Mirna dipermalukan Aini.Angin siang yang berhembus kencang menghalau arakan Mega di langit yang biru. Lukisan sepi dan wajah murung tergambar jelas di wajah Afwan yang berjalan lunglai keluar dari gedung pengadilan.Berkali matanya mencuri pandang pada sosok Aini yang berjalan ditemani Bi Darsih, Mang Engkus dan Sinta sepupunya. Sebetulnya, Tante Isma berencana akan ikut menghadiri sidang Aini bersama Afwan tapi urung karena kesehatannya sedang kurang baik.Jika wajah Afwan kelam dan menjalaga karena duka, maka wajah yang paling berbinar dan sumringah adalah Mirna. Dalam balutan rok ibu hamil berwarna cerah di atas lutut, Mirna tampak sangat Menawan. Tak hentinya wajahnya menebar senyum dan kegembiraan. Disisinya Mama, ibu dari Afwan terlihat tak jauh beda. Parasnya lega dan bahagia.Entah apa yang ada di pikiran Mirna dan ibunya Afwan, yang jelas Mereka tertawa jumawa. Dengan perut yang makin besar, Mirna seolah ingin memproklamirkan pada dunia bahwa dialah perempuan paling berun
Aini tersenyum pelan saat melihat Mirna seperti orang kesambet. Untuk beberapa saat wajah menornya seperti kehilangan banyak cairan darah. Pucat seperti mayat.Maafkan aku Mirna.Semula aku tidak pernah memusingkan tentang harta Gono-gini. Bagiku, bisa hidup damai tanpa banyak pertikaian pun, rasanya sudah cukup. Aini berbisik dalam hati.Selama aku tidak pernah pusing dan mengungkit apapun pemberian Papa untuk diriku dan Mas Afwan.Tapi cacian dan hinaanmu yang meneriakiku pecundang, perempuan tol*l dan tidak punya harga diri, memaksaku berubah. Mirna kamu membuatku sadar, kalau diam tak selamanya emas.Aku selama ini rela dan ikhlas melepaskan Mas Afwan, aku juga masih tersenyum saat kau memaksa Mas Afwan menceraikanku dengan cara yang sangat menyakitkan.Aku rela, pun dengan kehadiran dirimu yang menjadikan Mas Afwan begitu dingin dan hanya memberiku malam yang beku tanpa cinta dan kehangatan.Selama ini, aku tidak pernah bersungguh-sungguh melawanmu Mirna.Sampai kejadian di hala
"jadi betul rumah itu atas nama, Aini." tanya Mirna tajam."Betul. Rumah itu atas nama Aini, Mir." Afwan yang baru tiba di rumah setelah seharian bekerja menjawab dengan sedikit kesal. Bagaimana mungkin dia baru tiba, capek, pusing karena jalanan macet juga seharian memeriksa banyak laporan perusahaan, membuatnya lelah secara pisik dan juga hati. Bukannya disambut dengan wajah lembut dan hangat oleh Mirna, apalagi secangkir teh hangat dan pelukan penuh rindu seperti yang biasa didapatkan dari Aini, malah pertanyaan tajam dan pedas. Wajah itu datar dan tak ramah, tak seulaspun senyum manis tersungging di bibir tipisnya, yang ada adalah kecurigaan yang memuakkan."Punya Aini? bukan atas namamu, Wan?" timpal Mama kaget. Pupus sudah harapannya kalau Aini berbohong dan hanya mengaku-ngaku rumah itu miliknya."Iyalah, Ma. Kapan aku bilang itu milikku," jawab Afwan sedikit kesal.Tenggorokannya kering dan haus."Kok, bisa?" Mirna mendelik. "Bisalah, Mir. Tak ada yang tidak bisa di dunia in
20"Mama, maafkan aku." Aini berbisik lirih melihat mercy clasic merah metalik yang kini bertengger di halaman rumahnya.Aini tidak membayangkan Mama tanpa mobil itu. Mobil yang biasa dia gunakan ke berbagai acara dan urusan. Mama anti naik transportasi umum, meski Afwan kadang memintanya sekali-kali naik ojeg onlin atau taxol jika terpaksa, tapi Mama bergeming.Dia cukup kukuh dengan citra diri sebagai perempuan mapan dan berkelas.Mama sepertinya mulai hari ini, aku ajarkan bagaimana hidup rendah hati dan bersahaja. Mulai detik aku akan membuatmu dan Mirna sedikit berpikir bahwa mencari uang itu tidak mudah. Kupastikan kekuasaan Afwan di perusahaan akan kupantau. Aku punya banyak mata dan telinga yang bisa memantau gerak gerik dan kebijakanmu. Sesuatu yang tidak pernah aku lakukan selama ini. Aini tersenyum pelan.Luka menjadikannya perempuan tangguh. Luka tak hanya memberinya rasa sakit, tapi menjadikannya kuat dan besar. Aini kini sadar adakalanya bangkit dan melawan adalah pilih
Afwan betul-betul kaget, melihat sosok Aini tiba-tiba sudah hadir di hadapannya. Wajah lembutnya tampak cerah dengan riasan natural yang elegan. Baju yang dikenakannya pun sangat berbeda dari yang biasa dia kenakan setiap menemuinya di ruang kerja. Blazer panjang warna krem dipadu kerudung senada dari merk ternama membuat tampilan betul-betul bikin pangling.Selama ini, Aini memang sesekali singgah di kantor Afwan, mengantarkan sarapan atau cemilan buatannya. Aini senang memasak spesial untuk suaminya dan dia akan senang hati mengirimnya ke ruang kerja Afwan. Menunggui Afwan makan sambil bercerita banyak hal. Manis sekali.Afwan mungkin belum mencintainya kala itu, tapi dia cukup senang jika Aini datang dan menghabiskan sedikit waktu untuk menemaninya di ruangan khusus yang terhubung ke ruangan ini. Kadang Aini hanya sebentar dan segera kembali ke rumah, kadang kalau merasa bosan di rumah, dia juga lama duduk di samping Afwan, dan Afwan tidak merasa keberatan serta menikmati kebersama
"Bagaima Bu Ajeng, ikut gak?" Jeng Neti menatap Mama dengan pandangan menyelidik raut muka Mama yang redup dan tak secerah biasanya. Dia juga menangkap perempuan yang selama ini selalu modis dan trendi datang ke tempatnya naik taxi online.Padahal biasanya Mama naik Mercy Clasic merah kesayangannya. "Bulan depan kita ngadain arisannya di daerah Puncak Cianjur, Bu Ajeng. Kita konvoi dari sini, bawa mobil masing-masing."Konvoi? Bawa mobil sendiri? Mama tercenung. Teringat mobil mewahnya yang sudah diambil Aini beberapa waktu lalu."Kok malah bengong Bu Ajeng? biasanya you paling semangat," sela Bu Mince anggota kelompok arisan sosialita Mama. Wajah tuanya tampak samar terhalang dengan bedak mahal dan maskara tebal."Bu Ajeng biasanya paling heboh. Ayolah Bu Ajeng, kita mau sedikit menunjukan performance kelompok kita pada dunia, bukan hanya tajir kita juga trendi dan keren. Oh ya, aku nanti mau bawa Fortuner baru, you mau bawa apa Jeng Letta?" Bu Mince melirik Jeng Letta, anggota Ge
22Pelangi hadir setelah hujan, senyuman hadir setelah tangisan. Betul kata pepatah kebahagiaan kadang hadir setelah kesedihan dan badai nestapa berlalu.Aini, merasakan itu. Setelah episode pernikahannya yang kering dan hampa tanpa cinta bersama Afwan, kini Allah hadirkan pria lembut, penyayang, sopan dan mencintainya dengan cara yang indah.Ibarat oase di tengah Sahara, dokter Fadhil hadir memberinya kesejukan di tengah gersangnya kehidupan.Mata Aini berembun saat menatap sosok kukuh dengan wajah tenang dan sepasang mata teduh yang tidak pernah menatapnya lama. Wajah tampan yang selalu lebih banyak menunduk dan mengucap kata seperlunya. Membuat Aini kadang merasa gugup dan berpikir keras agar suasana terasa lebih cair.Bagaimana mungkin aku yang pemalu harus berhadapan dengan pria yang lebih pemalu. Berbanding terbalik saat merawat Papa yang tampak tenang dan profesional, di luar itu ternyata dokter Fadhil tidak pandai menghadapi wanita.Aini tersenyum lembut mempermainkan jemariny
Aini tersenyum manis tapi dingin."Bagus, Mas. Mulai sekarang ajarkan Mirna untuk menerima kenyataan kalau sebentar lagi dia akan kehilangan kenikmatan yang diambilnya dengan cara mencuri dari milikku.""Aini, Kamu tidak memberiku pilihan yan lain Aini?" tanya Afwan terbata.dan memelas. Tapi Aini hanya tersenyum."Pilihan apa yang kau mau, Mas?""Memaafkanku dan kita bisa rujuk. Aku berjanji menjadi suami yang baik untukmu."Aini terbelalak. Mendadak mual.Hallo. Semudah itukah? Apakah keoonan Mirna menular pada Afwan? Sehingga pria yang selama ini dikenal cerdas itu berubah jadi seperti orang amnesia?"Apa, Mas? Rujuk?"Aini tersenyum kecut."Aku ingin rujuk saja, Aini. Dan kita bisa selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan."Aini mendengus. Berusaha menekan rasa muak yang memenuhi dadanya."Tawaran yang bagus. Sayang aku tidak tertarik, Mas." sindir aini sinis."Semenjak aku tahu kau mendustaiku dan diam-diam menjalin cinta dengan Mirna, aku sudah tertarik dengan apapun tentangmu
Akhir Kehidupan Sang PelakorMirna mengerjapkan mata beberapa kali ke arah pria yang selama dua tahun ini sudah jadi suaminya. Memberinya gelimang kemewahan dan harta. Memberinya tawa dan kebahagiaan walau diatas penderitaan dan tangisan istri tua beserta anak-anaknya yang dicampakkan begitu saja.Tak akan disesalinya kepergian dari hidup Afwan dan rumah Miranti. Dia kini nyonya di rumahnya sendiri.Berulangkali dia mengatakan pada sahabat dan temannya kalau kecantikan dirinya bisa mengalahkan dunia dan membuat pria manapun akan bertekuk lutut di bawah pesona yang dimilikinya.Mirna bangga. Dia merasa takdir selalu membawanya pada kemenangan dan keberuntungan.Takdir selalu mengantar nya menjadi seorang pemenang diatas kekalahan perempuan yang suaminya telah dia rebut dengan paksa.Tapi tidak sepertinya untuk saat ini. Berulangkali matanya mengerjap dan mencoba awas pada apa yang sedang terjadi.Bagaimana mungkin pemandangan dihadapannya bisa terjadi. Mas Andre, suami yang terakhir d
"Bagus kan? Miranti?" Ibunya Afwan menyodorkan gambar deretan tas branded ke arah menantu barunya. Wajahnya terlihat sumringah. Setelah kemarin Miranti berhasil dia bujuk membelikan sebuah gamis sutra yang lumayan mehong, kini Ibu ingin Miranti membelikannya tas branded." Betul, Bu." Jawab Miranti yang sibuk menyuapi Bella yang kini mulai pandai berjalan dan berceloteh riang."Beliin ibu, Mir." Ibu menyodorkan gambar ke hadapan menantu barunya."Hmm." Miranti meletakan piring di meja dan meraih katalog tas dari tangan Ibu."Yang coklat atau merah, Ibu suka Mir. Maukan beliin Ibu tas merk itu, kan uang mu semuanya berasal dari Afwan." Mulai mengusik. Apalagi kini Ibu tahu Miranti sudah berhenti kerja dan hanya mengandalkan uang belanja dari suaminya."Kalau kamu menolak lagi membelikan tas merk ini, Ibu akan laporkan pada Afwan. Kamu pelit."Miranti meletakkan katalog tas di meja dan bangkit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sampingnya."Telephon suamiku, Bu. Katakan aku me
Hari-hari selanjutnya bersama seorang bumil yang baru menginjak trimester pertama adalah hari yang penuh warna. Indah, ceria meski sedikit ribet.Tidak menyangka juga ternyata kehamilan Aini termasuk yang cukup repot. Dia alergi dengan segala bentuk bau parfum dan masakan berbau tajam seperti bawang goreng dan minyak.Anehnya, meski payah perempuan yang terlihat makin cantik dan menawan itu jarang absen untuk tetap melayani suami. Bukan karena kuat, tapi karena menyadari kalau itu sebuah kewajiban.Memasak di masa hamil muda itu sesuatu banget. Biasanya dokter Fadhil akan siaga menungguinya di dapur. Sesekali membantu istri tercintanya mengiris atau menggoreng. Meski selama ini dia tipe pria yang tidak pandai masak dan jarang ke dapur, tapi demi Aini dia bisa menjalankannya dengan suka cita.Betul kata peribahasa, saat cinta gula jawa pun rasa coklat. Cinta membuat segalanya menyenangkan, termasuk aktifitas yang selama ini jarang dilakukannya, memasak."Cuss, Mas yang masak hari ini.
Hari sudah agak larut malam saat dokter Fadhil memasuklan mobilnya ke halaman rumah Aini yang luas. Bintang dan bulan tampak bertabur indah di cakrawala yang terlihat pekat. Tanpa banyak bicara,Aini bergegas beranjak turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya yang bersiap masukkan mobilnya ke dalam garasi dibantu mang Engkus.Sementara Bi Darsih mengikuti Aini masuk ke dalam rumah. Terlihat wajah Bi Darsih yang ikut membawa beberapa bungkusan buah tangan dari keluarga Afifah terlihat heran, Aini terlihat sedikit murung. Tapi perempuan paruh baya itu tidak berani bertanya dan segera menyimpan barang bawaan Aini ke dapur.Aini berjalan lurus menuju kamarnya, wajahnya semakin diam saat melintas di ruangan luas yang menyimpan banyak kenangan, dia langsung menghenyakkan tubuh nya yang terasa penat di kasur. Wajahnya masih terlihat sedikit gundah.Sepertinya candaan suaminya selama perjalan pulang dari pernikahan Faiz dan Afifah masih membuatnya kepikiran."Ke
Prosesi ijab kabul terhenti. Semua memandang ke arah Faiz yang baru tiba. Dengan wajah yang penuh rasa penyesalan faiz segera bersimpuh disisi kakaknya dokter Fadil. "Maaf sedikit terlambat." Faiz tersenyum kikuk. Sadar dia telah membuat acara yang begitu sakral terhenti tiba-tiba.Elsa pacarnya yang terus meracau karena mengamuk dan mencakarnya di Bandara serta merusak ponselnya membuat Faiz kewalahan. Elsa tidak terima Faiz akan menikahi Afifah. Pun, ketika Faiz berusaha menjelaskan dan memberi pilihan untuk berbagi. Elsa murka. Tak terima dengan alasan Faiz meski dirinya seharusnya sadar, hadir di hari-hari Faiz setelah Afifah.Mata Faiz terasa basah saat menyapu semua hadirin di ruangan yang disulap indah meski sederhana. Sungguh dia, tidak menduga, kalau Fadhil kakaknya bersedia menikahi Afifah. Dia pikir percakapannya beberapa waktu lalu di malam hari itu tidak berbuntut Aini mengalah dan meminta suaminya Fadhil menikahi Afifah.Faiz juga tidak menduga trauma Afifah begitu dal
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul