aku merasakan sakit di seluruh tubuhku sakit tak terkira. Ya ..., karena kecelakaan beberapa hari lalu itu seluruh tubuhku kini masih demam, juga lecet-lecet. Kondisiku pun kini harus berjalan dibantu dengan tongkat karena kakiku kiriku patah dan harus memakai gips untuk waktu yang cukup lama.Tapi itu semua tak seberapa dibanding sakitnya hatiku saat harus mengetahui bahwa orang yang paling aku cintai pergi meninggalkanku.Ya, Bapak tak tertolong. Pendarahan di organ dalamnya ketika kecelakaan dan lambatnya mendapat pertolongan membuat Bapak menghembuskan nafas terakhir saat perjalanan ke rumah sakit. Hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Entah kenapa nasib buruk menimpaku terus-menerus. Dibohongi dan dikhianati suami. Perpisahan yang tak mudah kujalani. Juga kini kehilangan orang yang paling berarti. Semuanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Sehingga rasanya tak sanggup lagi menahan semuanya Aku pun kini harus terpisah dari Dita. Ia masih harus mendapatkan perawatan
"Kamu kira kami akan membiarkan Dita dirawat olehmu dengan kondisi seperti itu? Lihat dirimu, berjalan saja tidak bisa. Yang ada nanti Dita yang merawatmu," ucap Kak Desi menatapku sinis."Ma-maksud kak Desi?""Masa begitu saja tidak mengerti? Susah memang bicara dengan orang bodoh!" Ia membuang mukanya, tak mau menatapku sambil mendekati Dita."Mulai sekarang Dita akan tinggal bersama kami! Kami akan membawa Dita pulang ke rumah yang sudah selesai renovasi. Jadi dia tidak perlu lagi tinggal di rumah sempitmu. Di sana juga sudah kami sediakan kamar khusus untuk Dita!" terangnya menggebu, penuh bangga. Sombong sekali memang."Apa-apaan ini? Aku ibunya! Tidak ada yang bisa mengambil Dita dariku! Dita akan ikut denganku!" murkaku dengan keras. Seenaknya saja mereka membawa Dita, padahal selama ini tak pernah mereka peduli sedikit pun padanya."Mas Dio, katakan pada mereka kalau Dita ikut denganku! Kamu tahu kan kalau Dita tak akan bisa tinggal tanpa aku. Aku ibunya, yang melahirkannya. A
Pov Arni"Laporan keuangan kita bulan ini semakin menurun saja! Tren pemasukan dari berbagai cabang juga sudah merosot tajam. Kita tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi jika seperti ini! Harus segera mengamputasi mereka-mereka yang bermasalah!"Rapat darurat dari jajaran direksi kali ini berlangsung alot. Sudah tiga bulan tidak ada pemasukan yang berarti karena biaya operasional terus saja membengkak, sedangkan pemasukan makin menurun.Sebenarnya kepalaku sudah terasa sakit sekali, sedari pagi memikirkan semua ini. Rasanya masalah tak kunjung henti. Satu persatu cabang melaporkan kerugian. Hanya sebagian kecilnya saja yang masih bisa bertahan, tapi tentu saja itu tidak cukup."Aku juga tak habis pikir, bisa-bisanya kamu membuang uang untuk pabrik sepatu yang sudah tak ada harapan hidup itu? Lihat apa yang terjadi sekarang? Uang sebesar 30M lebih terbuang percuma. Bodoh kamu!" Maki Pak Roni, salah satu BoD di Granita Group."Coba jika uang itu masih ada, kita bisa menyelamatkan hidu
Selepas kepergian Dio aku menjatuhkan diri keatas sofa. Rasanya tak sanggup lagi berdiri di atas kakiku sendiri. Sakit kepala yang tak kunjung hilang kini bertambah dengan badanku yang tak memiliki tenaga. Segera kuambil ponsel dan menghubungi Gina sekretarisku."Gina ... bisa tolong ke ruang Pak Dio?" pintaku, sepertinya aku membutuhkan bantuan untuk kembali keruanganku.Tak butuh waktu lama Gina pun datang. Ia seketika panik melihat kondisiku."Bu, pucat sekali. Ibu sakit?" tanya khawatir."Sepertinya aku butuh sedikit istirahat. Bisa tolong antar aku ke ruanganku!""Baik, Bu!" Gina segera membantu mengangkat tubuhku, lalu memapahku untuk berjalan ke ruanganku yang berjarak beberapa meter darj ruangan Dio."Apa tidak sebaiknya ibu ke dokter?" usul Gina saat kami sudah sampai di ruanganku. Ia memintaku untuk meminum teh manis hangat agar aku memiliki sedikit tenaga."Ya ... mungkin nanti, sekarang masih banyak yang haru
POV DIOGeram. Kesal. Itulah yang aku rasakan setelah kejadian tadi pagi di kantor Granita Group yang berujung pemecatan. Aku merasa semakin tak berarti kini. Harga diriku tercabik-cabik karena dipermalukan dalam sebuah rapat besar berisi orang-orang penting. Mereka menertawakan aku seakan aku adalah seorang sampah.Memang seharusnya aku tak pernah mengikuti ide gila dari Arni untuk memainkan semua kebohongan ini. Untuk apa sih berpura-pura sanggup menjadi seorang direktur? Padahal aku hanya lulusan SMA, hanya seorang tukang ojeg. Bagaimana mungkin bisa memimpin sebuah perusahaan besar?Alih-alih mendapat keberuntungan, aku malah dihinakan tadi. Maka aku memutuskan untuk kembali pulang ke kampung saja untuk sekedar menenangkan diri. Biarkanlah Arni menyelesaikan masalahnya sendiri di sana. Toh, aku juga tak bisa membantu banyak.Maka di sini lah aku, berada di rumah orang tuaku yang sudah selesai di renovasi yang semuanya dibiayai oleh Arni. Menemani Dita anakku bermain."Ayah.. Dita
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper
POV DioApa yang selama ini kutakutkan terjadi, bahkan lebih cepat dari dugaanku sendiri. Akhirnya hari itu datang juga, kami tak lagi dapat mengandalkan Arni lagi sama sekali.Hari itu Arni datang dengan kondisi mengenaskan, menangis tersedu-sedu. "Aku bangkrut, Kak!" lirihnya."Kak ..., apa kakak masih mau nerima aku? Aku miskin sekarang!" lanjutnya lagi, sambil terdiam di ujung gerbang menatapku dengan tatapan sendu.Ada rasa iba di hati melihat kondisinya yang mengenaskan. Tak ada lagi Arni yang dulu kini, wajahnya pucat tanpa make up dan baju seadanya. Ia datang dengan membawa dua koper baju yang tidak seberapa besar."Kak Dio ...!"Tiba-tiba saja Arni terduduk lemas, isakannya pun berubah jadi raungan keras.Dengan perlahan aku pun menghampirinya. Berjongkok untuk menyamakan posisi, lalu memberikan sedikit pelukan agar dia lebih tenang. Walau bagaimana pun dia masih istriku. Kuenyahkan seluruh rasa kesal yang bersemayam padanya. Memberikannya sedikit sentuhan lembut.*****"Tida
Setelah pertemuan itu, memang sesekali Pak Roni menghubungiku. Sempat ia mengonfirmasi juga hubungan Arni dan Dio padaku, sepertinya ia mencari tahu sendiri soal itu."Jika kamu tak memberitahukan kebohongan Dio, aku tak akan tahu kebobrokan-kebobrokan lain yang Arni lakukan. Terima kasih, karena kamu perusahaan masih bisa aku selamatkan!" ujarnya suatu hari.Dari berita yang kudengar, Dio dan juga Arni kini sudah tidak bekerja lagi di Granita Group. Dio kembali menjadi tukang ojeg saat ini sedang Arni membantu ibu menjual kue-kue jajanan pasar.Hal itu juga lah yang membuatku mudah mendapatkan hak asuh Dita saat persidangan cerai kemarin. Awalnya kukira Dio akan menjadikan kekayaannya sebagai senjata. Tapi ... kenyataan berkata lain, karena sebelum sidang berlangsung, mereka sudah dinyatakan bangkrut.*****"Nadya, ini ada agen baru dari kota Palu, dia memesan sebesar 20 juta, tolong kau follow up, ya!" ucapku pada Nadya, bagian admin kantor.Ya, Setelah menitipkan Dita di rumah Bu
POV SilviAku menatap langit-langit kamar, meresapi semua yang telah terjadi selama empat bulan ini. Bagaimana pahit getirnya jalan perjuanganku untuk mendapatkan Dita kembali ke pelukan.Semua terbayar sudah, aku kembali bisa bernafas lega kini. Hak asuh Dita sudah resmi ada padaku. Kini aku bisa puas memeluk dan memandangi wajah mungil Dita yang tengah terlelap di samping.Menurut Pak Abi jika aku ingin mendapatkan Dita kembali aku harus dapat segera berjalan dan memiliki penghasilan. Karena kondisi itulah yang akan menjadikan alasan Dio untuk merebut hak asuh Dita.Maka dari itu Pak Abi dan Kak Gema, mengajak aku untuk mengelola sebuah toko sepatu dan tas yang berbasis online milik mereka. Tidak hanya aku, mereka juga melibatkan beberapa karyawan dari pabrik sebelumnya. Ternyata Pak Abi dan Kak Gema memang sudah menyiapkan semua ini jauh hari sebelumnya. Setelah pabrik yang tutup mereka ingin dapat kembali merangkul orang-orang dengan potensi tinggi di sebuah bisnis baru. Tak disa