Bab 35
Arsyad merasa hidupnya apes. Naura yang begitu ia kagumi selama ini ternyata bermain dengan laki-laki lain.Yang lebih menyakitkan, omongan Arsyad sama sekali tidak bisa meyakinkan Bu Melia.
Bu Melia selalu saja menyalahkan Arsyad, hingga tega mengusir Arsyad dari rumah.
Hingga terpaksa lah Arsyad tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak begitu besar.
Rupanya permasalahan yang menimpa Arsyad belum berhenti begitu saja. Karena ketidak fokusannya dalam bekerja, beberapa waktu belakangan, membuat Arsyad kena teguran keras.
Karena kelalaiannya itu, terpaksa gaji Arsyad pun dikurangi.
"Beginilah nasib kalau hanya jadi seorang karyawan rendahan." Keluh Arsyad.
Sore ini Arsyad terpekur di kontrakan kecil di mana ia ti
Bab 36 kemudian matanya teralihkan oleh seorang perempuan berpenampilan begitu luar biasa keluar dari sisi pintu mobil yang satunya. "Ika?" Kembali Arsyad terbelalak. "Arsyad, sedang apa kau disini? "Mengapa kelihatan begitu terkejut?" Tegur Erland Bastian. "Kalian? Kalian kok bisa bersama? Arsyad heran luar biasa. "Eh maksudku kenapa Bapak ada disini bersama Ika?" Ralat Arsyad. "Ya kebetulan aku mengantar Ika pulang? Lagi pula ada suatu masalah terkait pekerjaan yang harus kami selesaikan." Jawab Erland. Otak Arsyad kembali dipenuhi tanda tanya. 'Pekerjaan apa yang akan Ika selesaikan bersama seorang Erland?' Namun, untuk sementara waktu Arsyad mencoba menyingkirka
Bab 37 "Kau ingin membuang Naura lalu kembali padaku? Tidak Arsyad! hidup tidak segampang itu. Melepaskan istri demi wanita lain ataupun sebaliknya. Wanita juga manusia. Aku tidak tahu jalan pikiranmu bagaimana, Arsyad. Pikiranmu tak matang. Walau bagaimanapun situasi yang aku hadapi, dan bagaimana pun kau berjanji begini dan begitu, aku tidak akan mengulang waktu bersamamu lagi. Prinsip kita berbeda. Aku, sekali hubungan terlepas takkan ku ulangi. Camkan itu...!" Ucapan Ika terdengar begitu tegas. Tidak ada senyuman sedikitpun mengiringi ucapannya. "Bukan seperti itu yang aku maksudkan, Ika. Sungguh. Tolonglah, aku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi untuk mengubah semuanya." Ulang Arsyad masih dengan harapan. "Tidak, Arsyad! Sekarang kita telah menjadi orang lain. Berhentilah berucap meminta kesempatan. Kesempatan itu sudah hilang. Sekar
Bab 38 "Terima kasih banyak, Dok. Saya tidak tahu apa jadinya jikalau Arsyad benar-benar menginginkan tes itu. Ini saya ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih sama Dokter. Mohon diterima ya, Dok." Suara Bu Ema terdengar lirih dari dalam ruangan Dokter Rini. Arsyad tercekat... "Seandainya Arsyad benar-benar mengurungkan niatnya untuk tes DNA itu, saya bisa memberikan imbalan lebih dari ini." Kembali terdengar suara Bu Ema. Gedubrak...! Bu Ema maupun dokter Rini menoleh dengan mimik kaget luar biasa. Di ambang pintu berdirilah laki-laki dengan muka memerah menahan amarah, ya dialah Arsyad. "Arsyad
Bab 39 Sedangkan di ruangannya Naura dikejutkan oleh kedatangan Arsyad yang tiba-tiba. Ditambah dengan raut muka yang dipenuhi amarah. "Naura, aku ingin bicara serius," Naura diam tidak berani berkata apa-apa. Ada rasa takut jika membuat emosi Arsyad meledak. "Apa yang kau inginkan datang kemari?" Tanya Naura ragu. "Seorang dokter akan mengambil sampel pada bayi yang baru saja kau lahirkan?" "Apa sampel? Sampel untuk apa?" "Untuk tes DNA. Aku telah menanyakan segala sesuatunya kepada Dokter Spesialis Genetika, terkait masalah ini." "Haaa? Tidakkah kau bisa untuk mengurungkan niatmu Arsyad?" "Ya benar, aku tidak bisa membatalkan, aku yang akan membayar semua biaya terkait tes DNA tersebut," "Tidak bisakah
Bab 40 Namun seketika itu juga mata Arsyad dibuat terbelalak. Sangat-sangat tidak percaya dengan siapa yang dia lihat. "I... I... Ika ...?" Kedua bola mata Arsyad membesar. "Apakah dia yang marketing manager yang Erland maksudkan?" "Mengapa aku baru mengetahuinya?" Kemudian sosok Ika maju ke depan dengan sedikit membungkukkan badan diiringi dengan senyuman yang begitu renyah. Senyuman itu tidak terlalu lebar, namun terkesan elegan. Kontan perilaku perempuan itu membuat segenap yang hadir di ruangan tersebut merasa segan. Termasuk di dalamnya adalah Arsyad sendiri. Sesaat kemudian, dengan dipersilahkan oleh Erland Bastian, maka Ika memberikan sambutan yang tidak terlalu panjang, namun cukup mudah untuk dipahami. Arsyad sungguh dibuat terkaget-kaget d
Bab 41 "Arsyad...!" Terdengar sebuah seruan secara tiba-tiba dari arah belakang mereka. Seruan yang juga memotong pembicaraan Arsyad. Ketiganya menoleh, "I ... I ... Ika ...?" "Pak Erland ..?" Arsyad melongo... "Sejak kapan kalian berada di sini?" Tanyanya bingung. "Tidak usah bertanya kapan kami ada disini, sekarang coba kamu jelaskan, apa maksudmu berbicara seperti itu kepada mereka Arsyad?"tanya Ika dengan raut muka aneh "Ya, jelaskan apa maksud kamu yang sebenarnya?" Erland ikut bicara. Arsyad sungguh dibuat bingung, ia belum mampu mencari jawaban yang tepat dalam waktu yang begitu singkat. "Arsyad, mungkin kamu ragu berbicara di sini. Ayo ikut ke ruangan kantorku sekarang ...!" Ujar Erland. Na
Bab 42 Di kediaman Bu Ema. Muka Arsyad merah padam dengan lembaran kertas di tangannya. Sedangkan dua orang wanita di depannya nampak tidak bisa berkata apa-apa. "Dugaanku ternyata benar. Anak yang kau lahirkan bukan darah dagingku. Hasil tes DNA ini begitu akurat dan detail." "Aku akan menuntut kalian!" Lanjut Arsyad. Gedubrakk... Sebuah meja menjadi sasaran kemarahan Arsyad. "Ya, aku tidak menyangka Naura, kau menipu kami selama ini. Teganya kalian," Bu Melia menitikkan air mata. "Melia, sama sekali tidak berniat untuk menipu kamu. Tapi bukankah kamu menginginkan seorang cucu yang selama ini tidak kalian dapatka
Bab 43"Ada apa, Nak?" Tanya Bu Melia. "Pak Erland menyuruhku datang ke kantor. Paling-paling juga menyuruhku untuk bekerja kembali," Arsyad tersenyum sinis. "Makanya jangan sembarangan memecat orang," Gerutunya kemudian. "Ya datangin aja. Bilang sama si Erland Erland itu bahwa kau bisa mencari pekerjaan yang lebih baik daripada mengemis-ngemis bekerja padanya," ujar Bu Melia. "Bener, Bu. Habis kemarin dia bela-belain Ika di depan aku. Belum tahu dia Ika itu siapa? Paling-paling juga selama ini Ika bekerja dengan bantuan seseorang. Hingga bisa seolah-olah berprestasi di sana." Imbuh Arsyad. "Maksudmu apa Ika bekerja sebagai apa di sana?" Bu Melia merasa heran. Huufh... Arsyad menutup mulutnya,' kok bisa keceplosan sih,' pikirnya. "Eh enggak Bu. Ika tidak kerja sebagai apa-apa kok di
Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak
Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti
Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"
Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in
Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini
Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu
Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.
Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu
Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d